Tentu saja aku tak beranjak sama sekali. Kuhabiskan dua hari masa pemulihanku untuk menyiapkan diri menghadapinya. Masih dengan sirat mata tak percaya saat melihatku bergeming, Dika-kun menghela nafas panjang seolah ia pun juga sedang menyiapkan diri untuk menjelaskan semuanya padaku.
“Terkadang, aku mengetahui hal-hal yang belum terjadi. Aku juga mampu melihat sekelebat kehidupan orang lain dan masa lalu yang pernah dialaminya. Merasakan energi orang-orang yang berdiri di sekitarku, dan bahkan secara tidak sengaja bisa memanipulasi perasaan mereka.”
Mataku membulat tak mampu menyembunyikan keterkejutanku. Sedangkan mulutku terkunci rapat. Meskipun diam-diam aku bersyukur tubuhku tak bereaksi berlebihan seperti tiba-tiba beringsut menjauh atau bahkan terjengkang dari kursi. Tapi yang menarik, kuperhatikan Dika-kun membuang muka. Kali ini gilirannya yang menghindari mataku dengan tangan yang bergerak menutupi separuh wajahnya.
“Kau pasti menganggapku orang aneh.” ujarnya tanpa melihat padaku. Butuh waktu beberapa detik saat aku baru mengerti penyebab ia memalingkan muka. Mungkin, bagi beberapa orang ucapannya terdengar sangat tidak masuk akal. Situasinya nyaris sama saat bertemu dengan para otaku yang mengaku memiliki kekuatan super dan bisa mengeluarkan kilat merah serta setruman listrik dari matanya. Tanpa bisa kutahan, tawaku pecah. Bahkan ketika pelupuk mataku masih terasa basah sisa tetesan air mata yang sempat tak terbendung.
Dika-kun akhirnya kembali memandangku saat aku membalasnya. “Kau sangat sangat sangat aneh, Dika-kun.” ucapku tanpa menghakimi. Jika bukan karena aku sendiri menjadi saksi hal ajaib yang Dika-kun miliki, mungkin sama halnya dengan kebanyakan orang, aku akan menuduh Dika-kun sebagai pengarang cerita amatiran.
“Tapi aku tidak ingin menyangkal bahwa semua itu tidak menakutkan.” tambahku di sela hujaman tatapan yang Dika-kun tunjukkan. Mungkin dia masih belum percaya bahwa aku tak juga lari dari ruangannya. Begitu kurasa ia terdiam cukup lama, mungkin dirinya tengah mencerna tingkahku, kuperhatikan dia yang akhirnya menghembuskan nafas dengan sebaris senyum kecil membingkai di bibirnya.
“Itu jawaban paling jujur yang pernah kuterima. Dan untuk beberapa alasan, justru aku sangat senang mendengarnya.” kata laki-laki yang nampak menerawang seolah-olah tatapannya mampu menembus langit-langit dan melihat sesuatu di baliknya. “Nyaris semua orang memilih menjauh dariku. Bahkan sebelum mereka tahu kemampuan yang kumiliki. Kakek, Nenek dan kerabat dari Ayahku tidak pernah menganggap aku ada. Bahkan Ayahku sendiri pernah mencoba membuangku.”
“Bagaimana dengan keluarga ibumu?” kuperhatikan Dika-kun berpikir sejenak sebelum menjawab.
“Aku tidak pernah tahu siapa ibuku. Yang jelas keluarga ayahku membencinya.”
“Tapi hubunganmu dengan adik perempuanmu sepertinya baik-baik saja.” sahutku yang dibalas tawa lirih.
“Aku pun tidak pernah menyangka bahwa kami memiliki hubungan yang sangat baik. Bagaimanapun juga, keberadaanku adalah kunci kehancuran keluarganya.” ujarnya yang berhasil membuatku bingung. Kulihat Dika-kun meraih ponselnya di atas nakas dan membuka sesuatu. Begitu menemukan yang ia cari, diulurkannya ponsel itu padaku dan kulihat sebuah foto seorang gadis Jepang terpampang di layarnya. Gadis itu tersenyum sangat manis, dengan tangan menggenggam setangkai bunga matahari. Rambut panjangnya dikepang pada satu sisi dan diikat dengan pita merah muda.
"Aku dan Hana adalah saudara seayah. Ibunya seorang wanita Jepang yang menikah dengan Ayah dua puluh lima tahun yang lalu. Sedangkan aku anak dari hubungan gelapnya bersama wanita lain.” Dika-kun berhenti sembari melirik padaku yang cukup terkejut mendengar ceritanya. ia tersenyum tipis, meski matanya tidak mencerminkan senyuman sama sekali. “Pernikahannya hancur saat istri sahnya, Ibu Hana, mengetahui perselingkuhan yang Ayah lakukan setahun setelah aku dilahirkan. Seketika ia mengajukan gugatan cerai meskipun saat itu dirinya tengah mengandung Hana.”
Kulihat Dika-kun terdiam selama beberapa saat sebelum melanjutkan becerita. Ia memandangku sejenak, nampak memastikan lagi jika saja aku berniat mengubah pemikiran lalu pergi meninggalkannya. Tentu saja aku masih tak beranjak dan menunggunya kembali bercerita. Mataku tak sedetik pun berpaling dari wajahnya yang pucat ketika sebuah senyum kecil ironi muncul dari bibirnya.
“Setelah mereka resmi bercerai dan meninggalkan Ibuku, tentu saja meninggalkanku juga, Ayah kembali ke Indonesia tanpa mengetahui bahwa Ibu memutuskan mengakhiri hidupnya saat usiaku baru menginjak satu tahun. Orang-orang mengatakan Ibu mengalami syok hebat setelah Ayah meninggalkannya dan berakhir membunuh dirinya sendiri.”
“Beruntungnya, aku tak dibuang di panti asuhan atau semacamnya. Seorang pelayan ditugaskan untuk merawatku sampai sekarang. Setidaknya aku tak perlu hidup bersama keluarga Ayah. Aku tak bisa membayangkan betapa mengerikannya hidup di rumah itu.” ucap Dika-kun setengah berbisik saat mengucapkan kalimat terakhir. Matanya menerawang ke arah jendela dengan tatapan kosong. Aku tak mengerti apa maksudnya, tapi kurasa hubungannya dengan keluarga ayahnya tak begitu baik.
“Dan bagaimana kau bertemu dengan Hana?” tanyaku yang berusaha tak mengungkit kisah tentang ibunya.
“Kami bertemu di upacara pemakaman Ayah empat tahun yang lalu,” jawab Dika-kun langsung, “Sejak itu kami saling mengintip kehidupan masing-masing.”