Komorebi

Fitri F. Layla
Chapter #5

Keraguan

Kuambil nafas panjang dan meletakkan kepala ke atas meja. Entah sudah berapa kali kuhela nafas mencoba menetralisir kegelisahan yang semalaman mengusikku. Tak bisa kuelakkan, meski ucapan Dika-kun seratus persen sangat aneh, aku tak sepenuhnya sanggup mengabaikannya. Belum lagi sikapku kemarin. Astaga, kenapa aku harus terpancing emosi hanya karena masalah sepele? 

“Ya ampun, aku harus bagaimana saat bertemu dengannya?” ratapku seraya membenturkan kepala ke pinggiran meja. Selagi belum ada satu pun anak yang masuk kelas, aku masih mengeluh dengan tangan meremas-remas rambut. Kumiringkan kepala yang masih terkulai di meja dan memandang keluar melalui jendela kelas. Langit belum menampakkan semburat cahaya matahri. Hanya terang temaram saat awan-awan kelabu bergelombang menebal lalu mulai menjatuhkan rintik-rintik gerimis. 

“Besok, saat gerimis turun, ketika matahari nyaris terbenam, kau terlempar ke tengah jalan bersamaan dengan sebuah mobil yang melaju kencang ke arahmu.” 

Kugeleng-gelengkan kepala kuat-kuat ketika suara Dika-kun bergema kembali di telingaku. Sebenarnya apa yang sedang ia bicarakan, sih? Dia melihatklu tertabrak atau apa? 

“Tunggu! Kau ini bicara apa? bagaimana bisa dia melihat sesuatu yang belum terjadi?” aku menceracau sambil menepuk mulut berkali-kali. 

Lagi-lagi kuambil nafas panjang, menghirupnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kucoba menormalkan kembali kekacauan yang terjadi di kepalaku. Aku benci dengan otakku yang tak ingin berhenti memikirkannya. Aku benci dengan jantungku yang tak kunjung mereda berdetak kencang. Bahkan aku benci dengan cuaca di luar. Dari sekian banyak hari, kenapa harus hari ini hujan turun. 

“Rileeeeeks…” aku bergumam masih mengatur nafas. Selang kemudian mulai kudengar derap kaki dari lorong dan perlahan suasana sekolah kian ramai. Satu persatu teman-teman tiba di kelas dan nyaris semua terkejut melihatku. Mungkin karena selama ini aku selalu datang tak lama sebelum bel masuk berbunyi. 

“Chika, kau sudah datang?” sambut Sayaka begitu melihatku. Satu sisi pundaknya basah kuyup terguyur hujan. Mungkin payungnya tak cukup besar untuk melindungi dirinya dan Heiji bersama. Di luar, kulihat gerimis sudah berubah menjadi hujan lebat. Banyak anak yang mengeluh basah sekujur tubuh saat tiba di kelas.

“Sayaka, kalau aku bilang bisa mengetahui masa depan, dan semalam kulihat hujan deras pagi ini, kau percaya?” 

Sayaka tersenyum menatapku. Kemudian ia ulurkan kedua tangannya meraih kedua pipiku lalu mencubitnya. “Kau menonton film aneh lagi, ya?” 

Kau percaya, tidak?”

“Memangnya ada yang percaya?” sahut Sayaka berdecak. Tepat setelah itu kudengar suara ramai dari luar kelas dan mataku otomatis tertuju ke arah pintu dimana Dika-kun muncul. Hari ketiga ia disini belum sanggup membuat anak perempuan terbiasa dengan penampilannya. Kulihat seragamnya tidak sebasah anak-anak lain. Mungkin ia berjalan tanpa menghiraukan bisik-bisik kagum anak perempuan di sekitarnya. Bahkan ia sempat menyisir rambut hitamnya dengan jari yang berujung menambah tingkat pesona yang ia miliki. Sedetik kulihat ia melirik ke arahku, spontan kualihkan pandanganku ke jendela. 

“Kalian tidak berangkat bersama?” tanya Sayaka heran. Kusilangkan jari telunjuk ke depan mulut, memberinya isyarat untuk tidak membicarakan hal itu. Tapi bukan Sayaka namanya jika tidak mendapat jawaban yang memuaskan. 

“Kalian bertengkar?” bisiknya saat menyadari tingkah aneh yang kulakukan. Namun setelah beberapa detik Sayaka mengatakannya, aku sadar bahwa tidak hanya tingkahku yang aneh. Dika-kun juga terlihat lebih aneh. Tak ada senyum ramah yang ia tunjukkan saat menyapa teman-teman. Aku yakin jika seluruh penghuni kelas merasakan atmosfer lain sesaat dirinya datang. Suasana mencekam yang mampu membuat bulu kuduk berdiri. Bahkan bisik-bisik anak perempuan yang mengidolakannya pun berangsur reda hingga hening tercipta. 

“Chika, kemarin kau bilang ingin kutraktir, bukan? Bagaimana jika sepulang sekolah nanti kita main sebentar.” kata Sayaka saat hening aneh yang muncul beberapa saat lalu mulai mencair. 

“Siapapun, jika ada orang yang mengajakmu pergi sepulang sekolah, tolak saja. Kau harus pulang bersamaku.” suara itu terdengar lagi. 

Lihat selengkapnya