Pagi ini Toha sampai di sekolah dengan wajah ceria. Dia sudah keluar dari parkir sepeda dan berjalan menuju taman. Barusan tadi dia ngobrol banyak dengan Astri, seorang murid perempuan dari kelas 10.1 yang naik sepeda juga. Ari dan Nara sudah menunggu di taman.
“Wah yang udah punya gebetan, ceria banget nih,” goda Nara saat Toha sampai di taman.
“Iya, ntar kita janjian mau pulang bareng naik sepeda” kata Toha tanpa malu-malu.
“Emang si Astri rumahnya dimana?” tanya Ari.
“Jauh sih. Yah… ntar gue anter dulu lah dia sampai rumahnya,” kata Toha.
“Muter-muter dong lo pulangnya?” tanya Ari lagi.
“Nggak apa-apa,” jawab Toha. “Eh, bener kata lo Ri. Dia tuh pinter anaknya. Dia kan ikut KIR ekstrakurikulernya. Tahu nggak, dia itu satu kelompok berdua sama Tata bikin projek KIR-nya. Nah projeknya ini baru diajuin ke Lomba Karya Ilmiah Remaja Nasional lho. Katanya hadiahnya beasiswa kuliah.”
“O, gitu,” kata Ari datar. Ari pikir Tata tidak akan memerlukan beasiswanya.
“Eh Ri, tadi Astri bilang… Kata Astri nih, sebelum liburan kemarin si Tata tuh sering ngelamun,” cetus Toha. Kali ini nadanya serius.”Terus katanya, dia pernah lihat Tata bicara sendiri gitu.”
“Beneran lo Ha,” Ari jadi serius.
Tapi belum lama Ari dengan rasa penasarannya, Wira sudah datang menghampiri mereka. Dan Ari seperti kaget melihat Wira. Tapi Wira terlihat tenang-tenang saja.
“Hai Gaes,” kata Wira menyapa ketiga temannya yang datang duluan,”Ada berita baru di sekolah?”
“Wir, lo diikutin ya?” kata Ari menyela.
“Maksud lo?” Wira tanya balik.
“Tadi ada bayangan item gede di belakang lo,” kata Ari.
“Sekarang?” tanya Wira.
“Sekarang nggak ada,” jawab Ari.
Lalu Wira dengan santai menunjukkan cincin yang ada di jarinya. Sebuah cincin yang di tengahnya ada batu akik berwarna merah.
“Cincin lo ada isinya?” tanya Toha.
“Jadi gini…” Wira mencoba menjelaskan.”Waktu liburan kemaren, gue ikut acara ziarah ke makam leluhur di Gunung Lawu. Gue sempet cerita sama eyang gue di sana tentang sekolah kita. Terus gue dikasih cincin ini. Buat perlindungan katanya. Tapi dipakai kalau perlu aja.”
“Bokap juga punya banyak,” kata Toha.”Kebanyakan keris sih.”
“Lo, nggak minta perlindungan sama bokap lo,” tanya Ari ke Toha tanpa basa-basi.
“Nggak ah! Males!” jawab Toha spontan.
“Iya, norak ah pakai gitu-gituan,” cetus Nara.
“Tapi ini buat perlindungan,” Wira membela diri.
“Iya tetep aja itu namanya norak,” Nara masih bersikukuh dengan pendapatnya.
“Iya, iya, gue nggak pakai lagi nih,” kata Wira mengalah sembari melepas cincinnya dan memasukkannya ke saku. Dia tak ingin suasana jadi panas gara-gara masalah cincin. Apalagi ini Nara yang bicara.
Saat jam pelajaran, ada petugas datang ke sekolah untuk menyemprotkan bahan desinfektan ke kelas-kelas. Keputusan ini diambil sekolah karena banyak anak yang sakit setelah ditemukan beberapa langit-langit kelas yang membusuk. Penyemprotan dilakukan di semua sudut ruangan kelas, terutama di langit-langit. Tiap kelas digilir bergantian untuk disemprot bahan desinfektan. Sementara murid-muridnya disuruh keluar kelas selama sekitar 15 menit. Saat giliran kelas Ari, semua murid keluar kelas. Kebanyakan murid-murid penasaran melihat kelas mereka disemprot desinfektan.
“Ri, lo udah bilang ke Pak Riza tentang gambar lo?” Tanya Nara dengan suara berbisik.
“Udah kan kemarin,” jawab Ari pelan.
“Kok sekolah kita malah disemprot desinfektan?” tanya Nara lagi.
“Gue nggak tahu,” jawab Ari. “Kata Pak Riza dia mau konsultasi ke Pak Solidin dulu.”
“Gue denger ada rencana habis ini konstruksi atapnya mau diganti dengan yang baru,” Wira menambahkan.
Ari, Toha dan Wira pun menyempatkan diri pergi ke toilet. Di depan toilet, Wira menaruh cincinnya di atas ventilasi di luar toilet.
“Pantangan,” kata Wira. “Nggak boleh di bawa masuk toilet.”
“Ngapain sih lo pakai gitu-gituan,” tanya Ari pelan.
“Ri, lo tahu sendiri setelah banyak kejadian di sekolah,” kata Wira menjelaskan. “Inget nggak lo pernah melindungi Tata sampai segitunya? Gue juga nggak mau ada apa-apa terjadi sama Nara. Apalagi hantu yang ada di gambar lo masih ada di sekolah kita.”
Ari mengangguk. Meski dia tidak terlalu setuju dengan cincin Wira tetapi dia mengerti sepenuhnya dengan alasan Wira. Selintas Ari teringat Tata. Hari ini untuk pertama kali dia tidak memakai jam tangan pemberian Tata. Sepertinya Ari tidak bisa benar-benar melupakan Tata. Dia tetap khawatir sesuatu akan terjadi pada Tata. Ari merasa ada sesuatu yang disembunyikan Tata darinya. Apalagi pagi ini Toha cerita tentang Astri yang pernah melihat Tata bicara sendiri. Tapi setiap jam pulang Ari lewat gerbang sekolah, niat untuk melupakan Tata muncul lagi saat dia lihat Tata di parkiran bersama Jodi. Apalagi ini hari Jumat. Ari pikir, Tata dan Jodi pasti sudah merencanakan acara mereka berdua buat malam minggu besok.
Hari minggu, beberapa kali Ari memegang ponselnya. Ada niat untuk menghubungi Tata tetapi selalu dia urungkan. Terakhir dia putuskan untuk mengirim pesan ke Tata. Tapi akhirnya dia hapus juga semua tulisan di ponselnya yang sudah hampir 1 jam dia rancang. Sampai akhirnya dia masukkan ponselnya ke laci. Dia tidak mau berurusan dengan ponselnya. Sampai sekitar jam 7 malam, ponselnya bunyi. Dengan malas Ari menuju ke laci untuk mengambil poselnya. Dia pikir Nara atau Toha atau Wira sedang menghubunginya. Tapi saat membuka laci, ada nomor Tata sedang memanggil di ponselnya. Ari langsung mengangkatnya.
“Halo Ta,” kata Ari tak sabar menjawab.
“….” Tata belum menjawab.
“Halo Ta…” kata Ari lagi.
“Halo Ri…” suara Tata terdengar gemetar di ponsel Ari.
“Ta, kamu ngga apa-apa?” tanya Ari khawatir.
“….” Tata tidak menjawab lagi.
“Ta, kamu dimana?”
“Aku di rumah…”
“Kamu nggak apa-apa kan?”
“Ri… Bisa ketemu?”
“Ok, kita ketemuan dimana?”