Terlihat kesibukan di Rumah Hijau walaupun kesibukan itu adalah kesibukan yang sewajarnya. Kesibukan dia di dapur ditemani oleh Aimah, Munah, Serima, Lastri, dan Dewi. Dengan kehadiran keluarga Surya An, keluarga Ruchiat An, keluarga Jyay An, di Rumah Hijau, membuat ramai relung hati Witarsih. Wajah Witarsih menjadi lebih sering berseri-seri.
Sementara itu, kesibukan di ruang tengah Rumah Hijau diisi oleh Surya An, Ruchiat An, Jyay An, dan Dedi Surya. Mereka duduk-duduk mengelilingi tiga meja bundar. Sofa merah menjadi saksi canda tawa mereka. Di atas tiga meja bundar yang bertaplak hijau dan berbaris rapi, cangkir-cangkir teh terletak dengan isinya yang sudah berkurang. Penganan seperti opak, bagelen, ladu, rengginang, rapi tersaji di atas piring-piring beralaskan taplak hijau meja bundar. Tentu saja, tak tertinggal pula sajian buah kelengkeng masak yang merupakan buah favorit dari Surya An, Ruchiat An, dan Jyay An.
“Ded,” panggil Jyay An, “kamu tahu, kenapa kita bertiga itu suka sekali dengan kelengkeng?” Walau bertanya, mulutnya tak berhenti mengunyah. Dengan lincah, lidahnya memisahkan daging kelengkeng dari bijinya. Kemudian biji kelengkeng itu oleh tangannya diletakkan di dalam wadah, di sisi piring sajian buah kelengkeng, yang memang digunakan untuk tempat sampah.
“Gratis!” seru Dedi sekenanya. Jyay An, Surya An dan Ruchiat An tertawa senang.
Namun, Ruchiat An menyela, “Ada ceritanya, Ded. Memang Kang Surya belum pernah cerita soal itu?”
Dedi menoleh menatap wajah Surya An sejurus lalu menatap wajah Ruchiat An dan Jyay An sembari menggelengkan kepala dan tersenyum.
Jyay An mulai menceritakan bahwa Tembur Alam-lah yang pertama kali menanam pohon kelengkeng. “Waktu itu,” kata Jyay An, “untuk bisa makan buah enak itu tidak seperti zaman sekarang.” Jyay An melanjutkan, “Sekarang mah, gampang, tinggal beli.”
Walaupun pohon kelengkeng tidak berbuah setiap waktu, sebidang tanah tak seberapa luas itu akhirnya ternaungi oleh rimbunan dedaun pohon kelengkeng.
“Yah, tapi pohon kelengkeng itu enggak serimbun seperti sekarang, Jyay,” tambah Ruchiat An.
“Iya, Kang. Betul itu.”
“Eh, ingat, enggak?” tanya Ruchiat An.
“Ingat apa?” tanya Surya An.
Surya An tiba-tiba tertawa-tawa setelah Ruchiat An yang duduk di sampingnya membisikkan sesuatu. Sementara, Dedi Surya hanya memandangi Surya An dan Ruchiat An saja karena tak mengerti apa penyebab Surya An tertawa. Lalu, Surya An keluar dari ruang tengah Rumah Hijau, menghampiri batang pohon kelengkeng dan mengitarinya seperti mencari-cari sesuatu di batang pohon kelengkeng itu.
“Masih ada?” tanya Ruchiat An setelah Surya An kembali duduk di sampingnya masih dengan tertawa-tawa.
Pada awalnya, Jyay An belum mengerti apa yang ditertawakan oleh Surya An dan Ruchiat An. Namun seketika Jyay An melemparkan bantal-bantal sofa merah di sisi kiri dan kanan tubuhnya yang terduduk setelah dia ngeh 'mengerti'. Satu bantal itu dilemparkannya kepada Surya An, dan satu lagi dia lemparkan kepada Ruchiat An yang masih tertawa-tawa.
“Mau diceritakan?” tanya Surya An, menggoda Jyay An.
“Jangan, lah!” sergah Jyay An dengan wajah pura-pura marah berona jengah yang jelas tampak oleh mata Surya An, Ruchiat An, dan Dedi Surya. “..., merusak jalan cerita saja,” kata Jyay An lagi sambil mendengus berwajah malu.
Dedi Surya bangun berdiri hendak melangkah, memisahkan diri dari Surya An, Ruchiat An, dan Jyay An.
“Mau ke mana, Ded?” tanya Ruchiat An. Dia masih tertawa karena mengingat kenangan masa-masa remaja mereka bertiga.
“Ke luar, Mang,” jawab Dedi dengan sopan dan tersenyum cerah, melangkah melewati Jyay An yang duduk berdampingan dengannya.
“Ke mana?” Kali ini tanya dari Ruchiat An penasaran.
“Mumpung ada waktu luang. Saya juga mau mengingat-ingat lagi kenangan manis di sawah kakek.” Lambaian tangan Dedi menyudahi penasaran Ruchiat An.
Pohon kelengkeng itu memang menyimpan banyak cerita bagi anggota keluarga Tembur Alam sesuai dengan versinya masing-masing. Ada kenangan yang pernah dialami secara pribadi. Ada kenangan yang pernah mereka alami bersama. Pohon kelengkeng itulah saksinya.
Karena mendengar tawa lantang dari ruang tengah Rumah Hijau, Aimah pun penasaran. Dari dapur, dia pun melangkah menuju ruang tengah ketika tawa di ruang tengah itu perlahan-lahan mereda. Sembari bahu kanannya bersandar, menggelendot pada satu kaso pintu masuk menuju ruang tengah, Aimah memperhatikan mereka yang masih menyisakan sisa tawa pada wajahnya. Lalu, Aimah ditanya oleh Surya An,
“Di mana Wina?”
Wina berteriak panjang dan lantang. “Kujaaa! Ainiii! Pancaaa!” seru Wina. Kaki-kaki Wina berhati-hati meniti tiga batang bambu yang diikat oleh tali sabut kelapa. Batang-batang bambu terikat itu dijadikan sebagai jembatan kecil untuk melintasi sungai jernih. Tubuh Wina gamang ke kiri ke kanan dengan kedua lengan merentang ke samping, meminta bantuan angin untuk memapah tubuhnya agar tiba menapak dengan selamat pada satu pematang.
Di seberang titian, beberapa petak sawah peninggalan Tembur Alam menghampar bersama petak-petak sawah lainnya dilalui oleh Kuja, Aini, dan Panca, yang berlari-larian cepat-cepat di atas pematang sawah. Sepasang mata mereka mendongak ketika berlarian walau sesekali masih memperhatikan pematang, kalau-kalau mata kaki mereka tersilap. Ternyata, bukan hanya mereka saja yang berlari-larian di pematang persawahan itu. Beberapa anak-anak sebaya mereka bertiga pun berlari-larian pada beberapa pematang dengan kepala mendongak. Dongakan kepala-kepala mereka membawa beberapa anak itu menuju pada satu arah tujuan.
Tujuan mereka yang mendongak mulai menuju satu arah. Kuja, dia sepertinya yang bakal beruntung. Embusan angin membawa layangan putus yang dia dan anak-anak sebaya lainnya kejar, lebih dekat dengan posisinya di pematang sawah. Namun, rupanya angin mempermainkannya. Segera Kuja menggeser kaki beberapa langkah selagi kecepatan langkah berlari anak-anak seusianya menuju sama arah dan tujuan dengannya, yakni layangan putus yang melayang-layang serta melambai-lambai tak seberapa jauh dari pematang sawah tempat Kuja berdiri, mendongak sembari menepatkan posisi berdiri tubuhnya di atas pematang sawah. Kuja menunggu-nunggu layangan itu benangnya tergenggam oleh tangannya.
Sementara itu, Panca sudah dikalahkan oleh nasib buruk juga berat tubuhnya. Dia tersengal-sengal memegang kedua lututnya dengan menekukkan punggung. Wina lebih memilih posisi pematang sawah tempat Panca tersengal-sengal ketimbang lainnya. Selepas dia selamat meniti jembatan bambu, pematang Panca-lah yang lebih dekat dengan posisinya. Sempat Wina menengok serta melihat Aini yang juga berlari di pematang sawah terjarak beberapa petak sawah di depannya. Aini berteriak-teriak dengan mengangkat kedua lengannya, memberi semangat bak pemandu sorak dengan melonjak-lonjakkan tubuhnya sesekali. Walaupun jauh tertinggal dari kawan-kawan sebayanya yang berkejaran di pematang-pematang sawah yang menghampar sejauh mata memandang, Kuja-lah satu harapannya yang masih bisa dia harapkan sebab Aini-lah yang pertama kali menunjuk langit serenta memberitahu Kuja saat satu layangan kalah bertarung di angkasa lalu putus melayang-layang dibawa tiupan angin.
Masih saja tiupan angin tidak membuat ajek posisi berdiri Kuja di pematang selagi kaki-kaki kawan-kawan sebayanya makin mencepat berlarian menuju pematang tempat Kuja berdiri. Kesempatan masih ada! Dua orang menyusul dari pematang sebelah kiri Kuja. Tiga orang berlomba-lomba berlari dari pematang sebelah kanan. Masih ada kesempatan. Lambaian layangan putus di depan Kuja masih mempermainkannya. Kuja menoleh ke kiri-kanan dan menemukan empat kawan sebayanya tengah berlari mencepat ke arahnya. Kuja harus memilih! Ingin kakinya memanjang barang sekejap seperti tokoh film kartun. Embusan angin di sepetak sawah sudah mulai enggan mempermainkan kaki-kaki Kuja, maka menggapai-gapailah Kuja. Namun, kecepatan berlari empat kawan sebaya dia terlalu cepat. Kuja harus memutuskan: melompat berkubang lumpur sawah, atau menunggu layangan putus teraih oleh kedua tangannya yang sedari tadi menggapai-gapai benang layangan putus. Kuja pun mengukur jarak. Satu, dua, tiga, hap! Kuja melompat laksana si Meong.
“Hore!”
Empat kawan sebaya Kuja seketika berhenti berlari. Mereka gagal. Mereka mendongak memperhatikan layangan putus itu tiba-tiba terbang kembali menyongsong langit, sedangkan Kuja menyongsong lumpur. Benang layangan putus tersangkut pada satu galah kawan dari lima kawan Kuja yang berkejaran mengejar-ngejar layangan putus itu. Galah yang digenggam oleh kawan Kuja bergerak ke kanan ke kiri, merayakan keberhasilannya. Layangan putus itu kini memiliki tuannya yang baru. Patuh ia mengikuti langkah kaki Tuan Bergalah Bambu yang berjalan pongah menjauhi lima pecundang yang dikalahkan oleh keringatnya sendiri.
Sepanjang apa pun tanganmu, masihlah lebih panjang akalmu.
Akal dan tangan-tangan para perempuan yang menemani Witarsih di dapur Rumah Hijau masih saling bersinergi dan berbagi tugas. Setelah rasa penasarannya hilang di ruang tengah, Aimah kembali ke Dapur Rumah Hijau yang cukup luas. Ruangan dapur Rumah Hijau terdiri dari sumur yang letaknya dekat dengan kamar mandi. Di sebelah kanan kamar mandi, bila seseorang masuk melalui pintu dapur, akan melihat tumpukan kayu-kayu bakar yang tertumpuk tak seberapa jauh dari hawu yang masih menyala. Di dinding bagian kanan dapur, ada dipan kayu panjang, kotak kayu lumayan besar buatan Tembur Alam untuk menyimpan berbagai macam persediaan bahan makanan. Dapur Rumah Hijau tak berlangit-langit. Titik-titik sinar matahari menitik melalui celah-celah genting dapur rumah di atas lantai dapur yang sudah berlapiskan ubin walau hanya sebagian lantainya saja.
Munah sedang menimba air dari sumur ketika Serima yang duduk di atas dipan masih cekatan memotong-motong sayuran untuk bahan masakan makan siang sekeluarga yang tengah berkumpul di Rumah Hijau. Dewi duduk membantu Serima dengan cara memperhatikan bagaimana cara Serima memotong-motong sayur mayur menggunakan pisau dan talenan.
“Tumben, Dew. Biasanya kamu paling ogah kalau disuruh ke dapur,” Aimah yang menjerang air di atas hawu, berkata setelah menurunkan panci berisi air mendidih.
Serima bertanya, “Habis kesambet, ya, Dew?” candanya.
Dewi tak menggubris semua omongan Aimah maupun Serima. Dia masih fokus memperhatikan kedua tangan cakap Serima bekerja.
“Ya, tapi ..., baguslah itu artinya. Perempuan memang harus bisa di dapur. Masakannya enak, disukai suami. Ya, kan, Mih?” Munah ikut nimbrung dalam obrolan sementara tangannya sigap dan cekatan menarik tali timba untuk mengangkat ember timba yang penuh air jernih. Air dalam ember timba lalu dia tuangkan ke dalam lubang air yang terhubung dengan bak mandi tak jauh dari bibir sumur setinggi pinggang orang dewasa. “Siapa tahu Dewi kepingin belajar masak, Rima, minta diajari kamu.”
Witarsih tersenyum sambil duduk memperhatikan perempuan-perempuan itu bekerja. Dapur Rumah Hijau itu adalah miliknya, dan dia adalah semacam chef kepala di dapur itu.
“Tapi, enggak semua suami suka seperti itu. Buktinya, Kang Jyay masih mau bantu-bantu di dapur.”
“Bantu apa?” tanya Munah.
“Bantu kasih saran menu makanan apa yang enak, cocok, sesuai selera dan kantongnya, ya?” kata Aimah berkelakar.
“Iya, kok, Teteh tahu, sih.”
Mereka tertawa bahagia pada sela-sela kesibukannya di dapur Rumah Hijau.
Munah bertanya, “Kok, Lastri belum kembali, ya?”
“Lastri terlalu bersemangat, ya, barangkali,” timpal Aimah. “Padahal, dia tahu kalau tamu Wina sudah pulang.”