Komidi Putar Witarsih

Andriyana
Chapter #12

Manzilah XI

Garasi rumah pada satu kompleks perumahan di Kota Cianjur terbuka. Lalu satu mobil sedan masuk ke dalam garasi rumah minimalis nan asri pada jelang waktu sore. Sedan sekali menderum, sesudah itu piston mesin mobil beristirahat.

Surya An keluar dari pintu kemudi dengan tapak kaki kanan dia menjejak lantai garasi yang diiringi oleh kaki kiri. Sepasang kaki itu membawa tubuh yang lumayan gempal untuk tegak lalu melangkah. “Pintu pagar jangan lupa ditutup, No,” ujar Surya mengingatkan Jono. 

Jono tak balas menjawab dengan ucapan. Dia sigap menuju pintu pagar rumah bernomor 3A. Decit roda-roda besi berjalan di rel pintu pagar hitam terdengar selama pintu pagar itu didorong oleh tubuh Jono yang lumayan kekar selagi Surya An sudah menghilang dari garasi sekelebatan. Jono hanya sempat melihat punggung majikan dia menghilang, masuk ke dalam rumah melalui pintu masuk rumah via ruang garasi bagian dalam. Pintu pagar rumah 3A itu pun Jono gembok sebelum melangkah menuju pintu garasi lalu menutupnya pula.

Baru saja selesai Jono menyelesaikan perintah Surya An, terdengar klakson mobil. Jono mengenal suara klakson mobil anak majikan dia ini. Segera Jono menoleh untuk memastikannya. Lalu wajah Jono tersenyum sembari cekatan dan sigap melangkah menuju pintu pagar rumah 3A untuk membukanya.

“Jon, Ayah baru pulang, atau sudah lama pulang?” tanya Dewi An.

“Baru saja pulang, Non.” Senyum Jono mengiringi kata-katanya untuk menimpali Dewi yang masih duduk fokus di kursi kemudi untuk memarkirkan mobil VW kodok.

“Mau langsung masuk garasi, Non?”

“Kamu saja ya, Jon,” jawab Dewi sembari membuka pintu mobil dan membiarkan mesin mobil VW kodok tetap standby

“Iya, Non.”

“Terima kasih, Jono.” Dewi melangkah melewati Jono yang tersenyum, sedangkan empat jemari tangan kanannya iseng menjawil dagu Jono. Kebiasaan anak majikan dia ini terkadang masih bisa membikin Jono yang lumayan bertubuh kekar itu menjadi ciut hati. 

Jono hanya tertunduk sambil menikmati sisa jawilan jemari tangan Dewi yang lembut dan seakan-akan masih melekat di dagunya.

Empat tahun sebelum Tembur Alam wafat, Surya An dimutasi ke Cianjur oleh perusahaan tempat dia bekerja. Begitulah. Setiap kali Surya An berpindah-pindah tempat akibat tuntutan pekerjaan, dia selalu memboyong semua anggota keluarganya. Surya An tak ingin berpisah dengan keluarga. Bagi Surya An, istri dan anak-anaknya adalah penyemangatnya untuk bekerja maksimal.

“Capek, Pak?” tanya sang istri.

Surya tak menjawab pertanyaan Aimah. Di dalam kamar tidur mereka berdua, Surya duduk di sofa yang hanya satu-satunya di kamar itu. Letak sofa menghadap jendela berpemandangan asri bercampur dengan hiruk pikuk ramai arus jalan. Jarak pandang Surya mampu menjangkau sejauh saujana mata memandang karena kamar itu berada di lantai atas. Tampak olehnya—melalui jendela itu—perbukitan hijau yang lereng-lerengnya wangi oleh tangkai-tangkai teh. Perkebunan teh yang asri. Tampak pula serombongan awan atau kabut yang memeluk lereng-lereng bukit walau tak seberapa pekat. Langit sore yang menaungi rumah bernomor 3A itu sejuk seperti biasa.

Aimah mengerti kebiasaan sang suami yang selalu duduk di sofa sembari menikmati apa yang terlihat dari jendela kamar. Dia lantas melangkah keluar dari kamar untuk membuatkan Surya An secangkir kopi hitam.

“Panca di mana, Mah?”

“Di kamar, Pak, sedang bermain sendirian,” jawab Aimah lalu menggenapkan langkah keluar dari pintu kamar tidur yang dia tarik daun pintunya untuk terbuka. 

Ketika Aimah masih berada di dapur, tergopoh-gopoh Bik Epin masuk pula ke dapur. Bik Epin yang masuk tiba-tiba membuat Aimah penasaran dan bertanya, “Ada apa, Bik?”

Lihat selengkapnya