Wina menutup pembicaraan via telepon dengan Badru setelah mengucapkan salam. Dia masih menggeleng-gelengkan kepala saja setelah pembicaraan usai. Badru yang dikenalnya memang begitu, polos berbicara ceplas-ceplos meskipun dari ceplas-ceplos atau bisa disamakan dengan kejujuran kata-katanya, membikin Wina kadang kesal. Terpikirkah barangkali oleh Wina, Badru yang begitu sementara Ainun yang begini?
“Ah, Ainun dan Badru bukan saudara kandung, mungkin, ya?” gumam Wina sambil tersenyum tipis sendirian dan melangkah hendak masuk ke kamarnya di Rumah Hijau.
Di dalam kamarnya, Wina merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Kepalanya dialasi kedua lengan dengan kedua sikunya tertekuk selagi bantal mengalasi siku lengannya yang sudah tertekuk. Wajahnya mengembang senang. Dia kembali teringat ketika memberitahukan Witarsih bahwa apa yang diceritakan oleh Witarsih memang benar ada walau bekas-bekasnya sudah entah di mana.
“Tuh, kan. Mimih bilang juga apa,” kata Witarsih yang terduduk di ruang tengah sehari setelah Surya An kembali pulang ke Cianjur. Sore itu tangan Witarsih sibuk merajut kain wol sebagai pengisi kesendiriannya sambil sesekali menonton televisi.
Witarsih ditanya oleh Wina saat itu, “Bagaimana? Sudah puas, Mih?”
“Belum,” jawab Witarsih, singkat.
Wina duduk di samping Witarsih, “Apa lagi yang ‘belum’, Mih?”
Sambil sepuluh jemarinya lincah merajut benang-benang wol berwarna hijau, Witarsih berkata tanpa memedulikan ada di mana wajah Wina berada, “Mimih mau ke sana, Win.”
“Mau apa, Mih?”
“Mau melihat-lihat saja, bagaimana tempat itu sekarang.”
Wina takbisa memberikan jawaban pasti untuk keinginan Witarsih. Namun, Wina sebisa mungkin tetap tidak membuat Witarsih kecewa. Karena kata orang-orang, Witarsih dan Kipli itu sama polah tingkahnya. Bila mendengar orang-orang berbicara begitu, sekejap Witarsih berubah menjadi seperti anak kecil: cemberut.
Sewaktu Wina hendak bangkit berdiri dari duduknya, Witarsih memanggil dan memerintahkannya untuk tetap duduk. Witarsih ingin Wina menemaninya merajut benang-benang wol berwarna hijau. Wina urung mengangkat bokongnya dari tempat duduk. Lalu, Witarsih berbicara walau tangannya tetap lincah menjalin benang-benang berwarna hijau itu menjadi rajutan yang rapi,
“Ada yang menelepon kamu. Lelaki.”
“Siapa, Mih?”
“Mimih ingat wajah orang itu saja karena kamu pernah ajak kemari.”
Wina diam.