Harumi merengut saat ayahnya memasang sabuk karate di pinggangnya. Raut mukanya kesal begitu ayahnya berhasil menemukan dirinya yang bersembunyi di balik rak tepung di tempat penyimpanan bahan makanan. Kali ini Harumi harus memutar otak untuk mencari tempat persembunyian lain. Dia benci menghabiskan liburannya untuk latihan karate di Dojo milik keluarganya. Padahal Harumi sudah berencana untuk bermain video game dengan teman-temannya yang lain. Bocah laki-laki berusia sembilan tahun itu pelan-pelan berjalan mundur ketika Ayahnya lengah memandang ke arah lain.
“HEI HARUMI, BERHENTI! JANGAN BOLOS LATIHAN LAGI!!!” teriak Tuan Yamamura yang berusaha mengejar anak satu-satunya itu. Namun, baru sampai di depan pintu aula, kaki Tuan Yamamura terpeleset dan membuatnya jatuh ke atas lantai hingga terdengar suara berdebam yang sangat keras.
"Astaga, Ayah!” seru perempuan yang muncul dari ruang tengah sambil berlari membantu suaminya yang masih telungkup di atas lantai.
“Ayah, Ibu. Aku pergi ke rumah Shota dulu. Jangan cari aku sampai sore, ya.” seru Harumi seraya melambaikan tangan. Tangannya melempar sabuk yang berhasil ia lepas sembarangan.
“Harumi! Astaga anak itu.” ujar Nyonya Yamamura menghela nafas.
Selagi Tuan dan Nyonya Yamamura pasrah dan tidak berkutik lagi melihat tingkah putra mereka, Harumi berlari keluar rumah dengan senyum lebar. Langkah larinya yang cukup lebar untuk seukuran anak-anak, mulai melambat saat dirinya sampai di taman. Untuk sesaat ia berhenti dan mengatur nafasnya yang terengah-engah.
Baru saja ia mendapatkan ritme nafasnya lagi, Harumi dikejutkan oleh sesosok anak perempuan yang jatuh terjerembap di dalam taman. Salah satu ayunan yang berdiri di belakang anak itu masih mengayun dengan bunyi lengking yang agak bising. Langsung saja Harumi bergegas mendekati anak perempuan itu dan membantunya berdiri.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Harumi sembari menarik lengan anak itu. begitu gadis kecil itu berdiri, Harumi melepaskan tangannya.
“Rumahmu dimana? Mau kuantar pulang? Atau kau kesini bersama orangtuamu?” alih-alih mendapat jawaban, gadis kecil yang bediri di hadapannya justru terisak.
***
Derit bunyi ayunan menemani Harumi dan gadis kecil yang kini mengayun pelan di atas ayunan. Kepalanya menunduk, menatap sepatu putihnya yang kotor.
“Aku tidak punya saudara. Tapi, tahun lalu kakekku juga meninggal. Aku jarang bertemu dengannya. Tapi setiap kami berkunjung ke rumahnya, dia selalu membelikanku banyak barang dan menyayangiku seperti lebih dari cara Ayah dan Ibu menyayangiku. Begitu Kakek meninggal, aku menangis karena tahu kami tidak akan bisa bertemu lagi. Kami jarang bertemu, tapi rasa sayangku sangat besar padanya.
“Pasti rasanya berat sekali kehilangan kakakmu. Mungkin sepuluh kali lipat dari rasa sedih yang kualami karena kalian selalu bersama setiap hari.”
“Aku rindu padanya…”
“Chika!” seru seorang pria memotong ucapan si gadis kecil. Langkahnya tergopoh-gopoh mendekat dan nafasnya terengah-engah karena setengah berlari. “Kenapa tiba-tiba kau menghilang? Kami semua mencemaskanmu.”
“Aku tidak suka ke makam Kakak.” jawab Chika membuat Tuan Kouda tersenyum kecil. Harumi melihat mata pria itu dan bisa merasakan kesedihan dibalik tatapannya.
“Baiklah. Kalau Chika tidak ingin berkunjung ke makam Kakak tidak apa-apa. Kita akan datang saat kau sudah siap untuk mengunjunginya. Dan, siapa anak laki-laki yang bersamamu?”
Harumi yang tahu dirinya sedang dibicarakan, ia langsung berdiri dan membungkuk memberi salam. “Nama saya Harumi Yamamura dan tinggal tidak jauh dari sini. Saya tidak mengenal putri Paman. Tadi dia kutemukan terjatuh di sini.”
“Jadi, Harumi sudah menolong anak Paman? Kalau begitu terima kasih karena sudah menolongnya, ya.”
“Saya hanya melakukan apa yang pernah Ibu ajarkan padaku.” kata Harumi senang saat Tuan Kouda berterima kasih. Setelah itu, ia lihat Tuan Kouda mengangkat putrinya dan menggendongnya pergi. Harumi masih berdiri di samping ayunan saat anak perempuan itu memandangnya dengan mata berkaca sambil melambaikan tangan kecilnya. Selama beberapa detik, bocah laki-laki itu terpaku dan tanpa sadar membalas lambaian tangan anak perempuan tadi.
“Ah, aku lupa menanyakan namanya.”
***
Bel sekolah baru saja berbunyi saat Harumi tersadar dari lamunannya. Libur musim panas sudah berakhir, namun ingatannya tentang gadis kecil sore itu masih membekas kuat di kepalanya. Matanya yang berkaca kala itu dan pipinya yang memerah karena menahan tangisannya entah mengapa terlihat sangat manis.
“Harumi, ayo pulang. Kau jadi melihat koleksi kartu Kamen Rokabe di rumahku, tidak?” seru seorang anak laki-laki bernama Shota. Kepalanya yang plontos ia tutupi dengan sebuah topi merah dengan logo klub bisbol terbaik tahun itu.”
“Iya. Katamu kau berhasil mengumpulkan lima puluh seri kartunya.” jawab Harumi sambil berjalan keluar kelas bersama Shota. Tepat saat ia tiba di pintu, kedua bocah laki-laki itu dikejutkan oleh sesosok anak yang terjerembab persis di hadapan mereka berdua.
“Hei, kau tidak apa…” ucapan Harumi terputus saat melihat wajah anak yang jatuh di hadapannya. Tidak hanya ucapannya, Gerakan Harumi yang hendak menolong anak perempuan itu terhenti dan malah Shota yang membantu gadis yang terjatuh tadi agar bisa berdiri kembali.
“Kau kan yang waktu itu di taman.” seru Harumi membuat anak perempuan tadi menatapnya. Matanya sempat berkedip dua kali sampai akhirnya ia bisa menjawab.
“Kakak yang membantuku terjatuh dari ayunan, ya?”
“Kalian saling kenal? Dia tetanggamu?” Shota bertanya menoleh ke arah Harumi.
“Shota, aku akan melihat koleksi kartumu besok saja, oke? Kau bisa pulang duluan.”
“Haaaah?” seru Shota tiba-tiba kebingungan melihat tingkah teman mainnya itu.
***
“Jadi kau duduk di kelas tiga? Kita satu sekolah tapi aku tidak mengenalmu sama sekali waktu itu.” kata Harumi. “Oh ya. Siapa namamu? Aku lupa menanyakannya saat kita bertemu dulu.”