Komorebi

Fitri F. Layla
Chapter #3

Kikuk

Jemariku mengetuk-ngetuk tas saat merasa bus yang kutunggu cukup lama tak kunjung datang. Udara hangat di musim panas kali ini berhasil membuat kelopak mataku nyaris terkatup yang jenuh menunggu. Ditambah karena terlalu asyik menonton film hingga tengah malam, kantuknya semakin tak tertahankan.

“Kau gadis yang tinggal di rumah sebelah, bukan?” ucap seseorang berhasil mengejutkanku. Bahkan kuyakin jika sedikit saja lebih keras suara yang kudengar, aku mampu melompat saking kagetnya.

 “Ah. Mmhhh… iya.” jawabku belum sadar sepenuhnya. Mataku mnegerjap-ngerjap mencoba mengumpulkan kembali kesadaran. Begitu kurasa benar-benar terjaga, wajahku seketika memerah mendapati laki-laki yang samar kuingat wajahnya itu tersenyum melihat tingkahku.

“Bibi yang kemarin membawa banyak makanan, kau putrinya?” tanyanya kemudian.

“I…iya.” balasku mengangguk. “Ah, bisnya datang!” aku berseru sambil bangkit dengan gerakan cepat yang tak wajar. Tanpa melihat ke arah laki-laki penghuni baru rumah sebelah, aku langsung naik ke atas bus tanpa menengok ke belakang. Yang tak kuketahui, anak laki-laki itu juga mengikutiku dari belakang dan berdiri di samping tempat aku duduk. Saat itulah kusadari ia mengenakan seragam yang sama dengan seragam yang kupakai. Dasar bodoh. Ini semua karena aku kurang tidur dan tidak fokus sepanjang pagi. Selama perjalanan kami berdua tidak berbicara sama sekali. aku terlalu malu untuk membuka pembicaraan mengingat kejadian tadi. Tapi apakah baik-baik saja jika hanya diam seperi ini? Apakah terlalu kasar jika kudiamkan ketika ia sudah membantu keluargaku kemarin?

Setibanya di halte depan sekolah, aku bergegas turun bersama dengan beberapa siswa yang satu bus bersamaku. Anak laki-laki tetangga sebelah sudah terlebih dahulu turun. Aku langsung berjalan menyusulnya karena rasa tak enak hati yang menyelimutiku.

“Hmmm… untuk kemarin terima kasih banyak sudah membantu keluargaku.” kataku ketika berhasil mengejarnya. Anak laki-laki itu berhenti sejenak dan menatapku selama beberapa detik.

“Jangan sungkan,” ucapnya tersenyum, “aku melakukannya karena kebetulan membaca alamat di kartu pengenal Bibi dan sadar jika kami tinggal di daerah yang sama.”

“Ah, begitu.”

“Justru aku sangat berterima kasih dengannya karena sudah membawakan makanan yang sangat enak.” lanjutnya sopan. “Aku akan ke kantor guru terlebih dahulu. Kuharap kita juga bisa berada di satu kelas, Chika-san.”

“Ehm. Baiklah.” sahutku mengangguk. Begitu ia pergi, aku terhenti sejenak dan menyadari sesuatu. “Bagaimana dia tahu namaku. Apa Ibu yang bilang?”

“CHIKAAAAA!!!” teriak sebuah suara dari belakang. Suara heboh yang sangat familiar itu semakin dekat. Tak lama, sebuah tangan merangkulku diikuti seruan-seruan lainnya.

“Coba tebak hal baik apa yang kualami semalam.”

“Sayaka, pelankan sedikit suaramu.”

“Ayolah tebak hal apa itu.” rengeknya aneh. Sayaka, meskipun penampilannya terlihat feminim, sebetulnya dia anak perempuan yang memiliki jiwa sekuat laki-laki. Tipe perempuan tangguh yang hanya bisa ditemui di karakter anime. Melihatnya bertingkah manja seperti ini membuatku terheran. Sedikit ngeri tepatnya.

“Kau menang lotere?” tebakku asal. Sayaka merengut melihatku tak mampu menebak hal bahagia yang sedang ia rasakan. Dengan separuh bersungut-sungut ia membisikkan sesuatu ke telingaku yang mampu membuatku terbelalak saking terkejutnya.

“KAU BERPACARAN DENGAN HEIJI WADA?!!”

“Ya ampun, Chika. Pelankan suaramu.” ucapnya sambil membekap mulutku. Meskipun ia menyuruhku memelankan suara, Sayaka nampak tak begitu terusik saat orang-orang melihat ke arahnya.

“Heiji Wada, yang satu klub denganku itu, bukan?”

“Bingo!”

“Sungguh? Kau sudah lama menyukainya, kan?” Sayaka mengangguk. “Pasti senang sekali sekarang kalian bisa berpacaran.” ujarku saat sampai di ujung lorong dan menaiki anak tangga satu persatu.

“Kurasa sekarang bukanlah musim panas. Karena semua hal di sekitarku seperti rimbunan bunga yang baru mekar setelah musim dingin panjang.”

“Astaga yang benar saja.” sahutku sambil tertawa. Sayaka yang masih mengapit lenganku di tangannya ikut tertawa.

“Aneh sekali, bukan. Itulah kekuatan cinta.”

“Sayaka, hentikan.” Protesku semakin merinding mendengar ucapannya. Sayaka masih tertawa-tawa sengaja menggodaku.

“Tapi, siapa laki-laki super keren yang berjalan bersamamu tadi?” tanya Sayaka tiba-tiba mengubah topik.

“Hm? Siapa maksudmu?”

“Jangan pura-pura tidak tahu. Satu sekolah memperhatikannya sejak masuk gerbang. Aku sampai luar biasa terkejut saat melihatmu mengobrol dengannya.”

“Ah, dia. Sebetulnya aku tidak mengenalnya.” jawabku santai tepat sebelum masuk kedalam kelas.

“Haaah?” Sayaka bingung sekaligus kecewa dengan jawabanku. Aku tidak berbohong juga, kan. Toh memang aku tidak mengenalnya.

“Ohayooou.” Seruku saat masuk kelas. Teman-teman membalas sapaanku sambil sibuk mengerjakan aktifitas masing-masing. Kutaruh tasku di bangku kedua dari belakang dan menatap bangku kosong sebelahku.

“Kurasa ini sudah dua bulan sejak Rin-chan tidak masuk sekolah.” gumamku.

“Kata Sensei dia sedang sakit, bukan.”

“Apa tidak apa-apa jika kita tidak menjenguknya?” tanyaku. Rin Ogawa, penghuni bangku kosong yang tepat berada di sebelah bangkuku itu adalah sosok anak manis yang cukup pendiam. Tidak banyak yang tahu tentang latar belakangnya, tapi sempat ada kabar jika dirinya berasal dari keluarga yang cukup kaya. Rin-chan cukup tertutup dengan orang-orang. Tapi, selama duduk di sebelah bangkunya, ia memiliki kepribadian yang sangat baik dan kerap tersenyum ke arahku.

Lihat selengkapnya