“Hana Tanzawa. Kau perundungnya, bukan?”
Pertanyaan itu berhasil membuat gadis itu terhenyak, bahkan terguncang. Ia mati-matian menutupinya dengan memasang wajah datar dan tak peduli. Tapi percuma saja, aku melihat ketakutannya sebelum dia berhasil menyembunyikan perasaan itu. Kuraih lengannya dan kucengkeram kuat saat ia hendak melenggang pergi.
“Kau tidak bisa menjawabnya?”
“Itu bukan urusanmu.” geramnya tepat di depan wajahku. Saat itu aku tersadar akan sesuatu. Wajah gadis ini sangat familiar. Aku yakin bahwa sebelumnya kita berdua pernah bertemu di suatu tempat. Kuperhatikan pakaiannya dan merasa bodoh. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya. Satu-satunya sekolah di Akimori yang meliburkan seluruh siswanya hari ini hanyalah SMU Kiritani. Melihatnya tidak berseragam sama sepertiku, aku cukup yakin bahwa gadis itu bersekolah di tempat yang sama denganku.
Selagi diriku sibuk dengan dugaan-dugaan yang berpusar di kepala, kulihat gadis itu menatapku dengan penuh kebencian. Ia berusaha melepas cengkeramanku, namun sayangnya tenagaku jauh lebih besar daripada upayanya.
“Lepaskan aku.” bisiknya nyaris terdengar seperti ancaman.
“Kita bahkan tidak saling mengenal, tapi kulihat kau sebenci itu padaku.” sejujurnya hal tersebut memang menggangguku sejak kulihat tatapan mata tajamnya sedari awal. Dan entah darimana potongan-potongan kejadian yang kualami beberapa hari yang lalu seketika berputar di ingatanku hingga berujung ke sebuah firasat yang sangat kuat. Mataku menyipit menatap lurus ke arah gadis tersebut. “Jangan-jangan kau yang….”
Perempuan itu menyentak tangannya dan kali ini cengkeramanku tak sanggup menahannya lagi. Ia mendorong tubuhku hingga menubruk dinding dan berhasil melarikan diri. Dengan segera aku berdiri tegak dan berniat menyusulnya, namun rintihan Murakami-san membuyarkan niatku. Aku berbalik dan melihat gadis itu benar-benar terluka cukup parah. Sebercak darah di ujung bibirnya membuatku refleks meringis tak sanggup membayangkan betapa sakitnya menerima pukulan tanpa bisa membalasnya sedikit pun.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku. “Ayo kita pergi ke rumah sakit untuk mengobati luka-lukamu terlebih dahulu.”
“Aku baru saja menghubungi supirku kemari. Dia akan datang sebentar lagi.” ucap Ryuka dengan tangan kanan berusaha menopang Murakami-san berdiri dan tangan kiri menggenggam ponsel. Kuraih pinggang Murakami-san yang satunya lagi dan membantu Ryuka memapahnya keluar dari gang sempit.
“Anak itu benar-benar berhasil memancing amarahku. Murakami-san setelah lukamu diobati, kau harus segera melapor ke polisi. Ini kasus kekerasan yang sangat serius,” kataku yang segera disetujui Ryuka.
“Kami berdua bisa menjadi saksi untukmu. Pasti ada bukti CCTV atau semacamnya juga di sekitar sini. Aku akan membantumu melawan ular itu.” ucap Ryuka kentara sekali mendendam pada perempuan itu dan antek-anteknya.
“Namanya Madoka Kishida.” lirih Murakami-san meski terdengar menahan perih dari luka di ujung bibir dan lebam di pipinya. “Aku baru tahu jika dia bersekolah di tempat yang sama dengan Kakak saat mendengarnya berbicara dengan dua temannya yang lain di belakang Gedung Kesenian. Setelah menyelesaikan penilaian kelas, aku membuntuti mereka bertiga. Tapi kemudian mereka tahu dan menyeretku kemari.”
“Sudah. Kau jangan bicara banyak-banyak. Pasti sakit sekali menahan semua luka itu.” sergah Ryuka miris. “Kakak, ikutlah denganku. Biar kuantar Kakak terlebih dahulu sampai rumah.”
“Kau antar saja Murakami-san. Aku akan pulang sendiri. Dia harus segera diobati.” kataku tepat ketika sebuah mobil hitam menepi.
“Tapi….”