Komikus Hentai Tobat

Yulinda Kartika Sari
Chapter #1

Chapter 1 - Jual Rumah

“Sudah dengar belum? Anaknya Pak Dwi sama Bu Ian itu akhirnya jual rumahnya?” bisik seorang ibu paruh baya yang tengah duduk di pelataran samping masjid. Ia mengenakan daster panjang. Begitupun dengan jilbab instannya. Keduanya bercorak dengan berbagai macam warna yang mencolok. Itu membuat mata sakit.


“Wah pasangan yang mati kebakar di pabrik dulu itu kan?” tanya ibu paruh baya lainnya. Dari segi pakaiannya lebih senada, baju lengan panjang biru dipadukan dengan jilbab segi empat bewarna navy. Hanya saja roknya yang berwarna kuning terang dengan corak macan tutul itu terlihat kurang cocok. Ia duduk di samping ibu yang membawakan berita terhangat tersebut. Ia asik membuka ponselnya sembari membuat utasan terbaru di status Whatsapp miliknya. “Setelah dia lulus sekolah dulu. Kayaknya dia gak kuliah dan diam di rumah saja kan ya? Padahal kebakaran itu sudah 15 tahun lalu. Selama ini dia hidup pakai uang siapa  ya? Mana aku sering lihat paket datang,” lanjutnya.


Pembahasaan nyaris mebara, namun adzan telah berkumandang. Panggilan untuk menunaikan ibadah solat untuk mereka yang beragama Islam itu terdengar kurang merdu. Wajar saja, sebab seorang pria yang menjadi muadzin itu sudah lanjut usia cenderung memiliki nafas pendek. Jadi terdengar tersengal-sengal walaupun suaranya masih sangat bersemangat.


Kedua ibu-ibu itu langsung sontak diam mendengarkan sekilas. Bagaimanapun keduanya duduk di pelataran samping masjid dan suara panggilan tuhan itu terdengar lebih keras. Kemudian mereka saling bertatap-tatapan. Keduanya punya pikiran yang sama. “Sudah Dzuhur nih, aku pulang dulu ya, mau mandi lalu solat,” ucap ibu dengan busana pakaian penuh corak sebelumnya. 


Dengan cepat ibu lainnya menimpali, “Iya, aku juga. Kalau begitu mau pulang dulu, masak makan siang abis itu jemput anak sekolah.” 


Keduanya benar-benar tak menyadari waktu selama berbicara seputar konspirasi setiap rumah tetangga sekitarnya. Bahkan kakek yang biasa menjadi muadzin, seorang yang mengumandangkan adzan, tidak mereka sadari telah masuk ke dalam masjid.


Tak pernah terbayang dua wanita paruh baya tadi bahwa gosip mereka didengar langsung oleh sahabat terdekat orang yang dibicarakan. 


Sudah lama sekali ia tak berkunjung ke daerah permukiman sahabat satu kelasnya sejak SMP hingga SMA itu. Namun di perjalanannya mengunjungi rumah temannya, ada panggilan alam yang tak bisa ia tahan lagi dan sesegera mungkin menjajakan kaki ke toilet umum di masjid tersebut. 


Ia keluar dari bilik pintu ketika mendengar langkah kaki kedua wanita paruh baya sebelumnya sudah tak terdengar lagi. Bertepatan dengan itu adzan selesai berkumandang. Ia keluar dari toilet dan berjalan ke arah tempat wudhu yang tertutup. Tentunya khusus untuk perempuan. Sesegera mungkin ia membersihkan diri, berwudhu.


Sebenarnya ia menahan diri untuk tak berkomentar, namun akhirnya ia lepaskan. “Duduk di samping masjid lama banget. Giliran adzan pulang,” kesalnya sembari menatap ke arah dua orang tadi berada. Sudah kosong sih tempat pelataran masjid itu. Tapi rasa jengkelnya masih berbekas. Lemes banget mulut mereka menceritakan temannya. 


Namun ia memilih untuk masuk ke dalam masjid dan menunaikan kewajibannya. Setelah selesai, ia kembali menaiki motornya dan tak lama memakai helm yang ia bawa kemana-mana sedari tadi. Untungnya kewaspadaannya ini melindungi dirinya untuk mengeluarkan uang lebih. 


Pasalnya ada salah satu jamaah solat dzuhur yang kehilangan helmnya. Padahal motor pria itu parkir berdekatan dengannya. Namun ia tak banyak berkomentar atas kehilangan tersebut dan kembali tancap gas menuju rumah temannya. Sebab masih ada beberapa belokan lagi sampai akhirnya ia sampai.


Sebelum ia berdiri di depan pagar hitam berkarat dengan pola klasik zaman penjajahan yang disukai buyut-buyut terdahulu, ia lebih dahulu mencari ponselnya di dalam tas dan mengetik pesan, mengabarkan kehadirannya. 


Tak lama setelah itu, seorang wanita dengan tubuh berbalut jubah selimut keluar dari balik pintu. Wajahnya terlihat kacau. Ia hanya melambaikan tangannya, berisyarat dengan bahasa yang ia buat sendiri, intinya, ‘sudah dibuka gembok pagarnya, masuk aja. Kalau gak cepat aku tutup pintunya lagi.’


Wanita inipun langsung turun dari motornya setelah memastikan mesin telah benar-benar mati. Kemudian ia berjalan ke depan pagar. “Kalau bukan nama Anda, Anggie Liuya. Saya sudah pasti akan membatalkan kontrak kerja ini atas jamuan yang tak sopan,” ucapnya dengan begitu profesional. Ia menyentuh pagar berniat untuk mendorongnya. Namun tangannya tersengat setrum listrik. “Woi, Anggi! Matiin listriknya!” Teriaknya.


Suara lantang itu membuat beberapa tetangga di depan, kiri, atau kanan, penasaran. Beberapa dari mereka pura-pura menyapu pada taman kecil mereka di tengah terik mentari yang menyengat. Anggie hanya memberikan tanda ‘OK’ dengan tangan kanannya. Kemudian ia menekan sesuatu dari dalam rumahnya. Kemudian kembali melambaikan tangannya untuk menyuruh tamu itu segera masuk.


Wanita berbusana kasual-formal dengan jas hijau tua itu mendorong pagarnya sekali lagi. Kali ini tidak tersengat listrik. Ia memasuki halaman penuh tanaman hijau merambat, dengan area teras yang kecil setidaknya bisa untuk memasukan kendaraan motor.


Dia berjalan ke arah pintu masuk rumah minimali berukuran seluas 9x4 meter persegi itu.Di dalam sana sudah ada banyak tumpukan kardus, dan lantainya bersih sekali. Dia hanya bisa menghembuskan nafas saja.

Lihat selengkapnya