Punggungku membungkuk menyalami Akira-san yang berpamitan pergi saat kami sudah berada di luar kafe. Laki-laki itu menampilkan senyum ramah yang sama seperti di awal pertemuan tadi. Bersamaan dengan berlalunya Akira-san, ponsel Dika-kun berbunyi. Aku menoleh dan mendapatinya tengah berbicara dengan Paman Ito.
“Kuantar kau pulang.” kata Dika-kun setelah menutup teleponnya.
“Bukannya Paman Ito memintamu datang ke tokonya? Lebih baik kita pergi ke tokonya dulu saja.” balasku yang mendengarkan sekilas pembicaraan keduanya. Toko Paman Ito sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya berjarak satu pemberhentian kereta dari stasiun Akimori. Dari stasiun pun hanya tinggal menyeberang ke wilayah pertokoan selama lima menit.
“Itu bisa nanti. Hari ini kau sudah mengalami banyak hal. Dan Bibi bisa semakin khawatir kalau kau tidak kunjung pulang.”
“Kouda-chan?!” seru seseorang dari belakang. Seketika tubuhku memutar dan melihat Miyazaki-san bersama pegawai kedainya, Gotoda-san.
“Miyazaki-san!” ucapku terdengar terkejut menjumpainya. Kusalami ia dan Gotoda-san yang hanya diam dan mengangguk pelan membalas salamku. Kulihat Dika-kun ikut membungkuk pelan. Entah perasaanku saja atau laki-laki itu terlihat tidak antusias.
“Jadi kau sudah memutuskan memilih yang mana ya?” tanyanya sembari melirik ke Dika-kun. Aku mengernyit sebentar lalu heboh saat tahu ke arah mana pembicaraan pria yang tengah membawa sekantong bahan makanan itu.
“Bukan begitu Miyazaki-san. Kami kebetulan bertemu dan karena rumah kami searah, jadi kami sedang berada di perjalanan pulang bersama.” Rasanya ingin kututup mulutku yang berbicara tak terkendali. Menjelaskan sesuatu yang tak perlu ternyata rasanya semelelahkan ini.
“Tak perlu tersipu begitu. Aku hanya bergurau. Ngomong-ngomong, kita sama sekali belum pernah berkenalan.” Miyazaki-san beralih menatap Dika-kun yang bermuka datar.
“Maaf karena tidak sopan.” ucap Dika-kun dengan senyum tipis. “Kami berdua bertetangga dan sekolah di tempat yang sama. Namaku Dika. Chika mengatakan makanan di kedai Miyazaki-san sangat enak.”
“Itu semua berkat Gotoda-san yang memasak. Tanpanya kedaiku tidak akan sepopuler sekarang di kalangan siswa Akimori.” Miyazaki-san menjawab merendah. Siapapun tahu, meski yang memasak Gotoda-san, Miyazaki-san sendiri telah meracik sebagian besar menu yang dihidangkan di kedai. Walau Miyazaki-san memuji pegawainya, Gotoda-san tampak tidak bereaksi dan bahkan hanya diam mematung di tempatnya berdiri.
“Jika kalian bertemu secara kebetulan, Kouda-chan, kau sendiri dari mana? Kudengar banyak orangtua melarang anak perempuannya untuk berkeliaran sementara ini.” Miyazaki-san terheran.
“Ah, sebelumnya aku pergi dengan seorang teman dari sekolah lain. Dan mampir ke toko souvenir.” kuangkat tas kertas berisi novel dan kotak gelang Fumiko Hara di depan Miyazaki-san.
“Kouda-chan penggemar novelis itu rupanya?” kata Miyazaki-san yang nampaknya bisa mengintip isi tas yang kubawa. Mungkin karena tubuhnya yang jangkung.
“Kalau itu …,”
“Gotoda-san?” potong Dika-kun begitu melihat pegawai kedai itu mengernyit dengan tangan mencengkeram dadanya. Miyazaki-san langsung mengalihkan pandangan dan fokus pada Gotoda-san. Kantong belanjanya ia taruh di bawah selagi tangannya mencoba merangkul Gotoda-san. Aku yang ikut terkejut berusaha mendekat ikut menolong. Namun tiba-tiba pandanganku kabur dan kepalaku terasa sakit. Kakiku terhenti dan seluruh barang bawaanku terjatuh ke jalanan dengan suara berserak yang cukup keras. Bertepatan dengan itu sebuah angin berhembus pelan membelai wajahku.
“Kakak, matahari tidak terlalu terik, kan? Kubilang apa. Musim semi tidak boleh dilewatkan begitu saja.”
Sayup-sayup kudengar suara teriakan lain yang tak kutahu milik siapa. Gambaran seorang anak perempuan sembari menjulurkan setangkai kelopak bunga berwarna merah muda pada sosok yang tak asing. Aku sangat yakin, sosok itu adalah Dika-kun yang beberapa tahun lebih muda. Kudengar lagi sayup-sayup lain namun buyar begitu saja saat si gadis dengan kelopak bunga tadi berbicara dengan bahasa yang tak kukenal. Tapi anehnya, aku mengerti dengan apa yang ia katakan.
“Kurasa cuma Bang Dika yang pasang muka datar banget waktu lihat sakura mekar untuk pertama kalinya.”
Secepat kelebatan ingatan yang kulihat, kesadaranku kembali pulih. Namun tubuhku sudah jatuh lemas dengan Dika-kun merangkul memegangiku agar tak terantuk tanah. Wajah laki-laki itu tampak terkejut dan cemas bersamaan. Kali ini suaranya dan Miyazaki-san terdengar jelas. Laki-laki pemilik kedai itu terdengar menelepon ambulans.