Rumah Hijau masih basah sejak sore hari diguyur hujan. Becek di tanah lapang sekeliling pohon kelengkeng. Genangan-genangan kecil sisa air hujan menyebar di dalam lekukan-lekukan cekung tanah lapang. Satu dari genangan di tanah lapang Rumah Hijau tergilas oleh ban roda mobil sedan yang membawa Kipli, Lastri, Dedi, Surya, Panca, Aimah. Satu kali terdengar klakson berbunyi, tak lama, hanya sedetik.
Buru-buru Aini bangun dari sofa merah, berlari, dan mengintip dari tirai jendela. Mata dia hendak memastikan bahwa klakson itulah yang ditunggu-tunggu olehnya dengan menyingkapkan tirai jendela. Saat sepasang mata pada wajahnya masih mengintip dari jendela dengan tirainya yang sudah terbuka, menjalarlah getaran dari lantai rumah menuju kaki Aini, merambat hingga sekujur tubuhnya. Satu klakson berbunyi panjang sayup-sayup terdengar lagi, lambat laun makin mendekat. Telinga Aini mengenali suara klakson lokomotif itu. Dia tersenyum. Klakson lokomotif berbunyi panjang sekali lagi tatkala melintas tak seberapa jauh dari Rumah Hijau. Tubuh Aini masih merasakan getaran selama lokomotif KA Parahyangan melintas serta membawa gerbong-gerbong penumpang. Cahaya lampu yang berasal dari serombongan jendela-jendela gerbong penumpang silih berganti memelesat seumpama citra animasi yang bergerak cepat. Kenangan menyenangkan akan klakson lokomotif, dan Kuja, masihlah mengeram dalam ingatan Aini. Aini pun melambai-lambaikan tangan. Namun, lambaian tangan Aini ditujukan untuk mereka yang turun satu per satu dari mobil sedan.
Sementara itu, Serima ikut pula menyusul dan mengintip dari jendela lalu membuka pintu rumah untuk menyambut keluarga Surya An. Mereka saling bersalaman, berpelukan, dengan pancaran wajah senang.
“Ayo masuk, masuk,” ajak Serima. “Hawanya dingin malam ini. Hujan lebat sekali barusan.”
Mereka beriringan masuk ke dalam rumah menuruti ajakan Serima. Sofa merah menjadi sasaran bokong-bokong mereka. Sebagian lagi duduk mengelilingi tiga meja bundar yang tersusun berbaris. Malam berhawa dingin bercampur dengan kehangatan suasana Rumah Hijau yang ramai saling bertegur sapa, bertanya kabar, diiringi senyuman.
“Lastri, bawa Kipli masuk ke kamar dulu,” ujar Aimah. “Lelap sekali dia tidur.”
Lastri yang memeluk Kipli dan masih bertegur sapa dengan Wina tersenyum dan menganggukkan kepala kepada Aimah, “Sebentar, ya, Bik Win.”
Wina memberikan senyum tipis untuk Lastri, “Iya, Tri.”
Sesudah itu, Wina ikut mendengarkan perbincangan lain antara Serima, Aimah, Surya, Dedi, yang bergonta-ganti berbicara sahut-menyahut. Wina hanya tersenyum saja menyimak perbincangan itu. Hingga Serima menceritakan—dengan telunjuknya menunjuk Aini—paniknya mereka bertiga saat hujan lebat dengan petir menggelegar lantang, Surya An menjadi khawatir.
“Mimih, enggak apa-apa, kan?” tanya Surya.
“Ya, Mimih sudah tidur. Enggak, enggak apa-apa, kok,” jawab Serima. “Untung saja Aini mengambil botol minyak angin yang biasa dipakai Mimih.”
Segera Surya menoleh kepada Aini yang duduk di samping kanan tubuhnya yang gempal. “Duh, anak pintar,” puji Surya lalu mengucek-ngucek rambut Aini yang berkucir satu.
Walaupun merasa bangga, Aini pun merasa jengah atas pujian Surya An.
Mereka semua tertawa-tawa kecil nyaris bersama-sama.
“Kang, ada apa, sih?” tanya Wina. “Wina dapat pekerjaan, ya?”
Surya menjelaskan, “Dari dua lamaran yang kamu ajukan waktu itu, yang baru bisa diterima..., lamaran dari teman kamu itu. Jadwal interviu tiga hari lagi dari sekarang. Cepat-cepat deh kamu kasih tahu dia.”