Untuk ukuran rumah di desa, rumah milik Ucup Pangabudi terbilang mewah. Pekarangan cukup luas diliputi pagar pembatas yang terbuat dari besi bercat kuning emas setinggi seratus delapan puluh sentimeter. Jalan masuk menuju teras rumah dihubungkan oleh paving block yang rapi tersusun dengan lebar satu setengah meter. Paving block itu membelah pekarangan. Pekarangan di sisi kiri, rapi tersusun pot-pot bunga hias beraneka ukuran, dan di sisi kanan terdapat dua kolam: satu kolam berisi ikan emas dan satu kolam lain berisi ikan patin. Di bahu kanan pekarangan terdapat dinding yang tegak berdiri. Tinggi dinding bagian dalam yang diplester dengan bertekstur tak rata berlapiskan ram sebagai tempat tanaman merambat. Begitu pula dengan bahu pekarangan di sisi kiri. Dari kejauhan pun kesan sukses langsung dapat hinggap dalam anggapan setiap orang yang melintasinya.
Samedi berpapasan dengan Kusnandar ketika berjalan keluar dari pintu pagar rumah Ucup Pangabudi.
Kusnandar menyapa, “Assalamualaikum.” Tangannya terulur hendak berjabat tangan dengan Samedi.
“Waalaikumsalam,” balas Samedi seraya menyambut tangan Kusnandar yang mengajaknya bersalaman. Namun tampak jelas lesu wajah Samedi. “Punten, ah, Pak Kades,” Samedi berpamitan dengan menarik jabat tangan kanannya lalu berjalan cepat menyusuri jalan kampung yang menurun.
Daun pintu rumah Pangabudi tertutup bersama sekelebatan tubuh seorang lelaki yang samar-samar terlihat dari tirai jendela rumah. Pangabudi menjauhi tirai jendela rumah, melangkah pergi tak menghiraukan pintu pagar rumah walau masih terbuka.
Setelah berjabat tangan dengan Samedi, Kusnandar menarik jok motor untuk menegakkan sepasang kaki penyangga vespa untuk berdiri. Sinar matahari tak terik, tetapi pantulan sinarnya sekilas menyilaukan mata sehingga Kusnandar membuang muka dari spion vespa miliknya. Dia membuka pintu pagar rumah selebar untuk vespa bisa masuk ke pekarangan rumah. Setelah itu, motor vespa berjalan masuk ke dalam rumah dan parkir di atas paving block. Kusnandar turun dari jok sambil mematikan mesin vespa lalu kembali menegakkan kaki penyangga vespa. Dia melangkah menuju pintu pagar rumah sambil sekali mengibaskan kerah baju dinasnya yang basah oleh keringat. Sore belum tenggelam.
Pintu pagar yang tersusun dari bilah-bilah besi terlas berwarna keemasan Kusnandar tinggal pergi setelah kembali tertutup rapat. Dengan sepasang tungkai kaki yang membawa tubuhnya yang lelah, dia melangkah menuju teras rumah.
Baru saja Kusnandar terduduk pada satu kursi di teras rumah, dirinya menelinga suara lelaki dan perempuan yang sepertinya sedang bersidebat berasal dari dalam rumah. Peci hitam yang letaknya terasa tak nyaman, Kusnandar paskan lagi di kepala. Sekali tarikan napasnya yang dibuang dengan dengusan. Kusnandar masuk begitu saja ke dalam rumah mewah itu lalu menghampiri mereka yang bersidebat.
Pangabudi dan istri dijumpai Kusnandar. Mereka berdua saling melempar ucapan satu sama lain, dan penyebabnya adalah Samedi.
“Teu bisa sabar si Samedi teh. Tos dibeja ku urang: sabar, sabar, Samedi, ari artosna geus dicepeung ku leungeun urang ge, moal ngadagoan isuk, ayeuna ge dibere ka maneh [si Samedi kok tidak bisa sabar, sih. Sudah saya beri tahu: sabar, sabar, Samedi, kalau uang itu sudah di tangan saya, enggak bakalan saya tunggu besok, sekarang juga saya kasihkan kamu].”
“Matak si eta ntong dibere deui lah ari aya pagawean. Asa kahayang na pisan [makanya, kalau ada kerjaan, dia jangan diberi lagi, lah. Sifatnya seperti semaunya dia saja].”
“Nya eta, urang nu meunang orderan, nya urang nu ngatur kumaha-kumaha na. Nu gawe mah, kumaha urang we. Ncan pernah ngarasakeun lier, nyeri sirah meureun, si Samedi. Teu sabaran pisan [begitulah. Kita yang dapat pesanan, ya kita dong yang berhak mengatur caranya bagaimana. Barangkali belum pernah merasakan pusing, sakit kepala, si Samedi itu].”