Jujur saja otakku sedang mengalami kesulitan fokus sejak kemarin sore. Percakapanku bersama Dika-kun sepulang sekolah saat itu berhasil menyita ruang yang sangat besar di kepalaku. Begitu Dika-kun mengatakan bahwa gadis yang tengah ia cari adalah adik perempuannya, aku membatu. Tak sepatah kata pun sanggup kuucapkan. Hanya senyum kecil ganjil Dika-kun yang muncul sembari menatap dalam-dalam padaku. Pembicaraan kami berhenti sampai situ dan Dika-kun berlalu masuk menuju rumah Paman Ito. Waktu itu butuh waktu agak lama hingga akhirnya kuputuskan pulang.
Esoknya, sepanjang perjalanan ke sekolah, kami tak saling bicara. Hanya senyum kecil yang kutunjukkan saat bertemu dengannya di halte. Dika-kun membalasnya dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. Aku bertanya-tanya apakah dia menungguku bereaksi atau semacamnya seusai ia mengatakan tujuannya kemari. Seperti yang kuduga, Dika-kun memang memiliki tujuan tertentu untuk datang ke Jepang dan itu mengenai keberadaan adik perempuannya. Namun yang membuatku benar-benar tak mengerti, bukan itu penyebab aku masih syok dan enggan menanyakan hal lebih pada laki-laki yang tinggal di sebelah rumahku itu. Nada bicara yang ia gunakan dan rautnya ketika itu sungguh membingungkan. Raut yang hanya diperlihatkan ketika seseorang tengah kehilangan.
“Chika!!” teriak Harumi-Senpai bersamaan dengan anggota klub karate lainnya. Sepersekian detik aku masih bingung dan terkejut. “Ayo maju! Sekarang giliranmu.” seru Senpai lagi yang membuatku sadar dan kembali dari dunia angan. Pertandingan sekaligus latihan gabungan antara klub karate dan klub kendo tengah berlangsung. Arena yang kami tempati hari ini cukup ramai dengan penonton. Mungkin karena kabar latihan gabungan sekaligus pertandingan silang yang kedua klub adakan menyebar ke penjuru sekolah. Ternyata banyak yang tertarik dengan pertandingan tak lazim yang kami adakan.
Sejauh ini kulihat belum ada satu pun anggota klub karate yang berhasil mengalahkan klub kendo. Semuanya dikarenakan kebanyakan anggota klub belum siap menghadapi lawan bertarung yang menggunakan senjata. Sudah kubilang ini bukanlah pertandingan yang adil. Meskipun dalam konteks ini, pemain dari klub kendo melepas berbagai macam pelindung mereka seperti MEN dan KOTE. Yang tersisa hanya DO, pelindung badan yang terpasang di tubuh.
“CHIKAAA BERJUANGLAAAAH!!!” kali ini yang berteriak adalah Sayaka. Ia berdiri di kursi penonton sambil melambai ke arahku penuh semangat. Aku maju dan bersiap di dalam arena bertarung. Disana, Seika Kazawa Senpai, ketua klub kendo, tengah menyiapkan posisi. Sikap tubuhnya sempurna dan pedang kayunya terhunus tepat mengarah padaku. Meski aku tahu bahwa klub kendo diuntungkan, aku tidak ingin menyerah begitu saja.
Tidak mudah menghalau ayunan pedang kayu Kazawa Senpai ataupun menangkisnya begitu pertadingan di mulai. Menyandang posisi ketua klub kendo di pundaknya bukan semata karena dirinya seorang senior dalam klub. Tapi penunjukkannya juga mencerminkan kemampuan Senpai dalam menguasai kendo. Terus-terusan bertahan seperti ini tidak akan bisa mengakhiri pertandingan. Jadi kuputuskan menggunakan tendangan berputar yang super cepat. tendangan yang kupelajari dari Saki Sensei, pelatih kami, dan berusaha melepas pedang kayu Senpai dari genggamannya.
Sorakan ramai terdengar begitu rencanaku berhasil dan kuakhiri pertandingan dengan pukulan lurus mengenai dada Kazawa Senpai yang terlindung DO. Tidak keras, tapi mampu membuat Senpai limbung dan jatuh. Setelah membungkuk hormat dan dinyatakan menang, kuulurkan tangan membantu Kazawa Senpai bangun. Ia tersenyum lebar meraih uluran tanganku.
“Harumi pernah bilang kalau kemampuan karatemu luar biasa. Ternyata ucapannya bukan omong kosong.” katanya saat merangkul pundakku. Ia ikut bersorak ke penonton meskipun sudah kukalahkan.
“Tentu saja aku tidak membual.” timpal Harumi Senpai yang menyela kami.
“Mana bisa aku percaya kalau kau tidak melebih-lebihkan jika hampir setiap hari dirimu bercerita….hmmmpphhh…” Harumi Senpai langsung mendorong Kazawa Senpai dan membekap mulutnya. Aku yang tidak mengerti dan tidak begitu jelas mendengar pembicaraan mereka hanya ikut-ikutan tertawa melihat tingklah keduanya. Itu bukan pertama kali kulihat Harumi Senpai berseteru dengan Kazawa Senpai. Seluruh sekolah tahu hubungan akrab antar sepupu itu sudah terjalin sejak keduanya masih balita. Ditambah lagi, mereka berdua berada di kelas yang sama. Nampaknya pertengkaran-pertengkaran mereka tidak akan berhenti sampai kelulusan tiba.
“Jangan dengarkan ucapannya.” kata Harumi Senpai terengah-engah usai saling piting dengan sepupu perempuannya itu. Aku hanya bisa memamerkan senyum paksa dan mengangguk meski sebenarnya sama sekali tak mengerti dengan apa yang Kazawa Senpai katakan.
Tiga puluh menit kemudian serangkaian pertandingan berakhir. Harumi Senpai dan Kazawa Senpai berdiri di hadapan kami semua dan membicarakan tujuan pertandingan ini diadakan. Dari makna kebersamaan sampai penilaian kemampuan. Selanjutnya aku tidak mendengarkan ucapan Senpai dan hanyut menatap lantai hingga latihan dibubarkan.
***