Setelah turun dari bus yang ditumpanginya, Wina lalu menyetop taksi dekat pintu keluar Terminal Cicaheum. Segera setelah pintu sisi kiri belakang taksi tertutup, Wina meluncur bersama sopir taksi dan memasuki arus ruas jalur jalan yang ramai cukup padat.
“Satu jam lebih sedikit,” gumam Wina. Dia mengetahui berapa lama dirinya berada dalam ramai jalan Kota Bandung bersama sopir taksi dari jarum jam tangan yang terikat di pergelangan tangan kiri.
Rumah Hijau tampak asri dengan tanah lapang yang kehilangan terik sinar matahari sebab terhalang oleh awan mendung pekat. Rumah Hijau asri sudah lekat sekali dalam ingatan Wina yang bergegas melangkah selagi rintik-rintik hujan luruh menderas bersama langkah kakinya yang makin gegas. Deraian dari langit membasahi dedaun, reranting, dan dedahan pohon kelengkeng. Buah-buah kelengkeng yang menggelayut di sela-sela rerimbunan dedaun ikut pula basah. Batang kayu pohon kelengkeng pun lambat laun basah dialir-rembesi hujan melebat sejak Wina gegas melangkah sepuluhan menit tadi.
“Huft,” gumam Wina, “untung saja sudah sampai rumah.” Dia merapikan sejenak rambut sebahu yang sedikit basah oleh rintik air hujan dengan sepuluh jemari tangan. Dari teras Rumah Hijau, Wina mengetuk-ngetuk daun pintu.
“Mih. Mimih,” panggil Wina disela suara ‘tok-tok-tok’ berkeletak-keletok.
“Kela [sebentar],” jawab suara perempuan dari dalam rumah. Daun pintu masih berkeletak-keletok. “Kela-kela [sebentar-sebentar].” Suara sandal karet mendekati pintu masuk Rumah Hijau.
“O ....” Daun pintu Rumah Hijau terbuka. Serima berkata, “Ayo masuk.” Raut wajahnya biasa saja karena baru saja kemarin siang dia dan Wina bertelepon.
Daun pintu rumah pun kembali tertutup rapat untuk menghalangi angin dingin yang dibawa bersama hujan serta mencegahnya masuk ke dalam rumah. Wina melangkah di belakang Serima usai menutup daun pintu rumah,
“Mimih di kamar, Teh Ima?”
“Ya. Ada Ai juga di kamar menemani nenek.”
Wina masih berjalan mengikuti Serima yang melangkah menuju ruang makan. Di atas meja makan bundar, dia meletakkan tas ransel lalu melangkah hendak menuju kamar Witarsih.
“Mau teh panas, Win?”
“Nanti saja, Teh. Saya bikin sendiri.”
“He, eh.”
Petir sekali menggelegar. Wina dan Serima tersentak serempak menutup daun telinga masing-masing.
“Untung kamu sudah sampai di rumah sebelum hujan, ya, Win.”
“Iya, Teh.” Dengan tangkai telunjuk kanan, Wina membetulkan letak kacamatanya yang melorot akibat ikut pula terkejut.
Belum genap langkah Wina mendekat hendak membuka pintu kamar Witarsih, sekonyong-konyong daun pintu terbuka, menyembullah kepala Aini.
“Kenapa, Aini? Kaget, ya?”
Aini sekali mengangguk.
“Nenek enggak kamu peluk? Ada nenek, kok, di dalam kamar.”
“Ih, Bibi.” Mulut Aini mencibir, “Justru nenek juga kaget. Di kasur.” Kata-kata Aini yang sepatah-sepatah membuat Wina dan Serima tahu bahwa Aini masih merasa waswas.
Serima pun segera membikinkan Witarsih secangkir teh hangat sedang Wina sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kamar untuk mengetahui keadaan Witarsih. Ramai kerap rintik air hujan lebat menimpa genting rumah masih terdengar di tengah suasana ruang kamar Witarsih yang tak seberapa terang.
“Ini teh hangat, Mih, minum, ya.”
Wina melekatkan syal yang melingkari leher Witarsih agar dingin pergi dari tubuh Witarsih yang bangkit perlahan dan beranjak turun dari pembaringannya. Setelah itu, Wina bantu menemani Witarsih melangkah dengan memegangi satu lengan kanan Witarsih untuk duduk di kursi kamarnya dikelilingi oleh Aini, Wina, dan Serima.
“Mana teh itu, Rima?”