Sudah merupakan hal yang wajar bila seorang kades ditegur oleh struktur organisasi kepemimpinan yang lebih tinggi seperti camat maupun bupati. Karena terkait dengan kinerja, Kusnandar bisa menerima. Bahkan, dia akan segera menyerap poin-poin dari teguran yang dia dapatkan dan dijadikannya sebagai bahan acuan untuk bermusyawarah bersama jajarannya. Itu jika berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab dia sebagai kades. Bagaimana bila teguran itu berasal dari orang tua yang berhubungan dengan hubungannya dengan Ainun yang selama ini belum juga terhubungkan dalam ikatan yang lebih serius? Bertunangan, misalkan.
“Belum berhasil, Pa, Mih.”
“Apa dan Mimih harus turun tangan?” Lirikan mata Pangabudi kepada Wiwib ‘panggilan kecil Kusnandar’ seperti meremehkan kinerja Kusnandar karena tidak sesuai dengan apa yang dulu pernah orang tua mereka berdua canangkan sewaktu Wiwib dan Ainun masih kecil.
Wiwib diam. Pandangan matanya jauh menatap senja di kaki langit. Dari teras rumah Ending dan Pangabudi, dia terduduk lesu. Bersama Ending di sisinya, peci hitam yang teronggok di atas meja di hadapannya, serta kepulan asap yang berasal dari rokok kelobot di mulut Pangabudi yang berjalan mondar-mandir di hadapan mereka berdua yang duduk di teras rumah. Wiwib lalu menghela napas. Wajahnya menekuri lantai keramik teras. Jari-jari tangan kanan dia menekan-nekan dahi.
“Bagaimana cara kamu ajak pulang Ainun?”
“Bagaimana Wiwib bisa ajak pulang Ainun, Mih? Sekarang Ainun sedang ada di mana saja Wiwib enggak tahu.”
“Cara kamu, Wiwib, bertele-tele. Padahal, Apa dengan ajengan sudah setuju. Seharusnya, datang-lamar-akad. Selesai!” Kepulan asap dari mulut Pangabudi berbuah ucapan bernada kecewa. Lalu dia duduk pada satu kursi teras setelah mata kakinya bosan mondar-mandir.
Ending membela Wiwib, “Iya, itu teori. Kenyataannya, kan, enggak begitu, Apa.”
“Teori apa, Mih? Mimih masih ingat? Dulu Wiwib pernah kalah langkah. Ainun ke Bandung, Wiwib menunggu sambil gigit jari. Sekarang sudah hampir tiga bulan Ainun pergi, katanya kerja, tapi enggak tahu kerja apa, di mana ...?” Pangabudi berujar, “Kalau saja dulu bertunangan, kita jadi punya alasan untuk melarang Ainun pergi, Mih.” Kursi teras ditinggalkan pergi oleh bokongnya. Pilar teras sekarang menjadi sasaran telapak tangan Pangabudi untuk menopang tubuh setelah melangkah menghampirinya. Rokok kelobot dia isap dalam-dalam lalu asap keluar begitu saja tanpa diembuskan oleh mulutnya. Pangabudi menatap kaki langit yang mulai menampakkan warna jingga.
Kusnandar yang dihormati sebagai kades, di hadapan orang tua tetaplah seorang anak. Dia tetap diam, berusaha bersabar atas semua omongan Pangabudi walaupun Ending membelanya.
“Wiwib turuti kemauan Apa, tapi untuk urusan hati enggak bisa dipaksa, Pa.”
Ending menimpali, “Iya, Pa, betul itu yang Wiwib bilang barusan.”
“Dulu, Apa dengan ajengan sudah saling setuju. Kalau Wiwib maju-mundur-maju-mundur terus, enggak ada kemajuan, lah. Niat Apa dan ajengan, kan, baik. Orang-orang desa juga menganggap itu semua cuma hal yang lumrah, kok. Lihat itu, anak Apan, Kasdim, contohnya. Mereka sudah punya anak-anak sekarang.”
Ending menyimak omongan Pangabudi yang kini bertelekan pinggang di sisi pilar teras rumah dan memunggungi Wiwib dan Ending. Sementara, Wiwib yang sedari tadi tak banyak menimpali omongan Pangabudi, menghela napas lalu peci hitam di atas meja dia comot dan dipaskannya pada kepala.
“Wiwib coba cari di mana Ainun bekerja,” Kusnandar berkata, bangun dari kursi teras dan melangkah hendak masuk ke dalam rumah.
Pangabudi menghampiri dan menahan langkah Kusnandar dengan bertanya, “Kok dicari? Diajak ke KUA, Wiwib.”
Kusnandar menghentikan langkah dan menoleh pada wajah Pangabudi yang berkata untuk memberinya semangat dengan nada tanya sindiran. Meski begitu, wajah Pangabudi tersenyum saat mengatakannya, bahkan bahu kanan Kusnandar ditepuk-tepuknya. Ending pun ikut bangun dari kursi teras dan menghampiri mereka berdua, tersenyum dan berkata, “Jangan menyerah, Wiwib.”
Selepas waktu isya, Badru baru saja turun dari jok sepeda motor ketika suara vespa yang dikendarai Kusnandar berhenti tepat di sampingnya, di depan rumahnya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Badru menjawab salam dengan tubuh yang masih berdiri di samping motornya, “Tumben malam-malam mampir kemari, Pak.”
Fokus wajahnya tak menyahuti basa-basi Badru karena badan dia masih sibuk bersama tangan dan kaki untuk memberdirikan kaki penyangga motor vespa. Setelah Kusnandar yakin kalau vespa miliknya sudah tegak berdiri, tangan terulurnya dijabat oleh tangan Badru.
“Apa kabar, Dru?”
Badru menjawab, “Baik.”
“Usaha kita lancar, kan?”
“Alhamdulillah, lancar. Enggak biasanya, Pak, datang kok jam segini?”
Kusnandar menjawab dengan senyum. Badru menarik tangan kanannya. Jabat tangan mereka berganti dengan langkah kaki-kaki mereka yang melangkah beriringan hendak masuk ke dalam rumah Badru.
“Di teras saja, Dru.”
“Enggak di dalam saja, Pak?”
“Enggak usah. Saya cuma sebentar, kok.” Kusnandar menarik satu kursi tak jauh dari tempat dia berdiri.
Badru urung masuk ke dalam rumah, dan ikut duduk di kursi teras, berhadapan dengan Kusnandar yang sudah lebih dulu duduk, “O ..., ya sudah.”
“Dru, tolong aku, bisa, ya?”
“Tolong apa, Pak?”
“Saya kepingin ketemu Ainun. Kamu pasti tahu, dong, Ainun di mana sekarang.”
Badru ringan menjawab pertanyaan Kusnandar, “Ya, tahu, Pak.”
“Bagus! Antarkan saya bertemu Ainun, ya.”
“Siapa yang bakal urus balong-balong kalau saya bantu mengantarkan Bapak?”
“Ah, saya dan kamu, kan sama-sama pemilik balong-balong itu. Serahkan saja dulu barang sehari-dua hari ke satu orang yang bisa kita percaya. Kasdim, kan, bisa. Lagi pula, dia ulet dan sejak awal sudah ikut bekerja dengan kita mengurus balong-balong itu.”
Badru tak lama berpikir, segera dia mengiyakan, “Kapan Bapak bisa saya antar?”
“Minggu. Oke?”
“Ya sudah.”
Kusnandar bangun berdiri dari kursi teras dan berpamitan setelah bersepakat dengan Badru. Dari vespa yang dia kendarai, Kusnandar melambaikan tangan kepada Badru yang membalas lambaian dari halaman rumah begitu hendak memasukkan sepeda motor ke dalam rumah.
Dua roda vespa menyusuri jalan yang menanjak berkelok karena letak rumah Badru berada di lebak, sedangkan rumah Pangabudi, bapak Kusnandar, berada di tonggoh. Hidup membujang menjadikan Kusnandar memutuskan tetap tinggal serumah dengan orang tua. Jalanan sepi dan hanya vespa Kusnandar saja sendirian yang melaluinya. Hawa dingin pada waktu kian malam sepertinya bakal membuat kulit tubuh Kusnandar mengerut walau sekujur tubuhnya sudah berbalut jaket kulit—industri rumahan—khas Garut. Belum lagi kabut yang mulai bergentayangan bila hawa dingin datang meliputi persawahan sisi jalan yang dilalui Kusnandar, meliputi bukit berundak yang menjadi rata tiap tingkatan untuk digunakan bercocok tanam, meliputi warung kopi pinggir jalan yang terakhir tutup saat vespa Kusnandar melintas, serta meliputi pekuburan desa yang gelap, selain diliputi oleh kabut, juga diliputi oleh kisah-kisah mistis yang penuh dengan konon.
Konon ada kisah-kisah yang masih terawat dalam ingatan setiap warga desa. Bila ada kejadian begini, itu adalah pertanda bakal ada kejadian begitu. Untuk mengatasi maupun menolak kejadian itu supaya batal terjadi, mereka melakukan kegiatan ini-itu sebagai syarat penolak bala. Sebagian dari warga desa bahkan memiliki kemampuan linuwih yang didapatkannya dari laku tirakat, menziarahi makam-makam leluhur yang tersebar di sekeliling wilayah Galunggung serta diyakini sebagai penghulu—karuhun—yang menyebarluaskan ajaran Islam. Ketika berziarah mengunjungi leluhurnya, tak sedikit dari mereka yang berlinangan air mata, baik itu tua-muda, lelaki-perempuan, kaya-miskin. Tersirat satu makna dari budaya berziarah: berbakti kepada orang tua tidak dibataskekangi oleh dimensi hidup dan mati dalam semesta. Lagi pula, bukankah sejatinya si fulan anak dari Mukidi bin fulan anak dari fulan, anak dari ..., anak dari ..., anak dari ..., dan seterusnya, hingga silsilah itu menaut kepada bapak moyang semua manusia? Manusia mendoa kebaikan untuk manusia lain, salahkah? Apalagi tulang belulang manusia berkalang tanah yang mereka ziarahi itu adalah karuhun-karuhun mereka yang berjasa dalam menyuluhi hati dan pikiran anak-cucu-cicit-bao-sengge-wareng-udegudeg dan seterusnya. Boleh jadi laku tirakat dan bukti bakti kepada karuhun itu sebagai pelantar datangnya keberkahan bagi mereka.
Kalau ada satu-dua warga yang diserang penyakit, pelinuwih-lah yang dirujuk oleh warga desa ketimbang puskesmas lantaran pemahaman warga desa akan manfaat dari puskesmas dan dokter masih rendah. Meski begitu, upaya dari perangkat desa seperti Kusnandar serta jajarannya tak jemu untuk menyosialisasikannya melalui penyuluhan-penyuluhan tentang manfaat puskesmas dan dokter kepada setiap warga Desa Margalakasana. Tidaklah dipungkiri para penyuluh, diperlukan waktu sosialisasi yang kerap dan mendalam untuk menyuluhi pemahaman dan hati para warga, terkecuali untuk benda bersinar cukup terang yang masih sering kali memelesat selepas jam dua belas malam di langit desa mereka, para penyuluh itu angkat tangan. Itulah peristiwa-peristiwa yang belum maupun tak ternalarkan bagi sebagian orang kota. Namun bagi warga desa, itu adalah hal yang biasa saja karena sering kali terjadi sudah. Jika benda bersinar yang memelesat beterbangan di langit desa itu mereka lihat, mereka biasa menyebut, “Ah, aya nu nyantet, yeuh [ah, ada santet, nih].” Lalu esok hari, antarsesama warga mereka mempergunjingkannya saat berpapasan sembari mencoba mencari tahu apa penyebab benda itu beterbangan. Setidaknya sebanding dengan kebiasaan menggosip orang kota meski yang membedakannya hanyalah perihal: apa benda yang memelesat. Untuk orang kota, jika benda yang memelesat adalah piring terbang, centong terbang, panci terbang, dan alat-alat dapur, itu pertanda bakal ada kejadian perceraian. Bila ponsel terbang, motor terbang, mobil terbang, sertifikat rumah terbang, uang tabungan terbang, itu pertanda Anda kurang jeli dan waspada. Ingatlah, kejahatan bukan hanya datang karena niat si pelaku.
Begitu pun dengan makhluk jejadian yang masih sering sowan menampakkan diri. Warga desa menyebut makhluk jejadian itu dengan istilah seperti ular siluman, babi siluman, monyet siluman, sebagai munjung. Setali tiga uang dengan orang di perkotaan yang menyilumankan harta yang bukan merupakan hak miliknya sehingga tersebutlah istilah dana siluman, proyek siluman, dan lain sejenisnya.
Selain itu, konon cara bertarung orang linuwih digdaya juga masih sering menjadi buah bibir warga desa yang mengobrol sembari melepas lelah di saung maupun warung kopi. Mereka memelihara kisah-kisah yang sulit diterima oleh cara berpikir logis.
Alkisah, tersebutlah satu tanah lapang yang telah disepakati sebagai tempat pertarungan untuk menguji kedigdayaan. Orang-orang yang memiliki kedigdayaan menguji kemampuan dengan bertarung di tempat yang sudah mereka sepakati. Cara mereka bertarunglah yang sulit untuk diterima oleh logika. Bagaimana tidak? Dua orang digdaya dipertemukan berhadap-hadapan dalam satu tanah lapang hanya dengan masing-masing dari mereka berdua saling diam berdiri bersedekap memejamkan mata. Mereka berdua hanya diam berdiri berhadap-hadapan sehingga satu dari mereka yang bertarung membuka mata dengan lubang hidung berdarah, lubang telinga berdarah, bahkan dari sudut sepasang mata pun mengeluarkan darah lalu menyerah serta mengakui kedigdayaan lawan.
Kusnandar meninggalkan kabut, mengendarai vespa yang makin lama terlihat kabut itu menjauh selama dia lewat di pekuburan desa. Mistikisme, untuk Kusnandar, adalah hal yang memang benar ada. Biarpun begitu, dia sebersit pun tak pernah berhasrat untuk menggunakan pelet demi Ainun. Bukan apa-apa, alasannya hanyalah pelet tidak murni berasal dari kerelaan hati. Selain itu, memelet itu adalah pekerjaan yang melelahkan, melelahkan hati Kusnandar serta pikirannya, juga menghabiskan biaya.
Tiga hari menjelang hari-H yang telah disepakati oleh Kusnandar dan Badru, Alit bertemu dengan Badru di tengah perjalanan Alit dari sekolah hendak pulang ke rumah.
“Hiap, Al, sakalian. Akang geu rek ka rompok [ayo, Al, sekalian. Kakak juga mau ke rumah],” ajak Badru. Dia menghentikan laju motor di sisi Alit yang sedang berjalan.
“Eh, nya, Kang [eh, iya, Kak].” Alit segera naik ke boncengan sepeda motor Badru. “Tos ti mana, Kang [dari mana, Kang]?”
“Ti nelepon batur bisnis balong Akang nu di kota [dari menelepon rekan bisnis balong Kakak yang tinggal di kota].”
“O ....”
“Dungakeun ku alit, nya, ameh bisnis Akang lancar. Pan engke Alit kacipratan oge tina hasil bati na [Alit doakan, ya, agar bisnis Kakang lancar. Nanti Alit bakal kecipratan juga hasil dari keuntungannya].”
“Nya, sing lancar-sing lancar-sing lancar, Gusti Pangeran [iya, semoga lancar-semoga lancar-semoga lancar, ya Allah]. Aamiin.”
“Aamiin.”
Badru menyelaraskan persneling, kopling dan gas, menggerakkan kembali dua roda motornya untuk bergerak tak terlalu cepat menyusuri jalan. Sepeda motor Badru diliputi oleh warna putih merah pakaian anak-anak yang berjalan sendiri-sendiri, berdua-dua, berbaris di sisi jalan. Badru berhati-hati menyalip kerumunan putih merah di sisi kanan-kiri jalan. Di antara kerumunan itu, Badru mengenali Popon yang berjalan bersama Leha.
“Mangga tipayun, Ceu Popon [permisi, duluan, Kak Popon].”
“Mangga [silakan],” balas spontan Popon. Namun setelah menyadari siapa yang menyapa, dia memanggil, “Kang Badru, Kang, Kang Badru. Nyisi heula [ke pinggir, berhenti dulu].”