“Akira Tsugiharu?” ulangku setelah kami duduk di sebuah café dan pria yang duduk di depanku menyebutkan namanya. Ia menatapku dengan sorot mata jahil.
“Apa kau bertanya-tanya mengenai namaku? Mengapa nama keluargaku bukan Tanzawa?” tebaknya persis seperti apa yang sedang kupikirkan. Nada bicaranya terdengar ramah dengan senyum lebar di bibirnya. Matanya menatapku lurus yang terdiam lalu mengangguk ragu-ragu.
“Menjadi anak konglomerat tidak selamanya menyenangkan. Aku lebih senang berperan sebagai pemberontak dan meninggalkan nama itu. Biasanya hanya orang-orang keren dalam drama yang melakukannya.” ungkapnya santai sembari bersandar di kursi.
“Aah, begitu.” gumamku berpura-pura mengerti. “Lalu, kalian berdua ….”
“Dia datang dari Kanada untuk mencari Hana sepertiku. Hanya saja dia datang sangat terlambat.” sela Dika-kun dingin.
“Sudah kukatakan kalau aku … lupakan. Aku memang bersalah dalam hal ini.” ucap laki-laki itu dengan sifat ramah yang memudar. Melihat perubahan drastis dari raut wajahnya sontak menyadarkanku bahwa sikap riangnya sekedar topeng untuk menutupi perasaan yang pria itu coba sembunyikan.
“Apa yang terjadi?” tanyaku melihat seberapa besar penyesalan pria itu. Akira-san tersenyum lebar dengan mata tertuju padaku. Hanya saja kali ini aku bisa melihat kesedihan di balik tatapannya.
“Yudha-kun baru saja mengatakannya padamu, bukan. Jika aku datang dari Kanada. Alasan mengapa aku tidak segera pulang ke Jepang meski hal sebesar ini terjadi adalah karena aku tidak tahu.” Selama beberapa saat aku agak bingung dengan caranya memanggil Dika-kun. Aku baru sadar bahwa panggilan itu digunakan oleh orang-orang yang berkaitan dengan keluarganya. “Aku sama sekali tidak tahu bahwa Hana menghilang sejak musim semi yang lalu dan Kak Yuriko terbaring koma karena itu.”
“Apa tidak keterlaluan jika kau tidak mencurigai sesuatu saat tak ada kabar dari Jepang?” sahut Dika-kun cukup mengejutkan. Meskipun menurut perkiraanku usia Akira-san tidak terpaut sangat jauh dengan usia kami, Dika-kun dikenal dengan sikap sopannya. Terlebih dengan orang yang lebih tua. Melihatnya agak kasar dengan Akira-san membuatku bungkam.
“Kau bisa menyalahkanku selama yang kau mau, Yudha-kun. Tapi kau tahu itu bukan bagian terpentingnya, bukan?” ucap Akira-san tajam. Satu-satunya laki-laki yang memiliki tatapan tajam selain Dika-kun yang pernah kutemui.
“Kita lihat hal berguna yang kau punya, Oniisan.” kata Dika-kun yang langsung disambut tawa pelan Akira-san.
“Ah, masih meremehkanku ternyata. Kau pasti sangat jengkel karena kemampuanmu tidak berguna sama sekali. Melihatmu sekarang belum juga menemukan Hana….”
“Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian,” potongku yang otomatis menghentikan pertengkaran mereka berdua. Agak mengerikan melihat keduanya bisa saja melayangkan pukulan kapan saja. “Tapi Akira-san, seperti katamu hal terpentingnya bukan pertengkaran kalian, bukan? Dan Dika-kun, ada apa denganmu? Tidak biasanya kau seperti ini.” ucapanku membuat keduanya menarik nafas panjang, berusaha mengendalikan amarah masing-masing. Aku ikut lega melihat Dika-kun dan Akira-san tampak jauh lebih tenang. Saat menunggu keduanya memulai pembicaraan yang lebih kondusif, tanpa sengaja kulihat tas berkas transparan yang Akira-san letakkan di atas meja. Mataku menemukan sebuah artikel di tumpukkan file teratas yang membahas pembunuhan beruntun baru-baru ini. Akira-san menangkap gelagatku yang memperhatikan betul potongan koran tersebut.
“Yudha-kun, kau yakin tidak apa-apa membicarakan semuanya di depan gadis ini?” tanya Akira-san. Aku tahu laki-laki itu tidak bermaksud menyinggungku. Spontan saja kakiku segera berdiri. Ada sebersit perasaan mengerikan saat melihat artikel pembunuhan di koran yang Akira-san kumpulkan. Entah naluri atau apa, aku bergidik tanpa sebab yang kuketahui.
“Maafkan aku. Aku akan duduk di meja yang lain jika membuat kalian tidak nyam….” belum selesai aku berbicara, Dika-kun meraih tanganku dan menahanku untuk tidak pergi. Ia mendongak, membuat mata kami bertemu.
“Duduklah. Aku tidak peduli dengannya, aku membutuhkanmu di sini.” ujar Dika-kun menggenggam erat tanganku. Selama beberapa detik aku tertegun membeku. Sebuah perasaan menenangkan yang aneh menyelimutiku. Perlahan aku kembali duduk dengan canggung tak sanggup lagi memandang Dika-kun yang belum melepas genggamannya. Rasa takutku memudar dan tiba-tiba saja kusadari apa yang Dika-kun lakukan. Ia menoleh ke arahku sejenak yang menatapnya tak percaya lalu kembali memperhatikan Akira-san yang sedang mengeluarkan tumpukan berkas yang ia bawa. Aku tak peduli saat diam-diam Akira-san memperhatikanku yang mencoba melepas genggaman Dika-kun. Di otakku hanya ada kekhawatiran jika terjadi sesuatu pada Dika-kun karena mencoba menyerap perasaan negatif yang kurasakan baru saja.
“Tenanglah. Aku tidak akan kenapa-kenapa kalau cuma begini.” ucap Dika-kun santai sambil membaca serangkap berkas yang Akira-san berikan seolah tahu apa yang berpusar di kepalaku
“Dika-kun!”
“Hei, dasar kalian ini.” seru Akira-san tampak tidak tahan. “Aku sungguh-sungguh tidak sanggup melihat kalian berdua.” keluhannya sontak membuatku tersipu. Melihatku semakin tidak nyaman, Dika-kun mengendurkan genggamannya namun masih terlalu erat jika kutarik tanganku darinya. Kulihat ia menghadapku yang tengah sibuk memikirkan cara agar Dika-kun melepas tangannya.
“Perasaanmu akan memburuk jika kulepas.” kata Dika-kun pelan. “Percaya saja padaku.” nadanya terdengar lembut namun tak ada gurauan dari caranya menatapku. Giliran upayaku yang mengendur begitu – lagi-lagi – mata kami bertemu.