Aku tidak pernah menyukai musim panas dan menjadi deretan orang pertama yang menyambut pergantian musim gugur dengan penuh sukacita. Tapi entah mengapa, Pertama kali sepanjang sejarah hidupku, kali ini aku cukup sedih melepas musim panas. Entahlah, mungkin karena tahun ini cukup berbeda dari biasanya. Dan jujur saja, setelah Dika-kun datang banyak kenangan yang kami lalui. Tentu saja tidak semua kenangan berjalan menyenangkan. Tapi bisa kukatakan semua hal yang kulalui bersamanya sangat mendebarkan. Belum lagi keputusanku meninggalkan klub karate sungguh-sungguh tidak pernah kuperkirakan.
Selepas kami berbaikan beberapa waktu yang lalu, tentu saja aku dan Dika-kun kembali berangkat ke sekolah bersama-sama. Bisa kulihat beberapa anak yang mengidolakan Dika-kun menaruh iri padaku. Meskipun aku sama sekali tidak menyukai momen di mana diriku harus tersorot karena nyaris selalu bersama dengan tetanggaku itu. Aku sungguh tertolong dengan status ‘tetangga’ yang tersemat di antara kami berdua. Karena itu menjelaskan mengapa kami berdua menjadi cukup dekat. Meskipun kemudian aku tertegun dengan pikiranku sendiri. Memangnya karena apa lagi kami dekat? Kan tidak mungkin aku mengharapkan hubungan kami berdua tetap terjalin sedekat ini meskipun sebelumnya kami tidak bertetangga.
Setelah beberapa lama waktu berlalu, gunjingan orang-orang berkurang dan menyisakan fans fanatik yang tak bisa lagi sembarangan bicara karena Dika-kun merespon dengan dingin dan tegas kepada orang-orang yang membicarakan hal buruk tentangku. Namun bukan berarti masalah selesai begitu saja. Mendapat pembelaan dari laki-laki itu justru menyebarkan rumor baru karena sikap perhatian Dika-kun kepadaku. Sisi negatifnya, rumor itu menyebar hingga ke lintas angkatan. Itu semakin membuatku dibicarakan di mana-mana. Tapi sisi positifnya, gunjingan yang mengatakan bahwa aku menggoda Dika-kun dengan sengaja ditepis banyak orang yang mengenalku dari klub. Bahkan tanpa diminta, mereka membelaku penuh dan ikut mengoreksi rumor buruk tentangku.
“Seharusnya kau lahir dengan tampang yang biasa-biasa saja, Dika-kun.” keluhku di lorong sekolah. “Mengapa anak-anak itu sangat suka menggunjingkanku hanya karena kita berteman? Mengapa mereka tidak menjelek-jelekkanmu saja. Lagipula kan yang bersikap keras pada mereka itu kau bukan aku.”
“Karena mereka butuh pelampiasan begitu tidak bisa menyentuhku.”
“Kau tidak mengelak saat kubilang wajahmu di atas rata-rata.” ucapku dengan mata menyipit.
“Aku cuma bisa mengendalikan hal-hal yang bisa kukendalikan.” jawabnya datar.
“Kenapa kau tidak bersikap baik pada mereka saja, sih?”
“Haruskah? Kau tidak yakin akan menyesal?”
“Memangnya apa yang harus disesali?” balasku membuat Dika-kun menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan mengamatiku sembari menyipitkan mata.
“Banyak. Kau akan menyesali banyak hal.”
Aku mendengus memandang ekspresi percaya dirinya, “Lihat dirimu sekarang. Seharusnya fans-fans gilamu itu melihat sisimu yang seperti ini. Dasar narsis!” kuburu langkah kakiku secepat mungkin. Tanpa kulihat, bisa kupastikan laki-laki itu tengah tersenyum lebar melihatku uring-uringan. Rasanya lelah sekali meski hari baru saja dimulai. Aku sempat terheran-heran dengan kabar simpang siur tentang kedekatanku dengan Dika-kun. Sejujurnya aku tidak terlalu mempermasalahkannya karena kenyataannya aku dan Dika-kun memang cukup dekat. Tentang bagaimana mereka memandang kami memiliki hubungan khusus, itu pun terserah mereka. Itu tidak merubah hubunganku dengan tetanggaku itu. Hanya saja, gosip-gosip yang sebetulnya sudah mereda sejak libur musim panas tiba-tiba kembali mencuat dan bahkan kabar yang beredar semakin parah. Seandainya pun kami memiliki hubungan khusus, kurasa isu-isu yang menyebar di antara kami bisa dikatakan sudah berlebihan. Aku maupun Dika-kun kan bukan artis atau semacamnya yang akan disorot entah apapun yang kami lakukan. Meskipun saat kukatakan hal ini pada Sayaka, ia berdecak sembari menatapku tak percaya. “Kau bercanda? Apa kau sungguh-sungguh tak menyadari kalau dirimu juga sangat populer?” ucapan Sayaka hanya bisa membuatku geli. Aku? Populer? Dia yang bercanda.
“Ohayou!!” seruku begitu masuk ke dalam kelas. Seketika kakiku terhenti melihat seluruh anak di kelas memandangku serempak. Bahkan separuhnya berkumpul mendekat di sekeliling mejaku. “Ada apa?” tanyaku pelan sembari melirik ke arah Dika-kun yang ikut berhenti dan berdiri di sampingku.
“Chika.” Sayaka muncul dari balik kerumunan. Anak-anak yang lain mulai menyebar dan memperlihatkan pemandangan ganjil di mejaku. “Kau tidak apa-apa, kan?”
“Apa maksudmu?” balasku sambil mendekat. Akhirnya bisa kulihat kondisi mejaku yang langsung saja membuatku terkejut.
MATI SAJA KAU, CHIKA KOUDA!!!
Kalimat itu ditulis menggunakan cat semprot dan mengotori seluruh bagian mejaku.
“Siapa yang…”
“Aku akan ambil meja lain di gudang.” ucap Dika-kun memecah suasana hening. Aku menoleh padanya yang sudah terburu berbalik keluar. Beberapa anak langsung mengiyakan dan berbondong menawarkan diri ikut membantu.
“Jangan kau pikirkan. Orang yang melakukan ini padamu akan segera kita temukan.” sahut Sayaka positif.
“Kita laporkan pada Sensei.”
“Lelucon seperti ini kuno sekali.”
“Benar-benar jahat.”
Suara teman-teman terdengar tenggelam di telingaku. Mataku tidak bisa beralih pada tulisan penuh kebencian yang ada di atas mejaku.
Setelah ancaman pertama yang kuterima, aku tidak pernah mengira akan muncul teror-teror berikutnya. Di teror kedua, tidak ada tulisan kebencian yang mengotori mejaku. Hanya ada fotoku yang dicetak dengan ukuran besar dan sebuah tanda silang berwarna merah yang dibubuhkan di atasnya. Di balik foto tersebut sebuah kalimat ancaman lainnya yang disusun dari potongan majalah terpampang.
“Orang yang melakukan ini pasti sinting.” geram Sayaka dengan tangan merobek-robek foto tadi hingga menjadi potongan kecil. “Di saat seperti ini bagaimana bisa kamera pengawas justru mati.”