Komorebi

Fitri F. Layla
Chapter #13

Pertengkaran Lainnya

Kedai Miyazaki masih sepi saat aku dan Dika-kun datang. Hanya ada tiga anak perempuan yang duduk di baris pertama kursi dekat pintu masuk dan tampak sedang membicarakan sesuatu dengan suara nyaris berbisik. Sekilas kulihat salah satu diantaranya memiliki wajah yang cukup familiar. Mungkin dia satu sekolah denganku. Anak-anak dari SMA Kiritani memang sering terlihat di kawasan ini untuk bermain atau sekedar menghabiskan waktu luang. 

Kami berdua memilih bangku deret ketiga samping jendela agar Ryuka-chan tidak kesulitan mencari kami. Beberapa hari sepulang dari Oarai, aku menerima sebuah pesan masuk darinya dan meminta untuk bertemu denganku dan Dika-kun. Seperti yang ia janjikan, Ryuka-chan nampaknya sungguh-sungguh ingin membantu menemukan petunjuk tentang Hana. 

“Kouda-chan, lama sekali tidak mampir.” sapa seorang laki-laki dengan celemek berwarna coklat kayu. Aku yang tengah menunduk mengecek daftar menu, langsung mendongak dan mengenali suaranya.

“Miyazaki-san,” balasku dengan senyum lebar. Pria dua puluh tahunan itu mengambil tempat duduk di depanku, bangku yang semula dipakai Dika-kun. Kebetulan, ia baru saja pergi ke toilet tepat sebelum Miyazaki-san menyapa. Pria pemilik kedai yang super ramah itu menyodorkan segelas air mineral ke arahku dan menunjuk ke salah satu menu yang tercantum di daftar.

“Itu menu baru. Kau harus mencobanya. Gotoda-san membuat resepnya sampai hampir gila.” Seketika aku meringis. Bertolak belakang dengan Miyazaki-san yang super ramah, Gotoda-san, koki yang dipekerjakan di Kedai Miyazaki memiliki reputasi yang tidak begitu baik. Apalagi jika membahas soal temperamennya. Pertama kali mendengar dari para senpai yang pernah merasakan Gotoda-san baru-baru saja berkerja di kedai, setidaknya ada tiga hingga lima komplain yang Miyazaki-san terima dalam satu bulan karena beberapa pelanggan merasa pelayanan Gotoda-san sangat buruk. Bahkan kacaunya sempat beberapa kali hampir terjadi perkelahian. Tapi untungnya, setelah lima bulan bekerja Gotoda-san mengambil keputusan yang tepat. Dia memilih menutup diri di dapur dan tidak melayani pelanggan sama sekali. Alasan mengapa Miyazaki-san tetap mempekerjakannya sangat sederhana. Makanan yang dibuat Gotoda-san sangat lezat. 

“Ngomong-ngomong, teman laki-laki yang Kouda-chan bawa kali ini berbeda. Pacar?” 

Aku terbatuk-batuk ketika baru menelan seteguk air yang Mikyazaki-san beri. Sontak tannganku mengibas-ngibas, “Bukan. Dika-kun bukan pacarku.”

“Lalu anak laki-laki bertubuh tinggi yang satu klub denganmu itu pacar Kouda-chan?” 

“Harumi-senpai juga bukan pacarku.” Aku menyahut dan tiba-tiba teringat pernyataan cintanya sewaktu di Oarai. Lagi-lagi aku dilanda perasaan bersalah. Sejak berpisah di Stasiun Akimori, aku memang belum sekalipun menghubungi Senpai. Begitu pun sebaliknya. Mungkin kami butuh waktu untuk menyesuaikan diri masing-masing setelah kejadian tempo lalu. 

“Baiklah baiklah. Jadi Kouda-chan ingin memesan apa?” tanya Miyazaki-san yang  kemudian berdiri dan menyiapkan catatan. Aku agak terkejut setelah menyadari tangannya terluka dan dibebat dengan perban. Hampir saja kutanyakan penyebab lukanya, tapi kemudian kuurungkan niatku. Mungkin itu luka saat dia membantu Gotoda-san menyiapkan pesanan pelanggan. Toh, ini bukan pertama kalinya kulihat tangan Miyazaki-san terluka karena mengurus urusan dapur. 

Setelah menyebutkan minuman yang kupesan, Dika-kun muncul dari kamar mandi. Miyazaki-san membungkuk kecil saat berpapasan dengannya. Kulihat Dika-kun membalasnya dengan senyum tipis. Namun sedikit kuperhatikan matanya mengikuti langkah Miyazaki-san yang memunggunginya. Tepat saat itu pintu kedai bergemerincing terbuka. 

Onee-san!” teriak Ryuka-chan persis lima menit setelah sekelompok anak perempuan yang ada di dalam kedai tadi melenggang pergi. Kulihat ia tak datang sendirian. Dari belakang tubuhnya, nampak seorang anak perempuan berjalan mengikuti Ryuka-chan dengan gugup. Aku melambai padanya dan menyuruh mereka berdua duduk. Langsung saja aku bergeser memberi Dika-kun ruang dan membiarkan Ryuka-chan serta temannya mengambil tempat di depan kami. Dika-kun menawarkan diri untuk memesankan makanan mereka, tapi Ryuka-chan menolaknya. 

“Aku pesan sendiri. Tunggu, ya.” Dalam sekejap, Ryuka-chan sudah pergi dan mendekat ke meja kasir dimana Miyazaki-san yang menerima pesanannya. Setelah kembali, tanpa basa-basi Ryuka-chan langsung mengatakan tujuannya. Entah mengapa sifatnya yang tidak bertele-tele sangat kusukai.

“Aku mencoba mencari tahu tentang Hana Tanzawa,” mulainya, “Hampir tidak ada yang mengenalnya dengan baik. Tapi untungnya aku bertemu dengan Murakami-san.” 

“Ah, namaku Sakura Murakami. Senang bertemu dengan kalian.” ujar gadis yang duduk di samping Ryuka-chan sedikit membungkukkan badan. Suaranya sangat lembut saat berbicara. “Sebenarnya aku dan Tanzawa-san tidak sedekat yang Shibasawa-san katakan. Tanzawa-san sangat tertutup dan pendiam. Dan kebanyakan dari anak kelas kami memang tidak berteman satu sama lain. Meskipun begitu menurutku Tanzawa-san berbeda dengan anak-anak lainnya. Dia memang tidak bergaul cukup dekat dengan siapapun. Tapi bisa kupastikan dia orang yang sangat baik.”

“Kelas seni peran, kebudayaan tradisional, dan kelas musik, terhitung kelas ter-elit di akademi dan terkenal memiliki tingkat persaingan tertinggi mengalahkan kelas bidang sains. Ada banyak kompetisi yang akademi suguhkan dimana hasil karya siswa terbaiknya bisa langsung didebutkan secara profesional. Mungkin karena itulah mereka sedikit lebih ambisius dibandingkan anak-anak kelas lainnya. Belum lagi rekam hasil belajar kelas tersebut sangat dipantau – tentu saja kelas di luar itu juga mendapat pemantauan. Tapi siapapun bisa melihat perbedaannya. Siswa yang mengalami kemerosotan signifikan dan berlangsung cukup lama, akademi bisa mengakhiri program belajarnya lalu mengeluarkan murid tersebut.” jelas Ryuka yang sukses membuatku ngeri. Sedangkan Dika-kun hanya diam mendengarkan. Aku betul-betul tidak mengerti mengapa kedua gadis yang ada di hadapanku bisa bertahan di sekolah itu.  

“Aku masuk Akademi Sumire melalui jalur khusus,” kata Murakami-san, “Akademi menilai suaraku unik dan nyanyianku menarik. Tapi setelah agak lama dan merasakan tekanan persaingan yang sangat ketat, stres membuat suaraku memburuk. Bahkan tidak terhitung sudah berapa kali tenggorokanku tidak bisa mengeluarkan suara. Hanya tinggal menunggu waktu akademi memutuskan untuk mengeluarkanku.”

“Namun, saat aku sudah merasa sangat putus asa, Tanzawa-san mulai membantuku. Dia mengajariku mengatasi rasa gugup dan ketakutan yang kualami. Sampai akhirnya aku bisa bernyanyi lagi seperti semula. Bahkan mungkin lebih baik dari sebelumnya.”

“Tanzawa-san, sebelum peristiwa poltergeist waktu itu, dikenal sebagai musisi berbakat.” lanjut Murakami-san. “Banyak dari lagu yang ia ciptakan mendapat perhatian khusus oleh guru-guru dan sponsor. Bahkan ada dua lagunya yang sedang digarap serius untuk didebutkan. Tapi, dengan bakat sebesar itu, banyak anak yang membencinya. Ditambah latar belakang keluarganya yang luar biasa, banyak yang mulai menyebar gosip bahwa masuknya Tanzawa-san ke akademi tidak melalui jalur resmi dengan membayar sejumlah uang yang cukup besar.”

“Untuk apa melakukan hal itu jika Hana memang berbakat?” tukasku lebih seperti menggerutu. 

“Karena semakin besar kelebihan seseorang, makin besar pula kedengkian orang-orang.” kata Ryuka-chan. “Hana Tanzawa terlahir dengan kemampuan hebat, berwajah cantik dan memiliki keluarga yang kaya raya. Kurasa itu cukup menjadi alasan orang-orang membencinya karena iri.” kulihat Murakami-san mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Ryuka-chan. 

“Sejak gosip itu beredar, muncul lagi dugaan bahwa lagu-lagu yang dibuat oleh Tanzawa-san pun terpilih dengan cara yang tidak jujur. Sampai kemudian beberapa anak mulai menekannya dan merundung Tanzawa-san.”

“Dan peristiwa poltergeist itu terjadi karena Hana terdesak dalam perundungan itu?” Dika-kun menyambung dengan nada tenang. Kurasa ia mendengarkan seraya mengendalikan emosinya.  

“Benar,” jawab Murakami-san. “Dalam sekejap, sejak peristiwa itu Tanzawa-san dikenal sebagai gadis penyihir.” 

Kami semua terdiam. Kulirik Dika-kun yang memasang wajah datar. Berbeda dengan reaksinya saat pertama kali bertemu dengan Ryuka-chan, kali ini ia terlihat sangat tenang dengan tangan saling menaut di atas meja. 

“Saat mengingatnya, aku sangat menyesal telah mengabaikannya saat itu. Tanzawa-san membantuku dengan sunguh-sungguh agar aku bisa bernyanyi lagi. Tapi saat dia dalam kesulitan, aku sama sekali tak berada disisinya dan membelanya.” Suara Murakami-san kian tercekat dan tak lama kulihat sebulir air mata jatuh ke pipinya. Ryuka-chan menepuk punggung Murakami-san mencoba menghiburnya.

“Apa lagi yang bisa kau lakukan saat berhadapan dengan kakak-kakak itu? Salah-salah justru kau yang mendapat masalah,” ujar Ryuka-chan. 

Lihat selengkapnya