Sejak siang, rumah tiba-tiba berubah ramai ketika Harumi Senpai dan Sayaka datang. Keita langsung diajak duel game oleh Senpai sedangkan Sayaka menyeretku ke kamar memilah-milah yukata yang ia masukkan ke dalam tas koper. Aku kagum dengan kegigihannya untuk memakaikan yukata padaku di Festival Tanabata yang akan kami hadiri malam nanti. Kuangkat satu persatu pakaian tradisional itu dan menjejerkannya ke atas tempat tidur agar mudah dilihat. Belum sempat memutuskan mana yang akan kami pakai, Ibu tiba-tiba muncul dan membawa satu kotak yang juga berisi yukata dengan motif langka.
Bingung dengan banyaknya pilihan yang kami punya, Ibu menyarankan kami berdua mencobanya satu persatu dan memilih yang paling cocok untuk kami kenakan. Sayaka langsung mengiyakan dan menyabet sepotong yukata merah dengan motif ilalang beraneka warna. Hampir dua jam kami bergantian menilai yukata mana yang paling cocok. Bahkan Sayaka memaksaku melakukan peragaan busana. Awalnya kutolak, tapi setelah melakukan satu putaran, justru aku yang tidak bisa berhenti.
“Bukannya itu Dika-kun?” ujar Sayaka saat memandang ke luar jendela. Aku mengikuti pandangannya dan melihat Dika-kun yang berjalan mondar-mandir di dalam kamar yang ia tempati. Sebuah kebetulan bahwa kamar yang Paman Ito sewakan terletak persis berseberangan dengan kamarku. Kadang kali saat aku harus menyiram tanaman yang kutaruh dalam pot kecil di balkon, Dika-kun juga sedang duduk di lantai balkonnya dan sibuk membaca buku.
“Ternyata sedekat ini kalian tinggal. Apa kau tahu kesehariannya di rumah seperti apa?” sambil melepas yukata yang ia sampirkan di bahu, Sayaka duduk membantuku merapikan semua yukata yang bertebaran di seluruh penjuru kamar.
“Mana kutahu, Sayaka.” aku menimpalinya.
“Jujur saja. Kau menyukai Dika-kun, bukan?” tanya Sayaka sontak membuatku kaget.
“Mana mungkin.” sahutku keras, “Lagipula kita belum lama mengenal.”
“Kan ada jatuh cinta pada pandangan pertama.”
Aku tertawa, “Hal-hal semacam itu, aku tidak mempercayainya.” Sayaka mengerang frustasi mendengar jawabanku.
“Entah mengapa aku merasa kalau kau menyukainya. Padahal kalian cocok sekali jika bersama. Wahai Dewa, tolong cairkanlah hati sahabatku yang membeku ini.” keluh Sayaka seolah memperagakan sebuah adegan dalam teater musikal. Selagi perempuan yang berlagak dramatis di depanku ini masih memasang mimik memelas sempurna, kusodorkan sebuah yukata yang paling kusuka padanya.
“Aku akan memakai ini. Tolong rias aku sampai cantik, ya.”
Mimik memelas Sayaka berubah seketika. “Kau itu tanpa dirias sudah sangat cantik. Tapi demi malam romantis yang kita rayakan, aku akan membantumu menjadi lebih cantik. Bahkan Orihime akan iri dengan penampilanmu malam ini.”
“Sudah, jangan berlebihan.” sahutku dengan bola mata berputar.
“Begitukah?”
Kami berdua kembali tertawa sambil merapikan baju-baju yang masih berantakan.
***
Taman Akimori berubah menjadi hutan lampu warna-warni yang menyilaukan. Deretan pohon bambo yang sudah ditata teratur dengan ratusan lembar tanzaku yang melambai-lambai memenuhi penglihatanku. Diantara kerlip lampu yang menyala, berjajar puluhan kedai makanan dan kios cinderamata lucu. Aku dan Sayaka sampai menghabiskan banyak waktu untuk melihat-lihat berbagai macam barang dan mencicipi makanan yang dijual.
“Kau sudah mencoba untuk menghubungi Keita?” tanya Sayaka saat dirasa waktu sudah berjalan cukup lama dan kami masih belum bertemu dengan kelompok anak laki-laki. Sepanjang sore, aku dan Sayaka yang masih berkutat dengan penampilan membuat Harumi Senpai dan Keita hilang kesabaran. Akhirnya mereka berdua pergi lebih dahulu tepat saat matahari tenggelam. Sedangkan aku dan Sayaka terpaksa berangkat setelah makan malam. Untungnya Ayah mau mengantar kami berdua meski tidak sampai di pusat keramaian.
“Sudah. Katanya mereka berjalan-jalan di kawasan pertokoan.” jawabku seusai mengecek pesan masuk. “Bagaimana dengan Heiji?”
Tepat setelah aku menanyakannya, Sayaka melambai ke seseorang di belakangku dan bersorak memanggil namanya.
“Heiji! Kami disini!” teriaknya nyaris mengalahkan riuh pengunjung di sekitar kami. Aku berbalik dan mendapati Heiji yang memakai kaus putih dengan jaket tipis melingkar di pinggangnya. Ia membalas lambaian Sayaka dan segera berjalan mendekat.
“Sudah lama sampai?”
“Iya. Tapi kami berkeliling dulu.” jawab Sayaka dengan rona pipi yang tak bisa ditutupi. Untuk sepersekian detik aku merasa bahwa tak seharusnya diriku berdiri di antara mereka berdua.
“Aku tidak tahu kalian datang memakai yukata.” ucap Heiji.
“Kenapa? Tidak pantas, ya?” tukas Sayaka cemberut.
“Pantas, kok. Cantik.” balas Heiji semakin membuatku tak enak. Aku bergeser dan memilih berjalan sedikit di belakang mereka sambil berharap Harumi Senpai dan Keita segera datang. Meski senang melihat Heiji dan Sayaka nampak serasi dan sangat akur, merasakan keberadaanku seperti obat nyamuk lama-lama terasa canggung juga. Sayaka berkali-kali menyuruhku untuk berjalan di sampingnya. Tentu saja kutolak ajakannya dan tetap memilih berjalan di belakang mereka. Di tengah perjalanan, kurasakan ponselku berbunyi. Tanganku merogoh tas kecil yang kubawa dan melihat nama Keita muncul di layar.
“Keita, kau dimana?” tanyaku sedikit berseru. Kulihat sekeliling dan menyadari betapa ramainya pengunjung yang datang di taman saat hari makin malam.
“Hah? Apa?!” kini aku sudah berteriak. “Baiklah. Satu jam lagi di gerbang barat.” jawabku masih berteriak setelah Keita bilang bahwa dia dan Harumi Senpai akan menyusul satu jam lagi. Begitu kututup sambungan teleponnya, aku terperanjat tak menemukan Sayaka dan Heiji di depan. Kuamati sekitar dan mencari mereka berdua. Kepalaku celingukan berusaha menemukan keduanya tapi nihil. Karena geta yang kupakai, aku tak bisa berjalan cukup cepat dan justru terjebak di keramaian. Sedikit putus asa, kuputuskan untuk kembali dan mencari celah jalan yang bisa kulewati. Namun karena gerakanku yang terbatas dan lalu lalang pengunjung yang padat, membuatku sedikit terdorong dan menyebabkan kedua kakiku selip. Mataku sudah terkatup saat tahu beberapa detik lagi tubuhku akan jatuh tersungkur. Alih-alih kerasnya tanah, sesuatu menahanku dan mencegah tubuhku terjatuh. Kubuka mata dan merasakan tubuhku menggantung di lengan seseorang yang berhasil mencegahku mendarat ke permukaan tanah. Setelah mendapatkan keseimbanganku lagi, aku berusaha untuk kembali berdiri tegak dan berterima kasih pada seseorang yang sudah menolongku. Namun mataku terbelalak begitu tahu siapa sosok itu.
“Kau tidak apa-apa?” Dika-kun bertanya setelah menurunkan lengannya. Aku mengangguk sambil menepuk-nepuk yukata berusaha merapikannya. Kulihat tetanggaku itu membungkuk lalu memungut sesuatu yang tergeletak di atas tanah. Ia menyodorkan benda itu padaku yang ternyata tas jinjing yang kubawa.
“Kukira kau pergi dengan teman-temanmu.” ujarnya dengan nada datar. Aku meringis sambil memegang tengkuk. Haruskah kukatakan jika aku terpisah dengan Sayaka.