Anggie melihat semua kardus hasil kerja kerasnya itu masuk ke dalam bagasi truk yang berdiam diri di depan rumahnya. Tubuhnya masih berbalut jubah selimut bak ulat bulu. Benar-benar tertutup sampai rasanya sumuk melihatnya. Hanya mulutnya yang bekerja untuk memerintah pekerja yang mengangkut barangnya dengan hati-hati.
Beberapa tetangga berkumpul di depan rumahnya. Namun tidak ada yang berani menghampiri Anggie. Mereka lebih memilih untuk bertanya pada kurir pengangkut atau supir truknya. Namun mereka semua sibuk dengan pekerjaan mereka.
Alhasil mangsa yang tepat untuk ditanyai pertanyaan adalah Meimei yang terlihat waras di samping Anggie.
“Halo, Nona Cantik, temannya Teteh ya?” Tanya seorang bapak paruh baya dengan perut buncitnya. Di sampingnya ada seorang ibu dengan daster lengan pendek dan panjangnya hanya lebih sedikit dari lutut. Namun ia mengenakan jilbab pendek berbahan jersey yang sering digunakan para atlet. Juga ada bapak-bapak lainnya berkumpul.
“Benar. Saya Meimei, temannya Anggie,” jawabnya singkat sembari tersenyum hangat.
“Si Teteh Anggi mau pindahan ya?” Tanya Bapak itu dengan sopan. Namun segera ditimpali Ibu di sampingnya, “Uangnya habis ya? Makanya jual rumah ini?”
“Teh Meimei orang Cina ya? Kok berkerudung? Kerja apa Teh?” Tanya Bapak lainnya.
“Meimei, berarti temannya upin-ipin ya?” tanya Bapak lainnya yang mencoba bercanda.
Meimei yang mendengar itu mencoba tertawa formalitas. “Saya muslim Pak. Sudah kewajiban wanita muslim pakai jilbab. Saya Pengacara yang dibayar oleh Anggie untuk menyelesaikan urusan jual-beli rumah,”
“Dih, jual rumah aja pakai pengacara. Uang orangtuanya emang sebanyak apa sih? Jangan dilindungi aduh Nona. Dia itu terkenal boros dan aneh. Gak pernah keluar rumah. Makan pakai pesan-antar segala. Sok kaya banget. Padahal mendiang Bapak-Emak-nya dulu cuma buruh pabrik. Dulu kabarnya sih dia diadopsi orang kaya. Eh, sepuluh tahun lalu ia balik lagi ke sini. Pasti diusir mereka. Padahal Nona Pengacara kan yang beli rumah ini? Baik betul hatinya Nona loh. Kami paham. Nona sudah menikah belum?” Tanya Ibu itu lagi.
Meimei tak suka mendengar temannya dijelekan seperti itu. Dia sudah menduga bahwa temannya ini memiliki reputasi buruk di daerah perumahan ini. Apalagi mengingat ibu-ibu yang bergosip dekat masjid saat dzuhur—waktu solat siang hari,