Komorebi

Fitri F. Layla
Chapter #17

Keputusan Besar

Dengan langkah kaki yang mantap, aku berjalan menuju ke tengah arena yang dikelilingi ratusan penonton. Mereka semua bersorak-sorai melihatku muncul. Di babak penyisihan pertandingan karate beberapa waktu yang lalu, jumlah penonton hanya seperlima dari ini. Setelah melewati babak-babak yang menguras tenaga, akhirnya aku sampai di final. Berhadapan dengan seorang gadis seumuranku dari SMU Mitamura, Osaka. 

Sebelum pertandingan dimulai, kusapu pandanganku ke bangku penonton dan melihat Ayah dan Ibu mengibarkan sebuah spanduk dukungan. Tentu saja Sayaka juga ada di sana. Duduk bersebelahan dengan pacarnya, Heiji Wada. Dia membawa kipas dengan foto wajahku terpampang di tengahnya. Saki Sensei bersorak di pinggir lapangan mencoba memberikan semangat padaku untuk yang ke terakhir kalinya sebelum peluit pertandingan dimulai berbunyi. Sedangkan Harumi Senpai berdiri di sebelahnya dengan tangan dilipat didepan dada. Senyumnya tersungging begitu kami bertemu pandang. Ia anggukan kepalanya meyakinkanku bahwa ia percaya aku bisa melewati pertandingan ini dengan sangat baik. Melihatnya masih mendukungku penuh, sekelebat ingatanku kembali ke satu minggu yang lalu.

*** 

Satu minggu yang lalu.

Aku duduk meringkuk di bawah jendela koridor sekolah dan termenung di sana nyaris selama lima belas menit. Mengabaikan latihan karate yang seharusnya sudah dimulai lima menit yang lalu, aku hanya terdiam sambil memandang langit yang perlahan memunculkan semburat kekuningan. Menandakan matahari yang semakin lama semakiin condong ke arah barat. 

Begitu libur musim panas selesai, sesi latihan karateku bertambah. Sedangkan hubunganku dengan Dika-kun belum juga membaik. Kami masih sama-sama saling tidak bertegur sapa. Tidak juga berangkat sekolah ataupun pulang bersama. Hanya ketika di kelas dan latihan karate saja aku bertemu dengannya. Ucapannya yang melarangku mengikutinya menyelidiki hilangnya Hana Tanzawa bukan sekedar gurauan. Dia sungguh-sungguh serius. Karena bungkamnya Dika-kun aku sendiri enggan mengatakan sesuatu terkait pembicaraanku bersama Bibi Kurosawa. Dia sendiri sama sekali tidak menunjukkan ingin berdamai denganku.

Di sisa libur musim panas, tak sengaja kutemukan sebuah kotak barang-barang peninggalan Kak Ayami di gudang saat Ibu mengajakku merapikan biilik itu. Peralatan menggambarnya masih lengkap. Meski debunya cukup tebal. Melihat hasil gambarnya dan coretan-coretan yang kubuat saat menghabiskan waktu bersama dengannya pun masih ada. Ibu menyimpannya dan tampaknya tak pernah sekalipun berniat membuangnya. 

Melihat seluruh barang-barang itu membuatku sangat kalut. Membayangkan betapa menyenangkannya kembali melukis sesuatu. Membuat tanganku belepotan dengan berbagai warna cat minyak, memikirkan banyak objek yang bisa kulukis, dan menghabiskan waktu di akhir pekan sambil melukis orang-orang berlalu lalang di balik jendela salah satu kafe.

“Kupikir kau harus memulai memikirkan apa yang sungguh-sungguh kau suka, Chika-san.” suara Dika-kun tiba-tiba saja melintas. Ucapannya ternyata cukup membekas di ingatanku. Ucapan yang membuatku marah tanpa sebab waktu itu. Karena selama ini kukira aku mencintai karate. Namun seiring berjalannya waktu, kusadari bahwa kecintaanku pada karate adalah pelarian atas rasa terpukul yang kurasakan begitu kehilangan Kak Ayami. Bahkan sisi menggelikannya adalah aku tak tahu seberapa dalamnya rasa kehilangan itu sampai-sampai diriku terbentuk menjadi salah satu atlet karate nasional.

“Hei, kalau mencari tempat merenung setidaknya yang nyaman, dong.” terdengar sebuah suara dari jendela koridor yang terbuka. Aku mendongak dan menemukan Harumi Senpai berdiri di sana sambil bertopang dagu.

“Senpai! Sejak kapan ada di sana?” seruku bersamaan dengannya yang melompat keluar dari jendela dan memilih duduk di sampingku. 

“Belum ada dua menit. Jadi mengapa tiba-tiba kau bolos latihan?” aku tidak langsung menjawab pertanyaan Senpai. Aku tahu dia bisa saja menungguku sampai aku berbicara. Tapi melihatnya masih sangat peduli padaku membuatku canggung. Alih-alih membuatku mengutarakan isi kepala, lagi-lagi aku malah jatuh dalam rasa bersalah.

“Kau tidak mau membicarakannya karena itu sangat pribadi, atau hanya karena tidak enak padaku?” tanya Harumi Senpai tepat sasaran. Aku menoleh padanya dan menimang-nimang haruskah aku mengatakan keresahanku atau tidak.

“Senpai, bagaimana setelah pertandingan nanti aku berhenti dari klub?” tanyaku setelah lama terdiam.

“Jadi sekarang kau sudah yakin untuk melakukan hal lain? Sesuatu yang benar-benar kau suka?”

“Bagaimana Senpai tahu kalau karate bukan hal yang benar-benar kuinginkan?” tubuhku berputar cepat menghadap Harumi Senpai. 

“Hei, kau lupa seberapa lama kita berteman?” sergah Senpai, “Lagipula justru aku yang terkejut saat kau benar-benar mahir karate. Awalnya kupikir kau akan menyerah di pertemuan ketiga. Ternyata gadis kecil yang sering terjatuh itu bisa mewakili sekolah sebagai finalis pertandingan karate nasional.”

“Gadis kecil apanya. Senpai Cuma selisih setahun lebih tua dariku, tahu!” kujawab dengan bibir manyun. Bagaimana bisa orang lain lebih mengerti diriku dibanding diriku sendiri. Sebelumnya Dika-kun, sekarang Harumi Senpai. Entah mengapa rasanya jadi kesal. 

“Sungguh tidak apa-apa?” tanyaku sekali lagi. Kali ini nadaku terdengar kalut. 

“Mungkin Saki Sensei dan teman-teman lainnya yang akan terkejut.” ujar Senpai santai. “Tapi bagaimanapun juga kau bebas menentukan apa yang ingin kau lakukan.” 

Aku tersenyum lalu menjulurkan tinjuku pada Senpai. Ia membalas senyumku dan menyambut tinjuku. 

*** 

Kurasakan angin musim gugur masuk menembus jendela rumah pohonku. Lebih tepatnya sebuah lubang persegi yang ada di salah satu sisi dinding kayu. Kutepuk kedua tanganku untuk membersihkan debu-debu yang menempel dan merapikan rok yang kukenakan. Setelah sekian lama kubiarkan rumah pohon kesayanganku terbengkalai, akhirnya aku bisa tersenyum lebar melihatnya yang sudah terbebas dari segala macam kotoran sekaligus debu-debu setebal setengah sentimeter. 

Kepalaku mendongak merasakan sensasi panas dari sinar matahari yang berhasil lolos dari lubang-lubang atap. Untuk sesaat aku memikirkan berapa banyak uang yang harus kuhabiskan untuk menutup lubang-lubang itu dan mempertimbangkan apakah Keita mau membantuku untuk memperbaikinya.

Lihat selengkapnya