Televisi sudah dalam keadaan menyala saat aku turun dari kamar. Kulihat Ibu dan Ayah tampak serius menonton siaran berita tentang penemuan mayat di sekolah kemarin sore. Situasi di sekolah waktu itu langsung gempar. Guru-guru bergegas turun dari kantor dengan panik. Suara sirine mobil polisi menggema tak lama setelahnya. Begitu semua personil polisi yang dikirim tiba, mereka langsung memblokir tempat penemuan jasad tersebut menggunakan garis kuning yang dibentang melingkar, menghalangi siapapun yang mendekati tas olahraga berisi potongan tubuh seorang wanita.
Beberapa murid yang menemukan mayat itu pertama kali harus menetap di sekolah selama beberapa jam untuk dimintai keterangan. Termasuk diriku, dan Dika-kun. Terlebih Dika-kun lah yang menelepon polisi dan membuat laporan.
“Berapa lama sekolah Kakak akan libur?” tanya Keita yang ternyata ikut serius mengikuti siaran berita. Ia sudah berdandan rapi mengenakan seragam sekolahnya.
“Tiga hari.” jawabku sembari mengoles roti dengan selai kacang di meja makan. Kekacauan karena penemuan itu membuat pihak sekolah langsung mengunggah pengumuman di website komunitas sekolah untuk meliburkan seluruh siswanya selama tiga hari guna penyelidikan polisi. Kasus itu tentu saja tidak hanya menggemparkan SMU Kiritani. Tapi seluruh penjuru kota ikut tercengang karenanya.
Kasus pembunuhan berantai yang selama ini berusaha ditutupi pihak kepolisian tak bisa lagi disembunyikan dengan dalih penemuan mayat dengan kematian wajar. Fakta bahwa keempat korban ditemukan di dalam tas olahraga yang sama, semakin menguatkan bahwa kasus ini bukanlah kasus pembunuhan biasa.
“Kau tidak apa-apa, kan? Apa Ayah harus membawamu konseling agar traumamu teratasi di tangan profesional?” ucap Ayah terdengar khawatir.
“Benar. Ibu akan mengantarmu ke rumah sakit nanti….”
“Ayah, Ibu, aku baik-baik saja. Sejujurnya aku tidak terlalu melihat mayat wanita itu. Dika-kun menghalangiku mendekat. Aku hanya melihatnya sekilas. Memang sangat mengejutkan, tapi aku tidak apa-apa.” sahutku berusaha menenangkan keduanya.
“Lalu bagaimana dengan Dika-kun? Dia baik-baik saja?” tanya Ibu sembari menaruh segelas susu di depanku.
“Aku menanyainya lewat pesan semalam tadi dan kurasa dia tidak apa-apa. Hanya sedikit lelah.” Aku menjawab berusaha menutupi perasaanku yang sebenarnya. Itu adalah satu-satunya jalan agar Ibu dan Ayah tidak mencemaskanku. Dengan kasus ini saja mereka berdua tampak kalang kabut. Bagaimana jika mereka tahu kalau akhir-akhir ini aku menerima teror dari entah siapa. Tidak seharusnya aku memendam kelegaan di situasi ini. Tapi dengan adanya penemuan mayat itu, perhatian guru-guru teralihkan. Dan Ibu belum menerima laporan apapun tentang apa yang terjadi padaku di sekolah.
“Ibu, setelah ini aku akan pergi sebentar….”
“Kau pergi di situasi seperti ini?!!” seru Ibu. “Tidak. Tidak boleh.”
“Aku hanya akan pergi sebentar ke teater dan toko buku. Temanku sedang tampil untuk penilaian kelasnya. Setelah itu aku janji akan langsung pulang. Tidak akan sampai malam. Ah tidak. Bahkan tidak sampai sore. Ya, Bu?”
“Teman Kakak yang mana? Bukannya teman Kakak hanya Sayaka, Harumi dan Dika Oniisan?” giliran Keita yang bertanya.
“Dibanding pertanyaanmu aku lebih penasaran mengapa kau hanya memanggil kakak pada Dika-kun.”
“Ibu juga penasaran.” timpal Ibu membuatku mengernyit dan berpikir ucapannya ditujukan untuk pertanyaan yang mana. “Kau cuma dekat dengan ketiga orang itu. Lalu temanmu yang mana yang akan tampil di teater?”
“Seorang teman dari Akademi Sumire. Namanya Ryuka Shibasawa.” jawabku pelan yang entah mengapa membuat Keita seketika tersedak.
“Kau berteman dengan murid Akademi Sumire?” kali ini Ayah yang bertanya. Semua orang menatapku tak percaya.
“Aku pernah membantunya saat tas miliknya kecopetan. Pencopetnya berhasil tertangkap dan yah, begitulah. Kami berkenalan, lalu sebagai tanda terima kasih kami makan bersama dan mengobrol banyak.” jelasku berusaha keras menutupi rincian ceritanya. Aku tidak bilang pencopet yang kuringkus waktu itu yang menyebabkan kecelakaan pada diriku dan Dika-kun. Aku juga tidak bilang kalau kami kembali bertemu di Akademi Sumire saat mencari informasi tentang Hana Tanzawa. Dan makan bersama pertama kami bukan untuk basa-basi karena rasa terima kasih. Ryuka-chan membalasnya dengan menjadi informan tentang Hana Tanzawa.
“Kau pernah menangkap pencopet?! Pencopet yang melemparmu ke jalanan waktu itu?” pekik Ibu.
“Bukan. Bukan yang itu. kejadiannya sudah cukup lama.” kataku berbohong dan berusaha mengendalikan ekspresi sambil mengginggit roti. Ibu semakin syok bahwa ada penjahat lainnya yang kutangkap. “Karena aku cukup pandai menjaga diri, jadi ijinkan aku pergi sebentar, ya?”
“Dika-kun tidak pergi bersamamu?” tanya Ayah.
“Tidak. Kita kan tidak selalu pergi bersama kemana-mana. Dika-kun juga pasti punya hal yang ingin dia lakukan sendiri.” kataku sambil melirik ke arah Ayah dan Ibu yang tampak kecewa. Meski aku tidak tahu mengapa mereka berdua harus mengecewakan hal itu.
“Kau benar-benar harus hati-hati.” ujar Ayah beberapa menit kemudian. Seketika wajahku berubah sumringah begitu mendapatkan ijin keluar. “Jangan sampai ponselmu mati dan kau harus berjanji untuk sampai di rumah sebelum sore.”
“Terima kasih, Ayah.” seruku riang. “Baterai ponselku terisi penuh dan aku akan pulang sebelum sore.”