Komorebi

Fitri F. Layla
Chapter #6

Rasa Bersalah & Sesuatu yang Mengusik

Aku terbangun di sebuah ruangan yang tidak kukenal. Langit-langitnya berwarna putih, membuat mataku yang belum terbiasa menangkapnya terlalu terang. Tanganku bergerak otomatis mencoba menghalau silau yang dihasilkan dari sinar matahari yang menembus masuk ke dalam ruangan dan mengenai dinding putihnya. Namun seketika itu, kurasakan kebas aneh menjalar di sepanjang lenganku. Masih dengan mata menyipit kucoba mencari penyebabnya dan kulihat jarum infus tertancap tepat di atas pergelangan tangan. Aku mendesah dan mulai mengingat hal-hal yang terjadi. Sepertinya aku jatuh tak sadarkan diri saat Dika-kun masih ditangani oleh dokter. Samar-samar kuingat seruan Ibu ketika badanku melemas dan merosot jatuh kala itu. Kucoba mengamati sekeliling namun tak menemukan siapapun di dalam kamar yang kutempati.

“Kau sudah bangun?!” seru suara yang muncul dari sebuah ruang kecil di pojok dekat pintu. Sayaka bergegas menghampiriku dengan mata membulat. “Kau baik-baik saja? Ada yang terasa sakit, tidak? Tunggu sebentar, oke? Akan kupanggilkan dokter untukmu.” cerocosnya yang belum sanggup kutanggapi. Secepat kilat ia keluar dan kembali bersama dengan dua orang tak kukenal. Seorang di antaranya mencoba berbicara dan menanyakan beberapa hal padaku. Namun setelah menjawab sekenanya, aku kembali jatuh dalam lorong hitam panjang dan kembali tertidur. 

***

“Kau membuatku hampir mati.” ujar Sayaka dengan mimik khawatir. Aku tersenyum dan meraih tangannya setelah betul-betul terbangun dua jam kemudian. “Seharusnya aku memang tidak membiarkanmu sendirian waktu itu.”

“Itu bukan salahmu.” Aku membalas dengan jawaban yang sama entah keberapa kalinya. Sayaka terus menerus menyalahkan dirinya dan aku hanya sanggup menenangkannya dengan memberi jawaban serupa.

“Sayaka, dimana orangtuaku?” tanyaku setelah beberapa saat. 

“Aku dan Keita memaksa mereka pulang. Semalaman Paman dan Bibi menjagamu dan tidak tidur sama sekali. Keita menyuruh mereka beristirahat.” jelas Sayaka sambil menyuapiku potongan apel manis yang ia bawa.

“Kau tidak berangkat sekolah?” sekali lagi aku bertanya setelah menyadari bahwa seharusnya Sayaka berada di sekolah saat ini. Kulihat jarum jam belum menunjuk ke waktu jam pulang.

“Aku membolos setelah dua jam pelajaran. Kepalaku nyaris meledak ketika seisi sekolah menanyakan tentangmu dan Dika-kun kepadaku. PPD juga nampaknya masih syok mendengar kabar kecelakaan yang Dika-kun alami.”

“PPD?”

Sayaka tertawa pelan, “Perkumpulan Penggemar Dika-san. mereka tidak bercanda saat membuat komunitas itu kurasa.” 

“Bagaimana keadaan Dika-kun?” tanyaku dengan nada lirih. Sayaka menoleh memperhatikanku dan menyadari perubahan pada raut wajahku yang seketika muram. 

“Kudengar pendarahannya cukup parah. Tapi kata dokter, Dika-kun sudah melewati masa kritisnya. Jadi, jangan terlalu mengkhawatirkannya. Kau harus fokus pada pemulihanmu juga.” Sayaka menyuapiku sepotong apel lagi namun kali ini aku menggeleng menolaknya. Meski Sayaka menyuruhku tidak mengkhawatirkannya, aku ragu bisa menurut. Apapun yang menimpa Dika-kun sekarang berawal karena aku tak mengindahkan ucapannya. 

“Aku tidak tahu apakah ini sebuah kesialan atau keberuntungan, tapi untung saja Dika-kun ada di sana menyelamatkanmu. Setelah kulihat rekaman CCTV kecelakaan kalian di berita malam, seandainya Dika-kun tidak ada di sana…” kulihat Sayaka yang memilih tidak melanjutkan uacapannya. “Sepertinya ucapanku agak keterlaluan.” Ia meringis menyesal dan mengalihkan pandangan. Aku mengerti dengan yang Sayaka katakan. Membayangkan Dika-kun tak ada di sana membuatku bergidik. Bayangan mobil yang melaju kencang tepat di depan mataku saat itu masih terasa sangat nyata. Namun memikirkan Dika-kun mengalami luka parah karena menolongku pun membuat jantungku serasa lepas dari tempatnya. 

“Ini semua salahku.” aku bergumam lebih pada diriku sendiri. 

“Bagaimana itu bisa menjadi kesalahanmu?” sahut Sayaka yang mendengarku. “Jangan banyak berpikir, semuanya akan baik-baik saja. Oh, Keita-kun kau sudah kembali.” 

“Kau sudah makan siang?” aku bertanya begitu melihat Keita muncul seraya membawa dua bungkus plastik di tangannya. 

Lihat selengkapnya