Debur ombak yang terdengar dari kejauhan membangunkanku. Mataku mengerjap beberapa kali dan mencoba menyesuaikan silau yang menembus dari balik jendela yang terbuka separuh. Tirai yang menggantung di mukanya tampak menari-nari mengikuti hembusan angin. Begitu tak kurasakan berat di mataku, kucoba duduk dan mengamati sekitar yang terang kejinggaan. Sebuah mangkuk besar tergeletak persis di samping futon dengan dua helai handuk kecil menggantung di sisinya. Kurasa teman-teman menggunakannya untuk mengompres kepalaku yang demam tinggi semalam.
Teringat dengan peristiwa tadi malam, membuat otakku memutar kembali ingatan yang kupunya. Setelah polisi datang, aku langsung tak ingat dengan apa yang terjadi dan bagaimana aku bisa kembali ke penginapan. Bahkan sedetik yang lalu aku baru tersadar dengan piyama merah muda yang kukenakan bukanlah pakaian tidur yang kubawa. Dilihat dari corak dan motifnya yang sangat imut, kemungkinan piyama ini milik Ichigo-chan.
Setelah meregangkan tubuh dan memastikan bahwa kondisiku baik-baik saja, aku berdiri dan menghampiri jendela. Dengan jaket Dika-kun yang masih kubawa, kugeser jendela kamar hingga terbuka lebar menampilkan pemandangan sore Pantai Oarai. Nampaknya aku benar-benar menyia-nyiakan kesempatan menikmati pantai musim panas kali ini.
Baru saja menyesali nasib kurang baikku, pintu kamar terbuka. Eri-san dan Ichigo-chan berbinar ketika mengetahui aku sudah sadar. Eri-san yang masih mengenakan baju olahraga langsung turun dan mengabarkan pada Saki-Sensei mengenai kondisiku. Langsung saja Sensei datang bersama dengan Harumi Senpai yang tergopoh-gopoh tak sabar melihatku.
“Kau tak apa-apa? Tidak ada lagi yang sakit? Tak ada memar, pusing atau mual? Bagaimana dengan demammu?” Sensei memberondongku dengan pertanyaan bertubi-tubi. Harumi Senpai hanya memandangiku tanpa mengatakan apa-apa. Tapi bisa kurasakan dia menahan mati-matian rasa cemas yang meliputinya.
“Aku baik-baik saja, Sensei.” jawabku sembari tersenyum. Sensei sangat lega saat mendengar jawabanku. Ia sempat menegurku karena tidak berkata jujur bahwa seharian kemarin merasa tak enak badan. Tapi setelah itu ia kembali menyatakaan kelegaannya begitu melihat kondisiku memang baik-baik saja. Sepuluh menit berlalu, akhirnya Saki Sensei turun meninggalkan Harumi Senpai yang berlutut di samping futonku.
“Senpai?” panggil Eri-san ketika Harumi Senpai tak kunjung bicara dan justru menatapku dalam.
“Jika kau sudah merasa lebih baik, turunlah dan habiskan makan malammu.” ucapnya singkat lantas keluar dari kamar.
“Harumi Senpai kenapa, ya?” Eri-san mengernyit heran dengan sikap aneh Senpai, “Akhir-akhir ini dia sering sensitif dengan hal-hal kecil.”
“Apa mungkin karena Harumi Senpai gelisah dengan rentetan ujian musim depan?” Ichigo-chan menimpali. Aku hanya memandang mereka dengan sama bingungnya. Ternyata tak hanya perasaanku saja yang menilai tingkah ganjil Senpai. Mungkin setelah ini aku harus mengajaknya bicara. Siapa tahu memang ada suatu hal yang menyebabkan Harumi Senpai kalut. Lagipula ini saat yang tepat untuk menghabiskan waktu dengannya mengingat kami sudah lama tak pernah mengobrol.
Begitu Eri-san dan Ichigo-chan pergi mandi selepasku mencuci muka dan sikat gigi, aku turun dan keluar menuju pantai yang masih diramaikan dengan teman-teman klub. Beberapa anak menghampiriku dan melontarkan rentetan pertanyaan mengenai kondisiku. Ada juga yang bertanya tentang kejadian semalam. Tapi, menerima puluhan pertanyaan sekaligus membuatku pusing untuk menjawabnya.
“Hei, jangan mengerubunginya seperti itu.” seru Satoshi-kun. Di belakangnya, Dika-kun berdiri dan nampak sudah mengganti pakaiannya dengan kaos yang ia rangkap dengan kemeja di luarnya. Seusai Satoshi-kun membubarkan anak perempuan kelas satu yang mengelilingiku, ia memilih kembali ke penginapan dan mencari tahu menu makan malam yang sedang disiapkan di ruang makan.
Dika-kun berjalan perlahan dan mendekat ke arahku dengan mata tajamnya yang sudah membuatku terbiasa. Kemejanya yang bergoyang tertiup angin pantai terlihat bergerak melambai searah dengan kibaran rambutku yang terurai. Dika-kun yang berdiri menghadap arah matahari tenggelam, nampak dihujani sinar jingga. Dari balik punggungnya, satu dua anak yang kembali ke pantai setelah mandi dan berganti baju, menyerukan pesta api unggun yang tak sabar mereka nantikan.
“Jaketnya tidak terlalu tebal. Kau tidak kedinginan?” tanya Dika-kun yang sama sekali tidak bisa ditebak. Aku tertawa kecil dan menyibakkan jaket yang tak kukancingkan.
“Untukku, jaketnya hangat, kok.” kataku yang menunjukkan betapa besarnya jaket Dika-kun ketika kukenakan. “Lagipula anginnya sangat menyegarkan. Sayang sekali kalau tidak dinikmati habis-habisan.”
“Chika…” Dika-kun berhenti saat melihat seseorang dari balik punggungku. Sontak aku langsung berputar dan mendapati Harumi Senpai yang berjalan mendekat ke arah kami.
“Boleh aku menyela?” tanyanya saat sampai di sampingku. Aku agak terkejut ketika cara bicaranya kembali seperti biasa. Terdengar akrab. . Meskipun ada yang sedikit berbeda dari caranya memandang kami.
“Aku akan mengambil kamera di kamar.” ujar Dika-kun yang meninggalkanku bersama Senpai. Mengingat segala hal janggal yang ia tunjukkan sebelumnya membuatku agak canggung untuk memulai pembicaraan.
“Chika, kau mau bertanding denganku?” Harumi Senpai berhasil membuatku terperangah. Aku tidak salah dengar, bukan?
“Sekarang?” tanyaku. Mana bisa menang.
“Aku hanya akan memakai tangan kiriku. Kau tahu cederaku cukup parah untuk bertanding dengan normal.” tambah Senpai sambil mengangkat tangan kanannya. Aku berpikir semenit sampai akhirnya kusetujui ajakan Senpai. Meskipun aku tidak tahu apa tujuan Senpai sebenarnya.
“Yang menang bebas bertanya, meminta, atau mengatakan apapun kepada yang kalah.” ucapnya kemudian yang kusambut dengan senyum tipis.