Gadis itu terbujur lemas di atas tanah dingin, memandang gemintang yang berkilau sangat indah. Ia berusaha menggerakkan jari, namun sekujur tangannya sudah beku membiru. Lagi, ia gerakkan kakinya dan sengatan rasa sakit membuatnya berhenti. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menatap langit dan mendengar desir angin.
“Satu…satu, aku sayang Ibu…” lirihnya terpatah-patah dengan suara sengau. Bahkan nyaris berbisik ia rasa. Dari sekian banyak lagu yang ia suka, hanya penggalan lagu anak-anak itu yang mampu ia ingat. Di sela itu, bunyi kerukan tanah samar-samar didengarnya. Bayang hitam yang tampak menjulang dari tempatnya terbaring perlahan mendekat.