Komorebi

Fitri F. Layla
Chapter #11

Musim Panas Kali Ini

Libur musim panas tahun ini berubah menjadi nerakanya latihan bagi klub karate. Terutama untukku dan Kaede yang menjadi perwakilan sekolah di pertandingan karate di musim gugur nanti. Ketika semua teman-teman menyelesaikan latihan mereka, kami berdua masih harus berlatih satu jam lebih lama. Bahkan Saki Sensei sendiri yang melatih. Begitu benar-benar selesai, seluruh anggota akan dikumpulkan dan berbaris di tengah lapangan. Biasanya Sensei akan langsung membubarkan dan kami semua pulang. Tapi kali ini, ketua dan dua manajer klub ikut berdiri bersisian dengan Saki Sensei yang nampaknya akan mengabarkan sesuatu.

“Kalian tahu Pantai Oarai?” tanya Sensei yang kami jawab lesu karena lelah berlatih. Tidak ada seorang pun dari kami yang masih mampu berpikir ke arah mana Sensei akan bicara.

“Ingat tentang latihan luar sekolah yang pernah Sensei bicarakan?” kali ini beberapa anak saling memandang dan mulai memperhatikan. Sensei memandangi kami yang berbisik-bisik sampai akhirnya salah satu anggota bersorak.

“Sensei tidak bercanda, kan?” teriak seorang siswa kelas satu. 

“Aku tidak ingin dicap sebagai orang yang ingkar janji, jadi untuk minggu depan, kita adakan latihan luar sekolah selama tiga hari dua malam di Pantai Oarai.”

Seluruh anggota klub bersorak dan bertepuk tangan girang mendengar kabar menggembirakan ini. Hanya tiga anak yang tidak ikut bersorak. Aku dan kaede sudah kelelahan berlatih sehingga tak ada lagi tenaga untuk meneriakkan kegembiraan. Sedangkan satu anggota lain yang tidak ikut bersorak adalah Dika-kun. Dia hanya bertepuk tangan sekenanya dan tersenyum mengikuti suasana. 

Mengenai Dika-kun, jangan tanyakan padaku mengapa dia masuk klub karate. Aku pun tidak tahu alasan pasti yang menyebabkan dirinya mendaftar menjadi anggota klub ini. Mulanya, kukira dia akan ikut mendaftar klub semacam klub pecinta buku. Atau mungkin klub fotografi mengingat dirinya memiliki hobi memotret yang belakangan ini baru kutahu. 

“Karena itu, di latihan selanjutnya, kumpulkan formulir yang akan manajer klub bagikan dan minta persetujuan orangtua kalian untuk mengikuti kegiatan di luar sekolah. Tidak ada persetujuan dari wali kalian, maka tidak diperbolehkan untuk ikut serta. Kalian paham?” kami semua menjawab serempak. Kali ini penuh dengan semangat. Ketika Saki Sensei membubarkan latihan, seluruh anak berpencar. Ada yang langsung keluar lapangan untuk mengganti pakaian, ada yang masih duduk-duduk sambil meregangkan tubuh. Aku memilih ganti baju dan cepat-cepat pulang. Dua anak perempuan anggota klub berjalan mengikutiku menuju ruang ganti yang sama. 

Namun, ketika sampai di luar lapangan, sebuah suara memanggilku dari belakang. Aku berbalik dan melihat Harumi Senpai belari-lari kecil menyusulku.

“Kami duluan, Chika Senpai.” ucap dua anak perempuan kelas satu, Mika dan Ichigo, yang berjalan melaluiku. Aku membalas salam mereka sembari menunggu Senpai. 

“Kau mau pulang?” tanya Senpai saat sampai di hadapanku. Aku mengangguk menjawabnya dengan tampang lelah.

“Ehm, kalau begitu hati-hati.” balas Senpai berhasil membuatku mengernyit.  

“Senpai, sebenarnya Senpai ingin mengatakan apa?” aku memburunya yang terlihat aneh. Tidak biasanya Senpai bersikap sungkan kepadaku. 

“Tidak, ehm… aku ingin mengajakmu pergi, tapi sepertinya kau sangat lelah.”

“Senpai ingin mengajakku pergi? Tumben sekali. Apa ada sesuatu yang harus dirayakan?” 

“Tidak, Tidak ada. Aku hanya ingin mengajakmu keluar. Kalau saja kau tertekan dengan jadwal latihan yang menumpuk…”

“Ah… aku mengerti.” selaku setengah berteriak, “Senpai ingin melepas stres karena tekanan ujian, ya? Baiklah, ayo kita melepas stres. Haruskah kita panggil teman-teman?”

“Bukan itu maksudku.” potong Senpai, “Aku ingin mengajakmu pergi berdua saja.”

Belum sempat kujawab, giliran Dika-kun memanggilku dari tengah lapangan. Ia nampak baru berdiri dan berjalan cepat menyusulku. Senpai tiba-tiba menjadi pendiam dan menunggu Dika-kun sepertiku.

“Kau tidak membawa ponsel?” tanyanya begitu sampai.

"Kutinggal di dalam tas di ruang ganti.” 

“Bibi meneleponku sebelum latihan dan meminta tolong padaku agar menyampaikan pesannya untukmu.”

“Oh, Ibu bilang apa?” 

“Bibi ingin kau cepat pulang dan menemaninya ke supermarket.” 

“Ah, begitu.” ucapku yang kemudian memandang Senpai dan teringat ajakannya, “Senpai, maafkan aku.” kedua tanganku saling bertemu dan punggungku sedikit membungkuk. Kulihat Senpai tertawa kecil sambil menggaruk pipi dengan jari telunjuk. 

“Mau bagaimana lagi. Lain kali saja kalau begitu.” kata Senpai dengan wajah ceria. Tapi kurasa air mukanya nampak sedikit berbeda dari biasanya.

“Aku benar-benar minta maaf.” kataku masih dilanda bersalah. Akhir-akhir ini aku sadar tidak punya banyak waktu untuk bermain bersama Senpai seperti sebelum-sebelumnya. Biasanya hampir setiap akhir pekan kita pergi. Entah mengajak beberapa teman atau hanya berdua. Tapi sejak Senpai naik kelas tiga, waktu bersama kami berkurang sangat banyak mengingat persiapan ujian yang akan Senpai jalani. Bahkan kesempatan pergi bersama saat festival tanabata sebelumnya pun batal karena Senpai sakit perut dan pulang lebih awal. 

“Sudahlah, cepatlah pulang sebelum Bibi menunggu terlalu lama. Hati-hati.” ucapnya seraya menepuk bahuku dan berlalu kembali bersama anak-anak di tengah lapangan. Dika-kun masih berdiri di dekatku saat Senpai pergi dan terdiam seolah dia tengah memikirkan sesuatu. Begitu aku hendak bicara, Segerombol anak perempuan klub lain yang kebetulan lewat secara mengejutkan datang mendekat dan memberi salam pada Dika-kun. Mereka cekikikan saat Dika-kun mengangguk membalas salam mereka tanpa mengatakan sepatah kata. Meski begitu, segerombol anak itu memekik kegirangan ketika Dika-kun membalas salam mereka. Aku terperangah selama beberapa detik melihat tingkah anak kelas lain yang smaa sekali tidak kukenal. Melihat gerak-gerik yang mereka tunjukkan, kemungkinan besar mereka anggota perkumpulan penggemar Dika-kun yang pernah Sayaka bicarakan. 

“Kenapa kau dingin sekali dengan mereka?” tanyaku saat menyadari betapa berbedanya Dika-kun saat ia berinteraksi dengan anak-anak tadi. Biasanya dia lebih ramah saat berhadapan dengan teman sekelas dan teman satu klub. Bahkan untuk beberapa hal, Dika-kun bisa lebih hangat saat berbicara denganku atau Keita – entah sejak kapan mereka berdua sering mengobrol di rumah. Apa mungkin karena kita selalu bertemu dan lebih akrab daripada yang lain?

“Aku bahkan punya beberapa alasan untuk tidak menghiraukan mereka. Tapi aku tetap membalas salam mereka apa itu tidak cukup?” kata Dika-kun acuh. 

“Lihat itu. Kau bahkan berbicara dengan kalimat panjang padaku. Tapi kau tidak mengatakan apapun pada mereka.” timpalku sambil mendecak. “Mereka itu penggemarmu. Kau tidak ingin bersikap baik dengan mereka?” 

“Mereka menyukaiku karena tidak tahu apa-apa tentang diriku.” sahutnya datar. Walau Dika-kun mengatakannya tanpa beban justru aku yang merasa tak enak. Ia menatapku kemudian dan langsung merubah raut wajahnya lebih ramah.

“Ayo pulang. Sebelum Bibi menerormu dengan telepon ratusan kali.”

*** 

Hari-hari menjelang keberangkatan menuju Pantai Oarai kusambut penuh semangat. Tapi saat hari itu tiba, aku terbangun masih terkantuk-kantuk di atas tempat tidur dengan tubuh meringkuk dan menggigil. Kukerjapkan mata seraya membalikkan badan menatap jendela yang tidak tertutup rapat. Bahkan tirainya masih tersibak lebar. Aku mengerang di tempat tidur dan merutuki diri sendiri karena lupa menutup jendelanya semalam. Dengan langkah sempoyongan kututup jendela sekaligus pintu balkon itu dan kembali rebah di atas kasur. Sekilas kulihat langit subuh musim panas tampak cemerlang dengan bintang-bintangnya. Sebetulnya agak sayang menyia-nyiakan kesempatan ini untuk tidak menikmatinya barang sebentar. Namun badanku bereaksi agak aneh dan mendorongku kembali meringkuk di bawah selimut. 

Baru sebentar memejamkan mata, aku terperanjat begitu melihat matahari sudah tampak tinggi. Panik karena kesiangan, aku langsung menyambar handuk dan mandi secepat kilat. Selesai bersiap-siap, aku langsung buru-buru turun ke ruang makan dan menemukan semuanya sedang menikmati sarapan.

“Ibu, kenapa aku tidak dibangunkan?” keluhku sembari membuka pintu kulkas, mencari sesuatu yang bisa dimakan sambil jalan. 

“Aku membangunkanmu puluhan kali, tapi kakak tidak bangun.” kata Keita sebelum Ibu menjawab. 

“Kalau begitu aku langsung berangkat.” buruku sambil mengapit roti lapis dingin yang kutemukan di rak kedua kulkas lalu menciduk sup milik Keita. Ia menggerutu saat kuganggu sarapannya. 

“Ayah aku berangkat.” kataku sambil mencium pipi Ayah yang sibuk memperhatikan siaran berita. Sekelebat kudengar berita tentang kasus orang hilang yang akhir-akhir ini cukup menarik perhatian masyarakat.

“Mau uang saku tambahan?” tawar Ayah menggiurkan. Meskipun aku tahu kalau itu hanya candaannya. 

Lihat selengkapnya