Komorebi

Fitri F. Layla
Chapter #24

Rahasia

“Kenangan Hana?” tanyaku setengah berseru. Samar-samar ingatanku berada di bawah pohon sakura dengan kelopaknya yang berguguran. Sesosok anak laki-laki lain ada di sana. Tapi aku tak sanggup mengingat wajahnya. Aneh sekali, sepertinya aku tahu siapa sosok itu sebelumnya.

“Kau berbicara tentang musim semi. Dan aku yang tidak menyukainya.” balas Dika-kun serius.

“Benarkah?” seruku yang benar-benar tidak ingat. “Lalu apa yang kau lihat saat itu?” Dika-kun tak langsung menjawabnya dan terdiam beberapa lama.

“Suatu hari saat aku berkunjung ke Jepang, Hana bersikeras mengajakku melihat bunga sakura dan aku menolaknya karena lelah. Tapi, seperti biasa dia berhasil membawaku pergi. Mungkin aku akan menyesal jika benar-benar menolaknya. Kelopak sakura yang berguguran hari itu begitu indah, sampai sekarang aku tidak bisa melupakan momen itu. Kurasa bagi Hana kenangan itu juga meninggalkan kesan yang sangat kuat.” Dika-kun bercerita sembari memandang ke luar jendela. Tabir putih yang menutup separuh di sana memperlihatkan langit cerah berawan kebiruan. “Tapi, bagaimana bisa aku melihat kenangan itu di dirimu?” tanyanya yang sama tak tahunya denganku. Aku hanya bisa menggeleng pelan.

“Entahlah. Tidak mungkin kan kalau aku punya kemampuan super sepertimu.” gurauku berhasil membuat Dika-kun tersenyum.

“Kurasa kau masih menganggap kemampuanku seseru pahlawan-pahlawan heroik dalam film.”

“Dan aku tidak mengerti mengapa kau selalu menganggap kekuatanmu menakutkan. Selalu saja terkejut saat aku tidak menganggapnya demikian. Bisa jadi menakutkan sih, tapi kau bukan psikopat yang ingin menghancurkan dunia.”

“Kau ini kebanyakan menonton film.” sahutnya geli hingga mengeluarkan tawa kecil. Entah sejak kapan aku menyukai suara tawanya.

“Ngomong-ngomong, kau benar-benar tidak dimarahi Ibu?” tanyaku begitu melihat kembali tas yang Dika-kun bawa.

Laki-laki itu menimang sesaat, “Sedikit.” Jawabnya.

“Ibu bilang apa? Dia memarahimu seperti apa?”

“Mengapa kau bilang kalau kau yang telah memaksaku mengatakan semua hal yang kukatakan di telepon hari itu? Chika, aku memang salah. Aku sendiri yang mengajakmu bertemu dengan Kak Akira dan membuatmu kelelahan.”

“Tapi aku yakin bahwa penyebab aku jatuh pingsan bukan karena kelelahan, tapi….” Kata-kataku terhenti dan tidak bisa mengingat apa yang ingin kukatakan.

“Tapi apa?” desak Dika-kun, “Kuharap kau tidak perlu melakukannya lagi. Jika memang semua itu salahku aku akan bertanggung jawab penuh. Meski harus dimarahi habis-habisan sekalipun.

“Lalu bagaimana bisa kau yang akhirnya kemari membawa pakaianku, bukan Ibu? Dia benar-benar tidak marah lagi?”

“Tidak. Karena itulah aku merasa bersalah. Apalagi Bibi tampak kelelahan. Karena itulah aku menawarkan bantuan.”

“Dan membiarkanmu membolos begitu saja?! Ah, ini semua gara-gara aku hingga Ibu selelah itu. Jika tidak, dia tidak akan membiarkanmu membolos.” ucapku penuh sesal. Pasti Ibu sangat mengkhawatirkanku. Seketika diriku merasa berdosa mengingat kemarahanku karena sikap posesifnya. Bagaimanapun juga Ibu pernah kehilangan salah seorang anak. Pasti hal itu meninggalkan luka yang begitu dalam hingga ia bersikap seperti ini.

***

Sepulangnya Dika-kun, kuhabiskan waktuku dengan tidak melakukan apa-apa. sesekali kulihat ponsel untuk menjawab pesan dari Sayaka dan Harumi Senpai. Lalu sisanya aku hanya bisa melihat tayangan di televisi. Begitu matahari mulai menggelicir ke barat, kuputuskan untuk membeli sesuatu di kantin rumah sakit.

Kondisi rumah sakit agak ramai mengingat jam berkunjung dibuka. Aku hampir masuk ke dalam lift saat melihat dua orang yang sangat kukenal muncul dari dalam begitu pintu lift terbuka.

“Eri-san, Satoshi-kun?” seruku tertahan di depan lift. Mereka berdua tampak membawa sebuah buket bunga segar.

Lihat selengkapnya