Komorebi

Fitri F. Layla
Chapter #2

Tetangga Baru

Kuhembuskan nafas begitu sinar matahari sore mengenai tubuhku. Saat kakiku berhasil mendarat sempurna di halte yang baru di renovasi dua minggu yang lalu itu, kurasakan matahari belum sepenuhnya menurunkan kadar teriknya. Bus yang kutumpangi telah berlalu saat diriku masih bergeming di halte mencari ponsel yang bergetar sedari tadi.

"Ya, Bu. Sebentar lagi aku sampai,” ucapku ketika mengangkat telepon, “ada latihan di sekolah. Kan Ibu sudah tahu jika musim gugur nanti aku akan bertanding. Latihannya berjalan cukup lama.” sedikit terheran, kulanjutkan langkahku menyusuri jalan yang mengarah ke rumah. Aku diam saja mendengar ucapan Ibu di seberang yang masih menyuruhku bergegas pulang. Begitu selesai mengatakan semuanya, Ibu menutup telepon meninggalkanku yang meringis kewalahan mendengar perkataannya.

Setiba di belokan terakhir, nampak sebuah rumah pohon yang bertengger tak terawat di antara dua rumah berlantai dua. Sudah beberapa kali kuingatkan diriku sendiri untuk membersihkannya saat ada waktu luang. Namun bisa dilihat bahwa niatan itu tak pernah kulakukan.

“Chika, bagaimana sekolahmu?” tanya Paman Ito mengejutkanku. Pria tua lima puluhan tahun sekaligus tetangga sebelah rumahku itu tersenyum tipis diantara kumisnya yang memutih. Aku berhenti dan membungkuk ke arahnya seraya tersenyum membalas.

“Baik-baik saja, Paman. Bagaimana keadaan Paman. Kudengar dari Ibu, Paman sempat agak tidak sehat beberapa hari yang lalu.”

“Hanya keseleo ringan. Mau tidak mau manusia harus siap menua, bukan. Tulang dan persendian Paman tidak sebugar dulu.”

“Itulah sebabnya Paman harus mencari seseorang untuk membantu Paman mengerjakan pekerjaan rumah.” sahutku yang disambut tawa ringan lelaki yang hidup sendiri selepas kepergian istrinya tujuh tahun yang lalu itu.

“Setidaknya sekarang Paman tidak sendirian.” kata Paman yang berhenti tepat di depan rumahnya. Aku ikut berhenti dan melihat seorang laki-laki berdiri tepat di depan pintu rumah Paman Ito dengan dua koper besar di sampingnya.

“Ada pertukaran pelajar lagi, ya?” aku bertanya tidak terkejut. Rumah Paman Ito memang sering digunakan tempat tinggal siswa program pertukaran pelajar dari luar negeri. Setidaknya itu bisa membantu Paman mengurangi rasa kesepiannya.

“Bukan. Dia penyewa kamar yang kutawarkan di internet bulan lalu.” jelas Paman membuatku ber-oh panjang. Sekilas kulihat sosok lelaki itu dari samping. Kulitnya kecokelatan dengan potongan rambut rapi. Pakaiannya kasual, kaos putih yang ia pakai dilapis dengan kemeja kotak-kotak biru yang sengaja tidak ia kancingkan. Mungkin karena bahannya yang ringan, kemeja itu berkibar pelan saat angin meniup lembut. Selama sesaat mengamati wajah asing yang akan menjadi tetangga baruku itu, aku tersentak begitu ingat Ibu yang memburuku pulang.

Lihat selengkapnya