Setelah dirawat lima hari di rumah sakit, Dika-kun masih harus beristirahat total di rumah selama satu minggu penuh. Di hari kedua kepulangannya, ia mendesak agar diperbolehkan berangkat sekolah. Untung saja Paman Ito melarangnya. Menurut cerita Paman, Dika-kun akhirnya menurut setelah melalui perdebatan panjang yang berujung rasa sakit di kepalanya.
Begitu genap tujuh hari, meski berat, Paman Ito memperbolehkannya pergi ke sekolah dengan berbagai syarat. Salah satunya memaksa Dika-kun memasukkan nomor telepon Paman di daftar pertama panggilan cepat. Aku salut sekaligus heran dengan sikap Paman Ito. Tingkahnya memperlakukan Dika-kun tidak seperti seseorang yang berhadapan dengan penghuni salah satu kamar yang ia sewakan, Paman Ito lebih seperti memperlakukan Dika-kun selayaknya anak sendiri.
“Kau yakin tidak apa-apa?” tanyaku sekali lagi saat kami berdua tiba di gerbang sekolah. Wajah Dika-kun sudah tidak pucat, dan luka di kepalanya jauh membaik meskipun kudengar bahu dan dadanya masih dibebat kuat mengingat tulang rusuk dan pundaknya mengalami keretakan.
“Awas!” seru Dika-kun menarik tasku. Tepat setelah itu, sebuah bola meluncur persis di tempatku berdiri dua detik yang lalu. Seorang anak laki-laki yang kutebak pemilik bola tadi nampak terburu-buru menghampiri kami.
“Aaaah, Kouda-san, maafkan aku. Tak sengaja bolanya terlempar ke arahmu.” seru Heiji-kun yang terengah-engah setelah berlari. Begitu cukup dekat, ia terkejut melihat Dika-kun yang berdiri di sampingku. “Dika-san, kau sudah berangkat sekolah? Bagaimana keadaanmu?”
“Sudah lebih baik,” jawab Dika-kun.
“Daripada itu, lain kali berhati-hatilah. Bagaimana jika bola tadi malah mengenai Dika-kun.” timpalku membuat Heiji meringis bersalah sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Itu tidak sengaja. Aku benar-benar minta maaf, ya.” balasnya dengan menangkupkan kedua tangan. Setelah meminta maaf, Heiji kembali berlari mencari bolanya yang menggelinding entah kemana.
“Aku tidak memaksamu membantuku mencari Hana.” ucap Dika-kun tiba-tiba menyinggung pembicaraan kami beberapa hari yang lalu lewat chat. Aku memang menawarkan diri membantu pencariannya. Bagaimanapun juga aku tidak bisa berdiam diri melihat Dika-kun mencari Hana sendirian. Terlebih melihat kondisinya tak begitu baik.
“Aku tidak merasa terpaksa. Kecuali jika kau tidak memperbolehkanku ikut.”
Kuperhatikan Dika-kun yang menghela nafas panjang, “Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya khawatir mengganggu rutinitasmu. Kita bahkan tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencarinya.”
“Itu sama sekali bukan masalah besar.” kataku tepat ketika ponsel di tasku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sayaka. Aku mengernyit dan segera membuka isi pesannya.
Hei, ayo cepat masuk kelas! Jangan keasyikan bermesraan sampai tidak sadar jika bel sudah berbunyi.
Selesai membaca pesan itu aku langsung tertegun dan menoleh ke sekitar. Melihat beberapa anak yang berlari terburu-buru ke dalam nampaknya memang benar jika bel sudah berbunyi dan aku tidak menyadarinya sama sekali. Kudongakkan kepala menatap gedung sekolah dan mendapati Sayaka yang bersandar di jendela melambai ke arahku dengan ponsel di tangannya. Sepertinya Sayaka sudah memperhatikanku sejak tadi. Meskipun aku tidak setuju dengan pemilihan kata ‘bermesraan’ darinya, tapi entah mengapa pipiku terasa panas. Dengan setengah menunduk, aku menyusul Dika-kun yang berjalan menduluiku dan mengikutinya menuju kelas.
***
“Akademi Sumire?!” aku berseru setelah menanyakan sekolah Hana pada Dika-kun. Melihat laki-laki yang berjalan di sampingku itu mengangguk membuktikan bahwa apa yang kudengar tidak keliru. Reputasi sekolah khusus perempuan itu tidak main-main. Yang paling terkenal adalah kelas kejuruan bidang seni Akademi Sumire yang bahkan banyak diminati kalangan selebritis. Sistem seleksi siswanya pun kudengar sangat ketat. Sistem seleksi yang pertama melalui jalur akademik. Di sana, siswa yang mendaftar diseleksi melalui nilai yang diperoleh dalam ujian masuk. Sistem ini masih umum digunakan oleh sekolah-sekolah lain. Tapi tentunya dengan standar nilai yang cukup tinggi. Jalur seleksi kedua adalah jalur bakat. Ujian masuknya kudengar-dengar melalui wawancara dan demonstrasi bakat. Entah menyanyi, menari, akting atau bermusik.
Reputasi kedua yang paling dikenal dari Akademi Sumire adalah, biaya sekolahnya yang luar biasa mahal.
“Kalau Akademi Sumire, lebih baik kita jalan kaki saja.” ucapku. Secara kebetulan, letak sekolah bergengsi itu tidak jauh. Cukup menyeberang dari taman kota dan kita sudah sampai.
“Kalau hanya itu, aku sudah tahu.” kata Dika-kun, “Sebelum menemukan tempat menetap, aku sudah datang ke Jepang beberapa minggu yang lalu untuk mengurus beberapa urusan administrasi. Termasuk mendaftar sekolah. Waktu itu kusempatkan bertemu dengan wali kelas Hana. Tapi sayangnya ia sedang mengambil cuti selama beberapa hari.”
Kuanggukan kepala mengerti. “Jadi, kau memilih SMA Kiritani agar lebih mudah menyelidiki keberadaan Hana karena letak sekolahnya yang berdekatan, ya?”
“Kurang lebih begitu.”
“Tapi bisa jadi menghilangnya Hana tidak berhubungan sama sekali dengan sekolahnya, bukan?”
“Aku agak ragu dengan itu. Meskipun Hana memiliki kepribadian yang cukup ceria, karena kemampuan unik yang kami miliki, sadar atau tidak, kami cenderung membatasi kehidupan sosial kami.”
“Mengapa bisa begitu?” tanyaku,
“Kurasa karena kami bisa merasakan perasaan orang lain dan energi yang orang-orang pancarkan. Sebetulnya hal itu agak mengganggu. Tidak masalah jika orang itu mengeluarkan energi positif. Namun, kenyataannya kami lebih banyak merasakan energi dan perasaan-perasaan negatif. Meskipun lama-lama terbiasa, jika terus-terusan merasakan energi yang tidak menyenangkan cukup mempengaruhi perasaan kami juga.”
“Begitu rupanya.” gumamku, “Jadi kau yakin bahwa hilangnya Hana berkaitan dengan aktifitasnya di sekolah?”
Dika-kun mengangguk. Kulihat kilatan matanya yang penuh harap. Kualihkan pandanganku begitu sebuah pikiran buruk mengenai Hana terlintas kembali. Aku tak sampai hati menanyakan hal yang menggangguku pada Dika-kun. Apakah ia masih berharap menemukan Hana dalam keadaan baik-baik saja? Rasanya ambigu saat teringat raut duka Dika-kun tempo lalu.
Seperti yang kuduga, begitu melewati gerbang Akademi Sumire, beberapa anak yang masih belum pulang melayangkan pandangannya ke arah kami berdua. Lebih tepatnya pada Dika-kun kurasa. Ada yang terpesona tentu saja. Tapi menurutku, mayoritas anak-anak itu penasaran dengan kedatangan kami. Apalagi seragam sekolah Kiritani yang kami kenakan tampak menyolok dibanding seragam Akademi Sumire yang berupa terusan sederhana sepanjang lutut berwarna biru lembut dengan dasi pita biru tua dengan aksen garis hitam mencolok. Anehnya, meskipun terlihat sederhana, murid-murid tampak sangat manis saat mengenakannya.
“Chika,” panggil Dika-kun saat aku tertinggal cukup jauh di belakang. Bahkan Karena terlalu malu jadi sorotan, aku sampai tak sadar mulai berjalan berlawanan arah dengannya. Sekilas nampak Dika-kun tersenyum melihat tingkah canggungku yang gemar muncul di waktu-waktu yang tidak tepat. Dengan sebaris senyum malu yang kutunjukkan, kuikuti lagi Dika-kun dan berusaha tidak berjalan terlalu jauh darinya.