Komplotan Tidak Takut Hantu

Mohamad Novianto
Chapter #30

Bab 29 : Ruang Penyimpanan Matras yang Penuh Belatung

Malam ini Ari duduk di depan meja belajarnya. Tapi dia tidak sedang belajar karena besok libur. Setelah terima rapot, sekolah diliburkan selama seminggu. Hampir satu jam, Ari serius memandangi foto yang diberikan Nara tadi siang. Foto yang diambil ibu Nara 30 tahun yang lalu. Foto gambar denah sekolah Ari yang sudah tua dari jaman Belanda. Ada beberapa foto yang diberikan Nara. Satu foto menunjukkan keterangan di bawah denah tertulis tahun 1936. Yang menjadi perhatian Ari adalah foto bagian denah yang menunjukkan ruang bawah tanah. Ari tahu karena di balik foto itu ada tulisan ibu Nara : RUANG BAWAH TANAH. Ada gambar empat persegi panjang yang menunjukkan ruang bawah tanah itu. Di tengahnya ada keterangan bahasa Belanda : Der kelder. Ruang itu sekarang sudah jadi laboratorium komputer. Ada dua garis panjang yang terhubung ke ruang bawah tanah. Ari yakin itu adalah lorong yang di salinan denah sekarang sudah dihapus. Lorong itu sekarang ditutup. Ari membayangkan lorong itu terhubung ke salah satu dinding yang sekarang dipakai untuk menggantung papan tulis. Dari sanalah hantu kaki kuda dan gerombolannya waktu itu keluar. Tapi benar apa kata Toha, lorong itu sudah diamankan oleh orang-orang berbaju putih. Lorong itu tergambar panjang sampai batas kertas gambar. Kalau melihat tanda mata angin dia mengarah ke utara. Ari mulai memincingkan matanya. Karena ada garis yang agak kabur yang terhubung dengan lorong. Garis itu seperti gambar lorong lain, tapi dia mengarah ke barat. Tapi Ari tidak yakin karena garis itu agak kabur dan gambar itu terlalu kecil di foto ukuran postcard. Ari pun menghubungi nomor Nara.

“Halo Ra, belom tidur lo?” kata Ari setelah tersambung dengan Nara.

“Belom, lagi baca-baca aja. Kenapa Ri?” tanya Nara di ponsel Ari.

“Ra, kamu ada scanner nggak?”

“Ada, di ruang kerja mama.”

“Ra, gue barusan lihat di foto mama kamu, kayaknya ada lorong lain deh di gambar denahnya.”

“Beneran lo?”

“Makanya kalau nanti discan, kan bisa diperbesar di komputer.”

“Ya udah, kapan kamu ke sini buat scan?”

“Besok paling. Ntar aku bawa foto-foto mama kamu.”

“Ajak juga Toha sama Wira.”

“Iya, ntar kukabarin mereka.”

Esok harinya, Ari, Toha, Wira dan Nara sudah berkumpul di ruang kerja ibu Nara. Kebetulan ibu Nara masih ada di Amerika. Mereka sudah scan foto ibu Nara yang ada gambar denah ruang bawah tanah. Lalu mereka lihat gambar itu di komputer. Nara mulai perbesar gambar itu sampai beberapa kali.

“Nih, lihat nggak?” kata Ari menunjukkan ke teman-temannya. Gambar yang dia kira ada lorong lain kini terlihat jelas. “Ada lorong lain yang mengarah ke sini.”

“Emang itu gambar lorong?” tanya Toha.

“Iya, karena dia masih terhubung sama lorong yang satunya dan lebarnya dua-duanya sama,” kata Ari mempertahankan pendapatnya.

“Jadi lorong itu bercabang ya,” desis Nara.

“Kalau yang satu arahnya ke basement, yang ini kemana?” Wira memunculkan pertanyaan.

“Coba kita lihat,” kata Nara sambil menggeser gambar di komputer dengan mousenya. “Tuh, dia ujungnya ada di sini!”

“Kalau ujungnya di situ, berarti dia ada di… “ Wira mencoba mengkira-kira posisi ujung gambar lorong itu.

“Itu kan aula,” cetus Ari.

“Iya, ini Aula,” kata Nara menunjuk gambar denah besar dengan keterangan bahasa Belanda : De Hal.

“Iya, jaman dulu belum ada sekat-sekatnya,” kata Ari.

“Tapi tuh, posisi lorongnya ujungnya di situ!” Wira menunjuk gambar di monitor.

“Di situ kan sekarang ada ruang penyimpanan buat matras!” cetus Ari.

Lihat selengkapnya