Dewi yang mulutnya sibuk mengunyah permen karet mengemudikan kendaraan mengikuti ruas jalan yang menanjak berkelak-kelok. Tujuan mereka sudah tak seberapa jauh lagi. Kendaraan yang dikemudikan Dewi sudah masuk ke wilayah Desa Margalakasana.
“Masih jauh, enggak, nih, Bik?” tanya Dewi disela fokus pandangan mata dia memperhatikan jalan yang tak rata serta menanjak berkelak-kelok.
Jendela kendaraan mengantarai pemandangan perbukitan dengan Witarsih yang duduk di kursi penumpang persis di belakang kursi kemudi. Tatapan matanya lekat menikmati pemandangan selama perjalanannya. Sementara itu, Wina pun masih terus fokus memandang jalan yang menanjak. Sesekali dia menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan ingatannya bahwa jalan menanjak yang sedang ditempuh oleh kendaraan yang mereka tumpangi tak salah arah.
“Bik,” panggil Dedi yang duduk di samping Dewi di kursi depan. “Kita enggak kesasar, kan?”
“Enggak, enggak, Ded. Itu, sudah enggak jauh lagi, kok. Nah, itu, ada jalan, masuk, belok kiri, Wi.”
Perlahan-lahan kendaraan yang membawa mereka berjalan menanjak. Roda-roda ban berputar perlahan melindas bongkahan bebatuan seukuran kepalan tangan hingga sekepala manusia bahkan ada beberapa bongkahan yang lebih besar lagi. Dewi mengikuti arahan Wina dengan memutar setir kemudi untuk berbelok kiri lalu masuk mengikuti jalan yang masih juga menanjak.
Kipli tak peduli akan perbincangan Dedi, Dewi dan Wina. Dia sedang asyik memperhatikan Panca dan Aini yang sedang bermain “gunting-kertas” di kursi penumpang paling belakang. Lastri memeluk Kipli yang berdiri serius memperhatikan tangan Aini dan Panca. Dia serius mengamati tangan-tangan mereka berdua yang asyik bermain ditingkahi tawa riang khas anak-anak. Kipli pun ikut tersenyum riang mengikuti Aini dan Panca saat tertawa-tawa. Bicaranya masih sepatah-patah walau menangisnya keras.
Tiba-tiba, tatapan mata Kipli kemudian beralih pada kaca jendela belakang kendaraan. Tampak oleh matanya sehingga dia mengikuti ke mana segerombolan orang itu berjalan. Akibat terhalang oleh kendaraan yang dikemudikan Dewi, gerombolan orang-orang itu pecah menjadi dua bagian yang melintas dan mendahului kendaraan melalui sisi kiri dan kanan. Wina, Witarsih, Lastri, Dedi, serta Dewi, juga ikut-ikutan memperhatikan gerak orang-orang yang melintas di kiri-kanan mendahului laju kendaraan.
“Kedatangan kita disambut, Win?”
“Ah, enggak, ah. Kita datang bukan buat acara formal, kan, Mih.”
“Mereka yang berjalan cepat-cepat itu siapa?” tanya Lastri selagi Dewi mengimbuhi dengan berujar, ”Mau ke mana?” Masih dengan permen karet awet Dewi kunyah.
“Ya orang, lah,” Dedi menjawab meski asal saja.
Lama-kelamaan, laju kendaraan yang dikemudikan Dewi tak bergerak sedikit pun. Makin lama orang-orang yang berjalan cepat-cepat menyusul kendaraan mereka makin bertambah banyak. Dewi cekatan mengangkat rem tangan lalu mendengus. Dia membuka kaca jendela lebih lebar lalu menoleh ke belakang sebentar kemudian ke depan, mencari-cari jawaban. Orang-orang yang kebanyakan berlari-larian terdiri dari lelaki dan sisanya perempuan, serta hanya sedikit dari anak-anak, memenasarankan Dewi. Dia membuka pintu kemudi, sigap menjejakkan kaki kanannya turun bersama kaki kiri lantas ikut berjalan bersama mereka yang berjalan menuju satu arah.
Dedi sempat memanggil, “Dewi.” Namun dia hanya mendapatkan jawaban sekali lambaian tangan Dewi yang hanya sekali pula menoleh ke belakang dengan masih memperlihatkan mulutnya yang tak berhenti mengunyah permen karet. Dedi cepat membuka pintu dan turun dari kendaraan, mengamati sekeliling. “Ada apa ini?” gumamnya.
Tak lama kemudian, Wina ikut pula turun dari kendaraan dan menoleh-noleh. Waktu jelang sore di bahu bukit itu takada pertanda aneh. Matahari masih bersinar condong agak ke barat kurang lebih sepuluh derajat di antara awan putih yang berarak. Hanya terlihat olehnya sedikit awan kelabu berada jauh di pelosok langit.
“Aya naon, Kang [ada apa, Kang]?” tanya Wina pada satu orang yang berlari-lari kecil saat melintas di depan dia.
“Eta, aya nu kasurupan, ceunah, mah [itu, ada orang kesurupan, katanya].”
Kesurupan sehingga membuat orang-orang berlari-larian begini?
Dedi pun sempat mendengar jawaban dari pertanyaan Wina barusan. Kemudian dia melangkah menghampiri Wina, “Kita tunggu dulu di sini. Jangan ke mana-mana.”
Wina mengangguk meskipun gelisah.
Kepenasaran Dewi membawanya terus melangkah mengikuti orang-orang yang berjalan cepat-cepat menuju satu rumah. Dengan jalan menanjak yang dia susuri menjadikan napasnya terengah-engah. Sekali dia membetulkan letak topi rajutan berwarna hijau buah karya Witarsih di kepalanya. Dahi Dewi mulai berkeringat selama dia menuju satu rumah yang menjadi sasaran orang-orang yang berlari-larian. Mereka berkerumun di sekitar teras rumah yang cukup mewah untuk ukuran orang-orang desa umumnya yang hanya memiliki rumah berbahan dari kayu dan bambu, kontras dengan rumah berbahan batu bata dan semen serta terkesan mewah tersebut. Dewi membuang permen karet hambar dari mulutnya. Kedua tangannya merogoh dan membuka kemasan permen karet dari kantong celana lalu memasukkannya ke dalam mulut. Permen karet kembali Dewi kunyah.
Langkah kaki Dewi makin mendekati pusat kerumunan. Antara ragu sekaligus penasaran, perlahan-lahan tungkai kakinya melangkah. Namun, Dewi melangkah makin lama makin mendekat di kerumunan sehingga tanpa dia sadari, tubuhnya sudah terjebak di antara kerumunan orang-orang yang melongok-longok, menggumam-gumam, dengan berbagai macam wajah dan mimik. Lelaki-perempuan berbaur menjadi satu. Setapak demi setapak Dewi bergerak, menyeruak dalam kerumunan, mendorong dan didorong, hingga tampak di hadapannya dengan cukup jelas seorang lelaki dengan tangan kanan sedang memegang gagang golok bersarung sembari berteriak-teriak. Gagang golok yang masih bersatu dengan sarungnya dia ayun-ayunkan menunjuk-nunjuk langit. Lelaki itu memanggil-manggil nama seseorang yang terdengar jelas di telinga Dewi juga di telinga orang-orang yang berkerumun.
“Ucup!” Lelaki itu berteriak, “Ucup Pangabudi!” Lantang dia berteriak lagi, “Kaluar siah [keluar kamu]!” Lelaki itu berjalan mondar-mandir di tepian teras berubin keramik.
Apa yang memenasarankan Dewi terjawab sudah. Namun, dia masih tetap bertahan di kerumunan paling depan. Sedari kecil bersama Surya An menetap di daerah yang berbeda-beda budaya dan adat kebiasaan, menempa Dewi untuk menjadi orang yang tidak mudah takut bila tak bersalah. Lagi pula, apakah rasa penasaran di benak Dewi adalah satu hal yang bisa dicap sebagai sesuatu yang salah? Walaupun jelas tampak golok bersarung terayun-ayun di tangan seorang lelaki yang kata orang-orang sedang kesurupan, terjarak enam—delapan langkah dari tempat dia berdiri, Dewi tak merasa takut. Dua kali tubuh Dewi terdorong ke depan akibat satu-dua orang yang memaksa menyeruak ke depan. Satu lelaki, dan satu perempuan paruh baya bersama lelaki yang kakinya masih berlumuran tanah merah basah. Topi rajutan hampir terjatuh dari kepalanya kalau saja Dewi tidak segera memeganginya akibat terdorong tadi. Sambil mengunyah permen karet, sempat sekali dia melihat sekilas satu per satu wajah tiga orang yang kini berada di kiri dan kanan tubuhnya.
Di lebak, Dedi dan Wina masih menunggu-nunggu dengan cemas. Kendaraan yang tadi dikemudikan Dewi masih tertahan tak bergerak oleh tuas rem tangan yang terangkat, diam begitu saja di jalan yang menanjak.
“Ded, bawa mobil, deh.”
“Turun?”
“Naik. Kita terus naik. Kita enggak bisa turun. Susah cari tempat memutar.”
Dedi tak mendebat Wina. Dia langsung berjalan cepat masuk ke ruang kemudi kendaraan. Wina pun segera duduk bersebelahan dengan kursi kemudi yang Dedi duduki. Kembali kendaraan mereka berjalan perlahan-lahan masih menyusuri jalan menanjak. Belum genap tiga menit empat roda kendaraan itu berputar,
“Setop, setop, Ded. Bawa mobil parkir ke situ.” Tangan Wina menunjuk satu warung di sebelah sisi jalan. Dedi pun menjawab dengan memutar setir ke kiri lalu parkir persis tak jauh dari warung itu.
Wina segera turun dari mobil, dan melangkah cepat menuju warung yang letaknya lebih tinggi dari jalan. Tak lama kemudian, Wina kembali ke mobil dan berbicara kepada Lastri, “Ayo, Lastri, anak-anak bawa turun semua. Kita ke rumah itu.” Untuk Witarsih, Wina berkata, “Mih, minta ditemani Dedi, ya.” Untuk Dedi, Wina berkata, “Ded, bawa nenek ke rumah itu, di belakang warung.”
Wina berkata tidak hanya dengan berpangku tangan. Tangan dia sigap segera membuka pintu samping kiri dan menggendong Kipli agar Lastri bisa membantu Aini dan Panca untuk turun dari mobil. Begitu pun Witarsih yang sudah menapakkan kaki setelah pintu samping kanan bagian penumpang sudah dibukakan Dedi. Mereka semua bersama-sama berjalan meniti jalan setapak bertanah merah untuk sampai ke atas. Letak rumah yang dimaksud oleh Wina persis di belakang warung, sudah berdiri satu perempuan yang dipanggil, “Bik Suti.” Wina melanjutkan ucap, “Terima kasih, ya.”
Bik Suti menjawab dengan tersenyum ramah sembari mempersilakan Witarsih, Aini, Panca, Lastri, untuk masuk ke dalam rumah, dan Kipli diserahkan kembali ke pelukan Lastri setelah mereka semua sudah berada di dalam rumah Bik Suti.
Wina tersenyum ramah. “Bik Suti, Wina tinggal dulu, ya. Titip keluarga saya,” ujar Wina dengan meliukkan kepala kepada Dedi.
Dedi mengerti arti liukan-ajakan kepala Wina, “Bik Suti, saya ke sana dulu.” Senyum ramah tersungging dari wajahnya bersama tubuh yang berbalik mengikuti langkah kaki Wina yang sudah beberapa langkah meninggalkannya.
Terlihat sekilas oleh Dewi seorang berpeci hitam berpakaian seragam yang berjalan setapak demi setapak di antara kerumunan. Peci itu berjalan di antara kepala orang-orang yang masih berkerumun melongok-longok untuk melihat lelaki yang masih juga berteriak-teriak. Walaupun peci itu berjalan perlahan di antara kepala orang-orang yang berkerumun, kepala orang-orang yang menoleh kepadanya lalu memberikan jalan dengan menggeser badannya untuk memberi ruang orang berpeci hitam. Hingga akhirnya, peci hitam itu bersama kepala dan tubuhnya berjalan perlahan mendekati lelaki bergolok yang masih berteriak lantang memanggil-manggil.
“Ada apa, Kang?”
Lelaki yang masih menuding-nuding teras rumah serta sesekali menunjuk-nunjuk langit dengan golok bersarung miliknya menoleh setelah ditanya. Kemudian, dia membalikkan seluruh badannya dan berhadapan dengan lelaki berpeci hitam.
“Yeuh, Pak Kades ....”
Dewi mengernyitkan kening, bergumam, “Pak kades?” Seketika mulut Dewi berhenti mengunyah permen karet.
“Geroan tah Apa-Indung maneh [panggil, tuh, orang tuamu],” ucap sombong si lelaki sembari menuding teras rumah cukup mewah dengan ujung golok bersarung.
“Iya, ada apa, Kang Samedi?” Pak kades mundur selangkah dan waspada bersama kedua telapak tangan terbuka tepat tak jauh di depan dada.
Samedi menebah dada dengan sarung dan gagang golok tergenggam oleh tangan kanan. “Aing geus keheul [saya sudah kecewa],” kata Samedi, “teungteuingeun keheul na [keterlaluan kecewa-nya].” Sekali lagi dadanya ditebah dengan sarung golok oleh tangan kanan yang masih menggenggam gagang golok. Bunyi dari golok bersarung yang beradu dengan dada seakan-akan menjelaskan betapa dalam kecewa Samedi atas apa yang sudah diperbuat oleh Ucup-Ending. Dia lalu melampiaskan segala unek-uneknya yang juga merupakan unek-unek sebagian besar orang-orang yang berkerumun di sekitar pekarangan rumah mewah itu. “Sinah kaluar. Titah kadie [biar keluar. Suruh ke sini],” Samedi lagi berkata dengan menunjuk paving block dengan tangan kiri tepat selangkah di bawah.
“Istigfar, Di,” ucap seseorang yang berasal dari kerumunan.
“Cicing siah! Repeh [diam kamu! Diam]!” tukas Samedi membentak tanpa menengok. Ekor matanya mengikuti langkah kades yang berjalan menuju teras.
Tak lama kemudian, kades itu membuka pintu rumah mewah lalu masuk ke dalam untuk menemui Ucup dan Ending.
Tak sudi lama menunggu, Samedi berteriak lagi memanggil-manggil pemilik rumah untuk segera keluar. Saking kesal dan marahnya setelah lama menanti kades dan pemilik rumah itu, Samedi berteriak-teriak melampiaskan unek-unek lagi berulang-ulang makin keras, memanggil-manggil dengan golok yang tergenggam terayun-ayun makin liar ke segala arah lalu lepas dari sarungnya.
Mata Dewi membeliak. Menganga mulutnya berhenti mengunyah permen karet. Waspada dia hilang lantaran memperhatikan dan menunggu-nunggu kades berpeci itu keluar dari pintu rumah mewah sehingga tak menyadari saat sarung golok itu terbang memelesat cepat menunjuk jidatnya. Dewi tak sempat mengelak. Hal yang sempat dilakukannya hanyalah memejamkan mata dengan kedua tangan terangkat menutupi wajah. Menundukkan kepala adalah satu lagi hal tersisa yang sempat Dewi lakukan. Serempak kerumunan itu riuh menjerit. Namun dua detik kemudian, napas lega yang berasal dari kerumunan terdengar di telinga Dewi. Dewi kembali membuka kelopak mata. Hal yang dilihatnya pertama kali saat membuka kelopak mata adalah dua orang mengapit kades yang berdiri di teras rumah. Sekali Dewi menoleh ke kiri dan melihat ujung sarung golok sudah digenggam oleh tangan kanan seorang lelaki. Sekali pula Dewi mengusap jidat yang masih berada di tempatnya. Sekali lagi Dewi menoleh ke kanan dan melihat wajah lega perempuan paruh baya yang mengusap-usap bahu kanannya.
Sementara itu, golok terhunus di genggaman Samedi sudah bukan pada tempatnya. Bila dibiarkan saja, akan terjadi banjir darah akibat Samedi yang sedang gelap akal berlari menyongsong kades dan dua orang yang mengapitnya.
Tangan yang terentang menggenggam golok terhunus bersama gerak langkah kaki Samedi yang mencepat hendak menyongsong kades, Ucup dan Ending, makin lama makin terasa melambat. Bahkan, badan Samedi bagai lembu yang sedang menarik pedati serta tertahan rodanya oleh bongkah batu sebesar kepala lembu. Urat-urat di leher dan mukanya tampak sementara tangan Samedi keduanya merentang, dan menggapai-gapai hendak memaksa untuk terus menyongsong tiga orang yang berdiri di teras rumah.
Sekali lagi Dewi menoleh dan mengamati seorang lelaki yang masih menggenggam sarung golok. Wajah lelaki itu berkeringat dengan otot tangan tampak terlihat menyembul di balik kulit sawo matang miliknya. Sorot matanya tajam pada tubuh Samedi. Barangkali, Dewi menganalogikan orang yang sedang mengejan serupa dengan lelaku lelaki sawo matang di sisi kirinya ini. Setelah dua kali kunyahan permen karet di mulutnya, Dewi membuang pandangan mata pada wajahnya lalu memperhatikan kades yang berdiri tenang diapit oleh Ending dan Ucup Pangabudi yang tampak ketakutan melihat Samedi bak lembu berang berwajah merah padam tersebut. Kali ini, Dewi mengernyitkan dahi, menoleh sekali pada lelaki di samping kiri, dan kades yang berdiri tenang di teras tepat di depannya sekitar 15—18 langkah. Samedi terdorong ataukah tertahan oleh sesuatu? Dewi kembali menoleh satu per satu kepada mereka berdua sebanyak dua kali. Lalu, Dewi melihat Samedi yang masih memaksakan badan untuk menyongsong Ucup-kades-Ending dengan golok terhunus hingga suara orang mengejan (bersalin) juga terdengar dari mulut Samedi, lamun suara Samedi itu lebih tepat disebut mengerang ketimbang suara orang mengejan-bersalin.
Sekali lagi Dewi menoleh, mengamati lelaki yang berdiri di sampingnya. Matanya memindai lekuk-lekuk wajah lelaki berkulit sawo matang yang masih merah padam lantaran menahan napas. Akhirnya, Dewi menghadapkan tubuhnya ke kiri lalu tangan kiri dia menepuk bahu kanan si lelaki. Sontak, mengejan si lelaki terhenti bersama sarung golok lepas dari genggaman tangan kanannya. Dewi mengangsurkan telapak tangan kanan, dan berkata, “Hai, saya Dewi.” Dia memperkenalkan diri disela mulutnya yang sibuk mengunyah permen karet.
Hanya berselang dua detik sesaat Dewi memperkenalkan diri, perlahan-lahan tubuh Samedi melemas, melunglai lalu ambruk menggeletak di atas paving block. Golok terhunus di tangan kanan Samedi buru-buru disingkirkan oleh kaki seseorang yang sigap keluar dari kerumunan. Telapak tangan kanan orang itu lalu menepuk-nepuk pipi Samedi yang taksadarkan diri.
Sementara itu, lelaki berwajah dengan kulit sawo matang itu pun menghela napas, menunduk beberapa saat lalu menoleh kepada Dewi, dan tersenyum dengan dahi berkeringat, berkata, “Hai juga. Saya Badru. Saya tebak, kamu sopir Pak Dedi Surya, bukan?”
Dewi menarik telapak tangannya yang sudah bertemu dengan telapak tangan Badru, menjawab, “Iya.” Mulutnya masih mengunyah permen karet walau rona pipi dia me-merah. “Tahu dari mana?” tanyanya.
“Dari suara kamu.”
Dedi dan Wina datang bergabung bersama dengan kerumunan ketika kades sedang berbicara kepada orang-orang yang berkerumun di rumah mewah. Mereka berdua sempat melihat seseorang dibopong keluar dari kerumunan. Lalu satu dari mereka yang tengah membopong seseorang berkata sambil terengah-engah, “Ka sisi, ka sisi, nyisi [ke pinggir, ke pinggir, minggir]!” Silang sengkarut kerumunan tak memberikan kesempatan Dedi dan Wina untuk menilik wajah seseorang yang dibopong oleh empat orang. Dedi dan Wina segera memberi jalan bagi mereka berempat yang berjalan tergopoh-gopoh sambil membopong satu orang yang taksadarkan diri.
Dedi dan Wina lalu berjalan di antara kerumunan yang mulai renggang hingga suara kades cukup terdengar jelas oleh telinga mereka berdua.
“..., semoga, kejadian seperti apa yang dialami Kang Samedi tidak terulang lagi. Saya akan mengajak bapak dan ibu sekalian untuk berembuk bersama dengan Ibu Ending dan Bapak Pangabudi. Tidak usah khawatir. Saya adalah kades yang harus bersikap adil untuk seluruh warga Desa Margalakasana walaupun Ibu Ending dan Bapak Pangabudi adalah orang tua saya. Silakan bapak dan ibu tunjuk beberapa orang perwakilan untuk berembuk bersama dengan Bapak Ucup Pangabudi dan Ibu Ending.”
“Iraha rembukan na [kapan waktu berembuk itu]?”
Kades K. Wibawa menjawab, “Bakda magrib, di rumah ini.” Tiga detik sorot mata Kades Margalakasana mencari wajah Ending-Pangabudi lalu sengap terpaku. Wajah Ending dan Pangabudi pun mengangguk pada akhirnya.
Beberapa orang yang berkerumun mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda setuju. Kerumunan pun pudar sedikit demi sedikit sehingga Dedi dan Wina tampak oleh Kusnandar. Dedi dan Wina tersenyum tipis, menunggu Kusnandar yang melangkah menghampiri mereka berdua.
Pangabudi dan Ending berjalan meninggalkan teras lalu masuk ke dalam rumah ketika Kusnandar berkata, “Haaa, ini pasti Pak Dedi. Pak Dedi Surya. Benar, kan?”
Dedi segera menganjurkan telapak tangan kanan dan segera diraih pula oleh telapak tangan kanan Kusnandar, “..., dan ini pasti Pak Kusnandar Wibawa, kades desa ini.” Ramah tamah mereka berdua tampak dari raut wajah dan eratnya jabat tangan mereka berdua. “Perkenalan pertama yang mengesankan sekali, Pak.”
“Saya juga tak menduga kedatangan Pak Dedi harus melihat kejadian barusan.” Tangan mereka masih erat berjabat.
“Tapi, kedatangan saya enggak mengganggu rencana berembuk nanti, kan, Pak?”