Keesokan hari saat matahari sepenggalah, semua rencana mereka buyar seketika lantaran Badru menjadi lebih sering mengunjungi rumah Ajengan De. Bisa dicurigai oleh mereka yang berpikiran jernih bahwa kedatangan Badru tentu penyebabnya adalah seorang Wina, si gadis pendiam berkacamata dengan tubuh semampai serta cantik jelita. Cukup?
Sepagi itu sepeda motor Badru sudah nongkrong di halaman rumah orang tuanya. Takada yang salah dari pemandangan itu meskipun seharusnya entah itu benar atau salah, Badru tiba-tiba sudah bersiap menunggangi motornya dan menunggu Wina untuk naik di boncengan tunggangannya. Semua itu terjadi akibat piawainya Ainun menjalin negosiasi antara Wina—Badru, Ajengan De-Humairoh—Wina, Badru—orang tuanya, juga negosiasi antara Ainun—Wina. Untuk urusan seperti itu, tidaklah terlalu sulit bagi Ainun dengan kecerdasan dan piawainya dia merayu dan memberikan argumen-argumen yang bernas serta mudah ditalar. Hanya Alit saja yang tidak dilibatkan oleh Ainun dalam proses negosiasi itu. Apa lagi, kalau bukan karena Alit masih kecil?
Dua menit kemudian, Ajengan De bersama Humairoh berjalan di belakang Wina yang melangkah menuju boncengan sepeda motor Badru. Begitu pula Ainun, lagaknya berjalan menandakan bahwa dia cukup puas akan hasil negosiasi antara berbagai kepentingan dan ketidakpentingan yang sudah digagas olehnya. Kepentingan dan ketidakpentingan itu adalah sebagai berikut.
Maka, diputuskanlah bahwa Badru-lah yang mengantarkan Wina pergi ke balai desa.
Yang terakhir (meskipun ini di luar kesepakatan): dengan memberi jalan keluar atau kesempatan bagi dua jomlo itu dalam satu momentum bonceng-memboncengi, menurut hemat pikir Ainun adalah satu jalan untuk dia bisa mendapatkan jodoh pula. Barang siapa menolong orang yang sedang susah hati karena masih menjomlo, maka akan dihilangkan kesulitannya pula. Kesulitan terbesar apa yang sedang maupun yang masih meliputi Ainun selain menjomlo dan menganggur? Lagi pula, bila Wina dan Badru benar-benar saling jatuh cinta akibat momentum hasil kreasi negosiasi Ainun, apakah itu salah?
Semasih berjalan di samping Mimih ‘Humairoh’, Ainun berkata, “Hati-hati Kang di jalan, jangan sampai lecet. Kalau lecet harus dikawini, loh. Mau?”
Humairoh menyenggol rusuk Ainun dengan siku kiri seraya berkata pelan, ”Hush.”
“Eh, maaf, Mih.”
Badru mengangguk dan tersenyum kepada kedua orang tuanya. Dia tak menanggapi ucapan Ainun barusan, atau berusaha tak mau menanggapi? Meskipun begitu, wajah Badru tampak cerah ceria pada waktu pagi menjelang siang kali itu.
“Giliran sudah ada yang mau ngelamar, eh, malah dianggurin,” celetuk menggumam Ajengan De sambil manggut-manggut, tersenyum, dan melambaikan tangan kepada Wina yang sudah dibawa pergi oleh sepeda motor Badru. “Waalaikumsalam,” ujarnya lagi saat Wina dan Badru mengucapkan salam kepadanya juga kepada Humairoh.
Ainun masih saja menggelayut manja di bahu Humairoh sambil tersenyum melambaikan tangan pula kepada Wina dan Badru yang sudah beranjak pergi ke balai desa.
Kesibukan warga pun mulai tampak dari berlalu-lalangnya mereka sembari saling menyapa kepada Ajengan De saat melewati halaman rumah. Ada yang menuju sawah; ada yang mencari rumput untuk makanan ternaknya; ada yang menuju tempat usaha, dan lain-lain keperluan. Humairoh kembali masuk ke dalam rumah ditemani Ainun yang masih saja manja menggelendoti lengan sang ibu. Mereka berdua juga mulai hendak bersibuk ria.
Sayangnya, niat baik belum tentu berbuah kebaikan. Memang niat baik Badru mau mengantarkan Wina, bahkan dia rela mengantarkan Wina, sudah terbukti dengan tibanya mereka berdua di pintu gerbang balai desa.
Sesudah lima belas menit kemudian, buah kebaikan atas niat baik yang sudah dibuktikan oleh Badru tak didapatkan. Wina datang dengan wajah cemberut. Badru yang melihat ekspresi wajah Wina seperti itu hanya bisa menunggu hingga si empunya wajah sudi untuk bercerita apa yang menyebabkan wajahnya cemberut.
Belum sempat Badru berbasa-basi sebagai strategi untuk mencari celah berbincang, Wina sudah lebih dulu berkata, “Ayo pulang, Kang.”
Cepat sekali Wina naik ke boncengan sepeda motor Badru. Selirikan mata Badru melihat sebentuk rasa kesal dari raut wajah Wina yang cemberut.
Starter otomatis mesin motor Badru tekan, mesin motor menderu pelan dan Badru berputar balik bersama Wina di atas motor yang mereka tunggangi lambat laun mencepat serta kembali menyusuri jalan untuk kembali pulang.
Hilir mudik jalanan pada jelang waktu siang tak terlalu ramai dilintasi kendaraan yang kebanyakan adalah kendaraan roda dua. Sepanjang perjalanan itu pula, Wina dan Badru hanya diam. Lalu stabil laju kecepatan sepeda motor tetap diimbangi dengan stabil pula mereka berdua saling diam sepanjang jalan itu. Hingga tiba di persimpangan jalan dan hendak berbelok menuju arah jalan pulang, Wina berkata dengan menepuk bahu kanan Badru, “Kang, kita jangan pulang dulu.”
Badru urung menarik dalam gas motor dalam genggaman tangan, “Memangnya, kita mau ke mana lagi, Neng?”
“Ada wartel dekat-dekat sini, Kang?”
“Ada.” Anggukan kepala Badru menyertai jawabannya.
Setang motor kemudian dibelokkan oleh Badru ke kiri sementara genggaman tangannya mantap menarik gas selaras genggaman tangan kiri melepas perlahan kopling sepeda motor yang dia tunggangi. Lalu stabil laju kecepatan sepeda motor tetap diimbangi dengan stabil pula mereka berdua saling diam sepanjang jalan itu. Hilir mudik jalanan pada jelang waktu siang tak terlalu ramai dilintasi kendaraan yang kebanyakan adalah kendaraan roda dua. Sepanjang perjalanan itu pula, Wina dan Badru masih saja diam. Meskipun begitu, Badru tetap hati-hati dengan cekatannya genggaman tangan mengatur setang mengikuti jalan yang berkelak-kelok, terkadang menurun, terkadang landai, dan terkadang menanjak dengan kelokan tajam. Tujuan perjalanan adalah mencapai ujung jalan yang sedang mereka berdua lalui hingga bertemu dengan persimpangan jalan yang menghubungkan kota Tasikmalaya dengan kota lain. Persimpangan itulah yang dituju oleh Badru dan Wina. Badru ingat sekali, di persimpangan yang cukup ramai, ada wartel persis terletak di pinggir jalan raya itu.
Sementara itu, Ainun memulai kesibukannya sejak Badru dan Wina pergi berboncengan motor, satu setengah jam yang lalu. Ainun sedang asyik melantai. Semua lantai dalam ruangan kamar rumah dia pel dengan gesit dan cekatan.
“Punten, punten, Teh [permisi, permisi, Kak],” kata Alit sopan, berjinjit sambil menenteng sepatu sekolahnya. Dia hendak menuju pintu keluar rumah.
“Mangga [silakan],” balas sapa Ainun meski napasnya sedikit ngos-ngosan. Sejenak dia menghentikan gerakan melantai dan mengusap dahinya yang berkeringat dengan punggung tangan kanan.
Sepuluh detik lalu Ainun melanjutkan gerakan melantainya dengan gaya mirip undur-undur. Gagang pel dia genggam erat, bergerak ke kanan ke kiri dengan tekanan tubuhnya yang agak membungkuk, seirama dengan langkah-langkah kaki yang teratur mundur. Masih dengan bergaya undur-undur, Ainun sempat pula menjawab salam Alit yang berkata cukup lantang dari pintu depan rumahnya.
“Waalaikumsalam. Alit, hati-hati. Tong loba teuing jajan di sakolah nya [jangan banyak jajan di sekolah, ya],” sahut Ainun tanpa berhenti melantai.
Coba bayangkan? Kurang apa lagi Ainun sebagai syarat dia untuk menjadi mahmud 'mama muda'?
“Nyaaaaa [Iyaaaaa],” jawab Alit sayup-sayup hilang dari telinga Ainun.
Usai pekerjaan Ainun mengepel lantai. Dia lalu masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa gagang pel di genggaman tangan kiri. Dari dalam kamar mandi terdengar suara kecipak air akibat bertemu gayung, dan suara air dibuang dari dalam ember yang dia tunggingkan. Lima menit setelah itu, Ainun keluar menggembol bakul tak seberapa besar berisi pakaian kotor di pinggang kanan. Ainun mencucilah. Di mana? Di sungai, lah.
“Mih, Ainun nyeuseuh heula di kali [Bu, Ainun berangkat mencuci di sungai].”
“Nya [iya], Ai.” Jawaban Humairoh terdengar dari ruang dapur yang berasap karena hawu sedang bekerja menemaninya memasak.
Istilah sumur-dapur-kasur bagi perempuan desa seperti Ainun barangkali sebagiannya tepat. Walaupun sudah sewajarnya, sumur identik dengan perempuan, dapur identik pula dengan perempuan. Namun, kasur, identik dengan perempuan, bagi Ainun? Bila lebih tepat menjadi: sumur-dapur-sungai, karena di sungai tempat Ainun biasa mencuci pakaian adalah satu tempat untuk dia masih bisa bercanda tawa riang bersama kawan-kawan perempuan sekampungnya. Jernih aliran sungai yang mengalir, kadang deras bila hulu di leuweung 'hutan' hujan lebat, dan kadang tepian sungai terlihat bila air sungai sedang surut. Sedari Ainun kecil, remaja, hingga dewasa, sungai di kampungnya menyimpan begitu banyak sekali kenangan.
Popon sudah melambaikan tangannya dari tepian sungai sewaktu Ainun masih berjalan menyusuri tebing. Perlahan mata kakinya berhati-hati melangkah menuruni jalan setapak di tebing yang pernah mengalami longsor ketika hujan. Wilayah kampung dan sekitarnya sudah dimafhumi sebagai daerah rawan longsor dan gempa. Terus Ainun melangkah hingga akhirnya bakul cucian diletakkannya di atas sebongkah batu bepermukaan rata.
“Wina aya keneh [masih ada]?” tanya Popon.
“Aya [ada].”
“Naha teu ngiring kadie [kenapa tidak ikut ke sini]?”
“Teu. Ekeur ka balai desa jeung Kang Badru [enggak. Bersama Kang Badru sedang pergi ke balai desa].”
“O enya, punten nya, basa eta, Popon batal ngarencangan ka balai desa [oiya, maaf, ya, waktu itu, Popon tidak jadi ikut menemani ke balai desa].”
“Enya lah, da ‘tugas nagara’ tea [Iya lah, kan sedang ada ‘tugas negara’].”
Popon mengikik sembari menutup mulutnya. Beberapa perempuan yang juga turut mencuci pakaian serta tersebar hingga hampir ke tengah sungai yang sedang surut airnya, asyik dengan posisi enak masing-masing, mengucek, mengolesi pakaian dengan deterjen, memukul-mukulkan pakaian di sebongkah batu, membilas, memilin pakaian sehingga air keluar dari pakaian terpilin.
Saat mendengar ada nama ‘Badru’ disebut oleh Ainun, seorang perempuan bertanya, “Saha Wina teh, Ai [Wina itu siapa, Ai]?”
“Eta, Bik, rerencangan abi nu kapungkur, basa merantau di Bandung [itu, Bik, teman lama saya sewaktu merantau di Bandung] .”
“Mmm ..., nya-nya-nya [ya-ya-ya].”
Lalu Popon menyambut dengan penjelasannya yang lebih lengkap tentang siapa Wina dengan menceritakan kembali tentang sekelompok mahasiswa kampus yang dulu pernah bertandang ke desa mereka. Ainun membiarkan Popon menjadi semacam juru bicara yang menggantikan dirinya. Terkadang penjelasan Popon ditimpali oleh perempuan lainnya dengan isi perbincangan lain. Makin lama, makin tak menentulah arah perbincangan mereka. Diawali dengan penjelasan Popon tentang mahasiswa kampus yang dulu pernah bertandang ke desa mereka, dan diakhiri dengan keluh kesah seretnya bayaran jasa membordir dari Pak dan Bu Ucup. Mereka lantas mengeluh sembari berpraduga yang tidak-tidak. Uang bayaran yang seharusnya mereka dapatkan digunakan dulu oleh Pak dan Bu Ucup untuk ini-itu, lah. Mereka protes, yang kurang lebihnya semakna dengan kalimat ini: bayarlah hasil keringat orang lain sebelum keringatnya mengering.
Ainun mulai mengeluarkan isi bakul cuciannya lalu mulailah dia mencuci. Sekeliling sungai tempat mereka mencuci pakaian masih terasa berudara sejuk dan hangat sinar matahari yang bagus untuk pori-pori kulit. Pepohonan rimbun pun meliputi sisi sungai dan tebing.
Syahdan, Pak dan Bu Ucup memang dikenal sebagai bos bordir, sebutan para warga kampung untuknya. Pak Ucup sudah mempunyai rekanan di Tanahabang serta bertahan usahanya cukup lama. Melalui Pak dan Bu Ucup-lah orderan-orderan bordir dengan permintaan yang cukup banyak berdatangan lalu disebarkanlah pekerjaan itu kepada para warga kampung di Desa Margalakasana yang sebagian besar memiliki keahlian membordir. Mulai dari mendesain bordir hingga proses akhir bordiran kemudian dikirimkan via kendaraan yang biasa disewa untuk mengantarkan hasil pesanan bordir yang sudah selesai, semua atas arahan Pak dan Bu Ucup.
Meski begitu, keluh kesah mereka sembari mencuci hanyalah sekadar cara untuk melampiaskan kesal saja. Takada, atau belum ada perubahan sedikit pun dari sikap Pak dan Bu Ucup.
Satu per satu para perempuan itu bangkit dari batu tempat duduk—selesai pakaian mereka tercuci—bersipamit dengan setidaknya sebentuk kecewa dalam dadanya dapat menjadi lebih ringan. Popon dan Wina paling akhir selesai mencuci pakaiannya. Mereka berdua berjalan pulang dengan menapaki jalan setapak di sisi tebing yang tidak seberapa terjal dengan gembolan bakul cuciannya yang sudah bersih dan basah.
Di pinggir jalan tak jauh dari persimpangan jalan, Badru berdiri menunggu Wina persis di bawah atap depan wartel. Sinar matahari mulai menghantarkan panas yang terlalu walau posisi matahari belum tepat di atas kepala. Deru kendaraan besar-kecil yang melintas seperti bus, truk, truk gandeng, bus ¾, hilir mudik dengan kecepatan tinggi. Debu-debu beterbangan sewaktu roda-roda ban melaju di atas jalan dan membawa bau khas karet ban yang bersinggungan dengan jalan raya. Badru berbalik sembari menutup mulutnya dengan kerah jaket kulit untuk mencegah debu itu masuk ke dalam rongga dada. Sewaktu dia berbalik badan, Wina tampak sedang keluar dari bilik bicara. Derit pintu bilik bicara berbahan tripleks terdengar sesudah terbuka bersama langkah kaki Wina berjalan ke luar. Tampak sekilas saja pesawat telepon dengan kotak persegi panjang mirip argo taksi yang menampilkan sebaris angka dan huruf oleh sepasang mata Badru. Kemudian pintu bilik itu tertutup kembali.
Usai menelepon dan membayar biaya telepon SLJJ, Wina keluar dari wartel tanpa perlu mencari-cari Badru karena Badru sudah terlebih dahulu menghampirinya.
“Sudah?”
Wina mengangguk.
“’Ayo Pulang?’” Dengan intonasi tanya, Badru berkata menirukan ucapan Wina di gerbang balai desa tadi.
Wina sejenak diam, menoleh pada wajah Badru untuk mencari tahu apa maksud dari intonasi ucapan Badru barusan.
Badru menjadi serbasalah lantaran sorot mata Wina menatapnya seakan-akan tembus melalui pupil hitam matanya lalu menembus hingga ke dalam hatinya. Namun setelah itu, wajah Wina berubah tersenyum. Cantik. Cantik sekali Wina kala tersenyum. Bangir hidung yang menyangga kacamata bergagang hitamnya bertengger menambah kecantikan wajah Wina yang tersenyum menampakkan lesung pipit.
Kali ini Wina menggeleng, tidak mengiyakan pertanyaan Badru. Badru jadi girang. Hatinya seperti melompat-lompat walau tubuhnya tetap diam. Hanya mimik bungah yang jelas dari pancaran cerah wajahnya saja yang menjelaskan isi hati Badru yang kegirangan. Saat melihat ekspresi wajah Badru seperti itu, Wina tersenyum tipis dan tertunduk. Sebentar kemudian, dia memperbaiki letak kacamata yang turun dari hidung bangir miliknya selagi mengangkat kembali wajahnya.
“Neng Wina lapar?”
“Ya, enggak juga, sih. Tapi, enggak apa-apa lah. Kita cari makan apa?”
“Mmm ....” Badru berbalik badan dan melihat-lihat sekeliling, depan, kiri, kanan jalan raya, kalau-kalau ada tempat yang pas untuk mereka berbincang sambil makan, “Eta [itu] ....” Telunjuk Badru tepat mengarah ke seberang jalan di sebelah kanan tempat mereka berdua berdiri.
Tertulis di spanduk yang ditunjuk oleh Badru: “Bakso & Cilok Lulumpatan”.