Hari-H yang ditunggu Ajengan De dan Humairoh, Ainun, juga Kusnandar, begitu membuat hati mereka taksabar. Sementara itu, Badru demikian bersemangatnya mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kepindahannya ke Cianjur. Begitu pula dengan para pembordir yang telah memiliki “irama khas baru” berkaitan dengan kepastian pembayaran dari Ending-Pangabudi setiap bulan. Mereka pun bersemangat menjalin sulaman hasil rancangan bordir Ending dengan sebaik-baiknya serta tepat waktu.
Waktu-waktu menunggu kedatangan Ainun digunakan oleh Ajengan De dan Humairoh dengan menyiapkan masakan dan penganan kesukaannya. Perempuan desa secantik Ainun memang memiliki selera khasnya sendiri mengenai apa yang lidah di dalam rongga mulutnya suka. Nahak Ainun bakal terbit secerah mentari pagi di ufuk langit timur tatkala penciumannya membisiki pikiran yang mengolah cerapan pembisik, serta membuat konklusi berdasarkan kognisi lalu dikirimkan kepada Ainun melalui satu media berupa sekata konklusi yang sudah dipahami baik secara harfiah, yakni jengkol.
Jengkol yang diolah oleh Humairoh secara spesial menjadi semur sudah tersaji di atas meja makan dan menggoda-goda Ainun sejak kedatangannya pada hari Selasa, pukul 10.00 WIB.
Ainun berkata dari kursi meja makan yang dia duduki, “Mari kita makan.” Cerah wajahnya. Ainun lalu berdiri dan menyendokkan nasi ke atas piring untuk kedua orang tuanya terlebih dahulu.
“Nuhun, Neng Geulis [terima kasih, Neng Cantik],” ujar Ajengan De saat menerima piring berisi nasi dari Ainun. Begitu pun dengan Humairoh, tersenyum senang lantaran melihat wajah putih Ainun yang pipinya merah merona sewaktu memberikannya piring berisi nasi yang uapnya masih mengepul-ngepul.
“Lauknya cuma ini, Mih?”
Ajengan De berkilah, “Ai, biar cuma ini, Apa teh tahu, bisa empat piring porsi makan sehari kamu yang biasanya makan seharian cuma dua porsi piring.”
Ainun cengar-cengir serta membuat Humairoh menggeleng-gelengkan kepala sembari menyuap nasi dan semur jengkol dengan tiga jari tangan kanan. “Sudah-sudah-sudah. Makan dulu. Pamali makan sambil mengobrol, teh.”
Ajengan De bersama Ainun langsung repeh. Walaupun begitu, mulut dan tangan mereka bertiga sibuk bekerja sama mengisi perut dengan nasi putih dan semur jengkol saja. Namun, rasa bahagia makan bersama di dalam hati mereka sulit diungkapkan oleh kata-kata.
Kata sapa Kusnandar membalas sapa jajarannya saat melangkah hendak masuk ke dalam ruang kerjanya berulang-ulang terucap bersama senyumnya yang berwibawa. Balai Desa Margalakasana mulai bersiap untuk melayani warganya. Namun, langkah Kusnandar tidak langsung masuk ke dalam ruang kerjanya melainkan berbelok menuju ruangan yang dijadikan untuk menyiapkan makanan maupun minuman. Di ruangan itu secara mandiri Kusnandar membuat teh manis hangat untuk dirinya sendiri. Lalu, cangkir teh manis hangat dalam genggaman tangannya ikut masuk ke dalam ruang kerjanya. Dengan jabatannya sebagai kades, Kusnandar sudah memberikan contoh ringan dan sederhana tentang pelayanan. “Kita adalah pelayan warga, bukan sebaliknya,” begitu sekalimat potongan pidato Kusnandar yang terekam baik dalam ingatan Sugali saat pertama kali dia membuatkan Kusnandar secangkir teh manis yang dibawanya ke dalam ruang kerja Kusnandar usai pidato. Begitu secangkir teh manis itu diletakkannya di meja kerja Kusnandar, Sugali diminta untuk duduk menunggu sedang Kusnandar berjalan keluar dari ruangan. Tak lama berselang waktu kemudian, Kusnandar kembali masuk ke dalam ruang kerjanya. Di tangannya tergenggam secangkir teh manis hangat buatan tangannya sendiri. Disodorkannya cangkir teh itu di depan Sugali yang masih duduk menunggu. Lantas, jadilah mereka berdua di ruangan itu nge-teh bersama sebelum memulai aktivitas. Diselingi dengan tanya-jawab kabar tentang keluarga, tentang kandang ayam Sugali, juga diselingi gurauan ringan antara Kusnandar-Sugali. Saat Sugali pamit ingin memulai aktivitas, pada saat itulah Sugali mendengar potongan kalimat pidato Kusnandar terucap kembali melalui mulut Kusnandar. Sugali mengangguk dengan wajah tersenyum sementara hatinya merasa kagum atas secangkir teh manis hangat yang dibuat oleh tangan kadesnya sendiri untuknya.
Sudahlah maklum bila kabar tentang sesuatu segera cepat tersiar luas di Desa Margalakasana. Begitu pula dengan berita kedatangan Ainun, sampai pula ke telinga Kusnandar, pada hari Selasa, menjelang siang. Sugali-lah yang menyampaikan berita itu kepada Kusnandar karena sempat bersirobok dengan Ainun sewaktu berangkat dengan sepeda motornya menuju balai desa. Sugali dan Ainun sempat berbasa-basi. Ainun pun sempat berkata di antara kata basa-basinya bahwa kedatangannya kembali ke desa hanya sehari saja. “Atasan saya kasih izin buat pulang,” begitu kata yang didengar oleh telinga Sugali dari mulut Ainun.
“Terima kasih, Pak,” kata Kusnandar. Tenang nada suaranya.
Sugali pun pamit dan keluar dari ruang kerja Kusnandar. Belum lima detik daun pintu ruang kerja ditutup oleh tangan Sugali, tubuh Kusnandar kerap membal melayang di udara ruang kerjanya tanpa bersuara. Bungah yang mengembang di rongga dada Kusnandar membuat dirinya seolah-olah mengambul di udara, pada hari Selasa, menjelang terik matahari tepat di atas kepala. Namun, sudah, lah. Hal yang sebenarnya terjadi begitu Sugali pamit dan keluar dari ruang kerja, Kusnandar norak berjingkrak-jingkrak ke sana kemari tak keruan sehingga menimbulkan suara berisik dari alas sepatu kerja yang dia pakai. Daun pintu ruang kerja Kusnandar yang tertutup pada detik keenam lalu terbuka lagi pada detik kesebelas. Longokan kepala Sugali celingak-celinguk menyembul dari daun pintu ruang kerja Kusnandar yang terbuka sedikit, berkata,
“Ada apa, Pak?” Ucapan Sugali bertepatan dengan gerak jingkrak Kusnandar yang berhenti seketika dengan ujung kaki dan tangan kanan menunjuk jendela berpemandangan pohon rindang.
“Eh, ah, tidak, tidak, tidak ada apa-apa, Pak Sugali.”
Sugali yang melongokkan kepala melalui daun pintu ruang kerja Kusnandar yang terbuka sedikit, tersenyum saja seraya menggeleng-gelengkan kepala.
“Bapak mau saya mengundang Ainun kemari?” tanya Sugali.
Kusnandar berpikir sejenak. “Enggak usah, enggak, Pak. Nanti siang saja saya yang berkunjung ke rumah Ajengan De.”
Sugali mengangguk tanda mengerti lalu menutup daun pintu itu sekali lagi dengan rapat.
Rapat pintu kamar Ainun usai Ajengan De dan Humairoh memberikannya wejangan serta curahan hati. Curahan hati Ajengan De dan Humairoh-lah yang membuat Ainun tercenung, duduk di depan kaca meja rias. Dia harus memilih antara karier dan perjodohan yang sudah disepakati oleh Ajengan De-Humairoh dan Pangabudi-Ending.
Satu hal yang membuat Ainun makin tercenung adalah suatu niat tersirat yang berkaitan dengan perjodohan itu. “Tujuan perjodohan itu,” demikian Ajengan De berkata, membuka sedikit demi sedikit satu hal secara berhati-hati karena khawatir akan melukai hati Ainun, “Nun, tujuan perjodohan itu untuk merekatkan lagi hubungan keluarga antarkeluarga kita.” Dengan keluarga Pangabudi, dahulunya mereka terikat cukup erat. Namun, sesudah musibah yang dialami ibu kandung Badru, hubungan keluarga di antara mereka menjadi merenggang. Ainun sempat mengernyitkan kening dan belum mengerti arah pembicaraan Ajengan De.
Humairoh pun bantu menjelaskan, “Ai, kamu ingat foto yang pernah diperlihatkan oleh kamu kepada Apa dan Mimih?”
Ainun mengangguk. Dengan duduk di kursi dia masih menyimak, usai mereka bertiga menikmati makan bersama semur jengkol.
“Lelaki dalam foto itu adalah suami dari ibu kandung Badru.”
“..., dan Kaswanda itu adalah kakang Apa, Neng Geulis.” Ajengan De berkata dengan memberikan seulas senyum.
Meskipun menganggukkan kepala sembari terus menyimak penjelasan dari orang tuanya, Ainun masih belum mengerti, “Mengapa? Apa hubungannya foto itu dengan perjodohan Ai, Apa, Mimih?”
“Semoga kamu, Ai, diberi pengertian dan mampu memahami makna dari keluarga,” ucap Humairoh.
“Aamiin,” sambut Ajengan De dan Ainun.
“Pernah terjadi musibah longsor..., dulu...,” Ajengan De berkata menyambung penjelasan, “..., yang jadi korban itu salah satunya adalah orang tua Badru.”
Humairoh diam menundukkan kepala, mendengarkan Ajengan De yang menjelaskan keluarga Kaswanda. Dahulu, sering sekali Kaswanda mengunjungi batu besar yang Wina sebut sebagai monumen. Setiap kali ditanya oleh Ajengan De, Kaswanda hanya menjawab dengan seulas senyum, “Batu ini menyimpan kenangan saya dengan seorang mojang Priangan,” katanya. Hingga Kaswanda menikah dan memiliki satu anak pun, dia masih sering mengunjungi batu besar itu. Namun, entah apa yang dimaksud dengan kenangan dari kata-kata Kaswanda. Hujan lebat lebih dari sehari melantarkan musibah longsor, dan batu itu pun terseret oleh longsoran besar yang menguburpendamkan Kaswanda bersama kenangannya. Ibu kandung Badru ternyata ikut pula terkena musibah longsor itu, terkubur bersama cukup banyak rumah tetangga sekitar rumah akibat letak batu besar dengan rumah orang tua Badru hanya terjarak lima puluh meter.
“Bukit itu, yang dekat balai desa,” ucap Ajengan De, “kamu tahu, kan, Nun?”
“Iya, Ainun bersama Wina pernah mencari informasi tentang itu, Apa.”
“Sekitar setengah kilo dari balai desa, arah wetan. Musibah itu terjadi di situ.”
Ajengan De melanjutkan penjelasannya,
“Nasib baik masih ada untuk Badru. Saat longsor itu terjadi, Badru sedang di gendongan mimih kamu, Nun.”
Begitu Pangabudi mengetahui sang kakak terkubur longsoran dan wafat bersama suaminya, Pangabudi segera pulang dari merantau. Pangabudi mengalami masa-masa berkabung yang cukup lama karena kewafatan sang kakak sulung. Apa yang dia upayakan dari hasil merantau sehingga mampu memperbaiki kondisi penghidupan orang tua, kakak sulung perempuan dan adik-adik perempuan—menjadi lebih baik—harus kembali lenyap pula. Meski begitu, Ending berangsur-angsur mampu membangkitkan lagi semangat Pangabudi untuk keluar dari masa-masa berkabung yang melelahkan pikiran dan hati sehingga,
“Tercetuslah perjodohan itu dari mulut Pangabudi di depan Apa, Nun.” Napas Ajengan De terhela. “Buat Apa, mah, Apa setuju setuju saja,” lanjut kata Ajengan De, “asalkan, kamu rela, Nun. ..., atau, Wiwib mampu meluluhkan hati kamu sehingga kamu mau dijodohkan dengan Wiwib.”
“Ai, buat hati Mimih dan Apa bahagia, ya, Neng Geulis,” lirih Humairoh berkata penuh harap.
Bahagia hati Kusnandar di atas kendaraan vespa yang dia kendarai menuju rumah Ajengan De. Walaupun terik matahari menyengat, pori-pori kulitnya takpeduli dengan mengeluarkan keringat hingga membasahi seragam dinas.
Usai menunaikan Salat Zuhur di masjid tak jauh dari rumah Ajengan De, Kusnandar berjalan mantap untuk menemui Ainun. Seperti wejangan dari Pangabudi: Ainun jangan dicari, tapi ajak Ainun ke KUA. Wejangan dari Pangabudi bakal dia terapkan di depan Ainun.
Baru saja Kusnandar tiba di halaman rumah Ajengan De, dari punggung Kusnandar, Ajengan De muncul dan menyapanya seraya memberi salam.
Segera Kusnandar membalikkan badan dan membalas, “Waalaikumsalam.”
“Meni serius pisan saprak ngalengkah ti masjid, Wib. Urang nu leumpang di tukang teu ditempo-tempo acan [begitu serius sekali sesudah melangkah keluar dari masjid, Wib. Saya yang berjalan di belakang kamu sampai enggak ditengok sekalipun].
Ajengan De sebentar saja berbasa-basi dengan Kusnandar. “Silakan duduk, Wib.” Ajengan De menunjuk satu kursi di halaman rumah yang diliputi pot-pot bunga hias lalu meninggalkan Kusnandar saat Ainun keluar dari dalam kamar dan melangkah menghampiri Kusnandar di halaman.
“Iya, Apa.”
“Mau teh manis panas, atau dingin?” tanya Ainun masih dengan berdiri menunggu jawaban dari Kusnandar.
Kusnandar tak segera menjawab, bahkan dia kembali berdiri dari duduknya dan melangkah mendekati Ainun yang masih berdiri. Saat Kusnandar dan Ainun sudah bersemuka terjarak empat puluh sentimeter,
“Akang mau ajak Ainun ke KUA,” ujar Kusnandar serius. Keseriusan dia terbukti dari sorot matanya tajam, lekat menatap mata Ainun. “Ainun mau akang ajak ke KUA?”
Bukannya menolehkan ataupun menundukkan wajah, Ainun malah lebih lekat menatap, lebih tajam pandangan mata Ainun pada sorot mata Kusnandar bersama satu langkah kakinya melangkah menjadi makin dekat dengan tubuh Kusnandar.
“Ai pikir-pikir dulu, Kang.”
Sontak Kusnandar belingsatan serbasalah, “Eh, Ai, eh, itu, maksud akang, teh, di KUA, di samping KUA,” kata Kusnandar terbata-bata, “Duh, itu, Bakso dan Cilok Lulumpatan enak, tuh, Ai. Akang mau ajak Ai makan di KUA, eh,” kata-kata Kusnandar masih terbata-bata,”...—“
“Tong siga cacing kapanasan kitu, atuh, Kang, ngomong na [jangan seperti cacing kepanasan begitu, dong, Kang, bicaranya],” tukas Ainun merasa kasihan akan sikap perilaku Kusnandar yang salah tingkah.
Tangan Kusnandar dengan tubuhnya yang takbisa diam itu Ainun raih kedua pergelangan tangannya. Seketika Kusnandar diam. Apa yang terlukis pada raut wajahnya sulit untuk menjelaskan apa yang hatinya rasakan. Hanya yang pasti, Kusnandar hanya berdiri diam.
“Iya, Ai tahu, Bakso dan Cilok Lulumpatan itu enak. Ai dikasih tahu Kang Badru.” Ada jenak tiga detik mengundang hening. “Kapan kita berdua makan di sana?” Ainun bertanya.
Kusnandar tersekat dengan raut wajah berubah teperangah serta tak mengira bakal mendapatkan jawaban di luar dugaannya,
“Tapi, jangan makan di KUA! Diomeli lebe (penghulu).”
“Barusan, siapa yang mengajak Ai makan di KUA?” Ainun lagi bertanya.
Kusnandar menegakkan telunjuk lalu pelan-pelan mengangkat telunjuk tangan kanan menuding dadanya, yang masih digenggam pergelangan tangannya oleh jemari kiri Ainun.
“Barusan, siapa yang mengajak Ai makan Bakso dan Cilok Lulumpatan di samping KUA?” Ainun lagi-lagi bertanya.
Lagi-lagi Kusnandar menegakkan telunjuk lalu pelan-pelan mengangkat telunjuk tangan kiri menuding dadanya, yang masih digenggam pergelangan tangannya oleh jemari kanan Ainun.
“Kalau ditraktir makan Bakso dan Cilok Lulumpatan, Ai enggak usah pikir-pikir dulu, Kang.”
Seketika wajah Kusnandar menjadi cerah, “Nanti sore?” tanyanya.
Ainun menggeleng, “Tunggu kabar dari Pak Comblang.”
Setidaknya wejangan dari Pangabudi sudah Kusnandar terapkan di depan Ainun walaupun hanya berhasil mengajak Ainun makan di KUA Warung Bakso dan Cilok Lulumpatan.
Warung Bakso & Cilok Lulumpatan terlihat ramai pengunjung. Badru sempat memperhatikannya beberapa saat dari seberang jalan setelah menelepon Dedi untuk urusan bisnis, menelepon Wina untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongannya mengupayakan terjadinya kesepakatan bisnis itu, dan menelepon Dewi untuk sinkronisasi terkait pengelolaan lahan. Dewi dan Badru akan selalu terlibat dalam setiap hal yang terkait dengan pengelolaan lahan yang akan dialihfungsikan menjadi balong untuk budi daya ikan. Setelah mesin sepeda motor sudah berbunyi, Badru melaju mengemudikan motornya untuk kembali pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, Badru sempatkan untuk memeriksa orang-orang yang mulai bersiap bekerja sore menjelang magrib di balong-balong. Dia melihat Kusnandar sedang berbicara dengan satu orang sambil sesekali tertawa selayaknya kawan akrab. Begitu melihat Badru melangkah hendak menghampiri Kusnandar, Kusnandar-lah yang buru-buru menyambut kedatangan Badru sambil sekali lambaian tangannya terangkat.
Akhirnya Badru urung melangkah lalu berjalan menuju satu saung tak jauh dari tempatnya, dan duduk menunggu Kusnandar datang menghampirinya.
“Sudah lama, Pak?”
“Ya, cukup lama,” jawab Kusnandar lalu ikut duduk sesaung bersama Badru.
Lantas, Badru dan Kusnandar terlibat pembicaraan serius mengenai balong milik mereka berdua yang akan ditinggalkan oleh Badru.
“Itu butuh penyesuaian bertahap, dong, Dru.”
Badru mengangguk dan menyimak apa yang disarankan oleh Kusnandar. Begitu pun dengan Badru saat memberikan ide dan saran, Kusnandar serius menyimak apa yang diucapkan oleh Badru. Ujung dari pembicaraan serius mereka berdua menemui titik temu, ditutup dengan semringah tampak dari wajah mereka.
Kemudian, Kusnandar membuka topik obrolan baru. Apa lagi, kalau bukan tentang Ainun?
Namun untuk topik obrolan itu, mereka selingi dengan canda sesekali terdengar dari saung saat Kusnandar bercerita tentang: Pak Comblang.