Selama sepuluh menit, aku terdiam di depan sebuah rumah dengan papan nama kayu bertuliskan Tanzawa. Aku merutuki diriku sendiri karena nekat berkunjung meski Dika-kun tidak pergi bersamaku. Lebih tepatnya tidak memperbolehkanku ikut. Rumah yang berdiri di hadapanku sama sekali berbeda dari yang pernah kubayangkan. Karena nama Tanzawa sendiri sudah memberi kesan luar biasa bagiku, rumah Yuriko Tanzawa jauh lebih sederhana dari dugaanku. Bukan berarti rumahnya tidak bagus. Bagus, kok. Tampak sangat nyaman untuk ditinggali. Tapi lagi-lagi nama Tanzawa membuatku berekspektasi terlalu tinggi. Jadi kupikir kediaman putri bungsu pewaris Tanzawa akan membuatku terkejut. Namun tak kusangka, aku terkejut dengan cara yang lain.
“Apa kau sedang mencari alamat?” kejut sebuah suara dari belakangku. Sontak aku berputar dan menemukan seorang wanita tua berambut ikal gelap. Tangannya terlihat membawa sebuah kantong belanja yang dipenuhi sayuran segar.
“Ah, iya. Saya mencari seorang teman. Kurasa dia tinggal disini. Namanya, Hana.” Aku mencicit dan suaraku nyaris tak terdengar saat mengucapkan nama Hana penuh keraguan. Namun, wanita tua itu justru sangat terkejut dan menatapku dengan tajam.
Setelah terbata-bata memastikan aku betul-betul mencari Hana, matanya berkaca-kaca dan dengan sopan mempersilakan aku masuk ke rumah Tanzawa.
“Saya pengurus rumah ini sejak Nona Yuriko masih muda.” Ucapnya seraya menaruh secangkir jus jeruk dingin. “Jadi saya sangat tahu kehidupannya bahkan sebelum dia menikah. Ah, namaku Masae Kurosawa.”
Aku membalas salam Bibi Kurosawa dengan sedikit membungkuk. “Nama saya Chika Kouda. Senang bertemu dengan anda.”
***
Sepanjang perjalanan pulang aku tak ingat kemana kakiku melangkah. Pikiranku melayang entah kemana sampai kemudian aku tersadar sudah turun dari Stasiun dan berjalan ke arah hutan kecil Taman Akimori. Kupandangi pepohonan yang berjajar di kanan kiri dan berhenti melangkah. Sinar matahari yang masih terik tampak terhalau oleh pohon-pohon. Membuat udara tak begitu menyengat di jalan setapak yang tengah kususuri. Kulihat sepasang pria dan wanita baru saja meninggalkan bangku yang baru mereka duduki dan melenggang pergi dengan tangan saling bergandengan. Kutempati bangku itu dan menghela nafas panjang.
Seumur hidup, dua jam terakhir adalah jam-jam paling melelahkan yang pernah kualami. Duduk seraya mendengarkan cerita Bibi Kurosawa menguras habis energi yang kupunya.
“Kakak?” seru sebuah suara yang berhasil membuatku terkesiap. Langsung saja kutengok arah suara yang tak asing lagi di telingaku. Benar saja, Keita berdiri di jalan setapak menatapku dengan tatapan aneh.
“Keita? Apa yang kau lakukan di sini?” seruku langsung.
“Bukannya itu menjadi pertanyaanku? Apa yang Kakak lakukan di sini dengan raut wajah seperti itu?”
“Aku?” memangnya raut wajahku kenapa? “Aku baru saja mengunjungi teman. Raut wajahku memangnya kenapa?”
“Hanya lebih tidak enak dipandang dari sebelum-sebelumnya.”
Dasar anak ini. “Ngomong-ngomong apa yang kau bawa?” tanyaku saat melihat sebelah tangan Keita menggenggam sebuket bunga matahari yang sangat cantik. Begitu kulontarkan pertanyaan tentang bunga yang ia bawa, Keita langsung menyembunyikan bunga itu di balik tubuhnya. Lagi-lagi aku menghela nafas melihat tingkahnya.