Senin pagi di sekolah, Ari, Toha, Wira dan Nara sudah di taman. Ari menceritakan pertemuannya dengan Tata tadi malam. Tetapi dia sengaja tidak cerita mengenai tulisan Nara yang yang diberikan ke Tata.
“Jadi, perempuan yang pakai bunga itu ngikut Tata,” kata Toha.
“Iya, dan dia adalah kucing hitam yang waktu itu gue lihat,” kata Ari.
“Dan dia masuk ke sekolah kita lewat lorong yang nembus ke aula,” Wira berusaha menyimpulkan.
“Kasihan dong Tata harus masuk rumah sakit jiwa,” cetus Toha.
“Itu cuma terapi,” Ari menjelaskan, “Soalnya mamanya nggak percaya sama apa yang Tata lihat.”
“Beruntung kita nggak harus ikut terapi,” kata Wira.
“Dulu gue ikut terapi,” kata Ari. “Tapi sekarang nyokap percaya sama gue.”
“Ra, ngapain sih dari tadi diem aja,” Wira menegur Nara. Tumben-tumbenan Nara tidak bersuara. “Ada yang mau diomongin?”
“Mmm… Gue sebenernya mau ngomong sama Ari…” Nara bicara terbata-bata.
“Ya udah ngomong aja,” kata Wira.
“Ri, gue mau ngomong sama lo…” Suara Nara masih patah-patah.
“Kenapa Ra,” tanya Ari.
“Sebelumnya gue minta maaf Ri,” kata Tata, “Gue nggak nyangka kalau Tata harus ikut terapi. Waktu itu gue pernah kasih Tata tulisan. Maksud gue biar dia ngga manfaatin lo gitu.”
“Iya gue tahu. Tata udah cerita,” kata Ari.
“Dia udah cerita sama lo?” tanya Nara.
“Iya,” jawab Ari.
“Dia marah?” tanya Tata lagi.
“Nggak, dia nggak marah,” jawab Ari. “Justru gue tadinya yang marah. Tata nggak mau kita berantem gara-gara dia.”
“Sampein ke Tata maaf gue ya Ri,” kata Nara. Wajahnya penuh penyesalan.
“Iya, pasti Ra,” kata Ari,” Cuma yang gue pikir, kalau Tata masih bisa lihat kaya kita, dia selalu akan bermasalah dengan mamanya.”
“Kenapa nggak ditutup aja kemampuannya,” tanya Toha.
“Maksud lo?” tanya Ari.
“Dulu sepupu gue ada yang kaya Tata gitu.” Kata Toha. “Terus sama bokap dikasih kalung biar dia nggak bisa ngelihat lagi. Sampai sekarang dia nggak lihat gitu-gitu lagi. Sekarang dia udah kuliah.”
“Ha, bisa bilangin ke bokap nggak, biar Tata bisa nggak lihat lagi?” Tanya Ari.
“Langsung aja datang ke rumah,” jawab Toha. “Tapi orangnya harus ketemu bokap langsung. Tatanya harus ketemu bokap.”
Tapi saat Ari mulai berpikir, tiba-tiba muncul suara kepak burung. Spontan Ari, Toha, Wira dan Nara menengadah ke atas karena suara kepak burung itu terdengar begitu dekat melintas di atas mereka.
“Kalian denger nggak?” tanya Ari pada tiga temannya.
“Iya, kayaknya suaranya ke arah parkir mobil,” cetus Wira.
Nara sudah memakai tudung jaketnya. Ari pun beranjak menuju ke arah parkir mobil. Tapi sebelum yang lain mengikuti Ari, bel masuk sudah berbunyi. Ari dan ketiga temannya harus masuk ke kelas segera. Saat pulang sekolah Ari sudah tidak sabar bertemu Tata. Tapi ketika Ari sampai ke parkir mobil, ada sesuatu yang aneh. Biasanya jam segini sudah banyak tempat parkir yang kosong. Tapi sekarang masih banyak mobil terparkir di sana. Dan murid-murid yang memakai mobil kebanyakan masih di sana. Di dekat Ari ada mobil yang sedang dibuka kap mesinnya. Sopirnya sedang memeriksa mesin di dalamnya. Tampaknya mobilnya tidak bisa nyala. Anak yang punya mobil terlihat resah di sebelah sopirnya karena mobilnya mogok. Ari pun langsung mencari mobil Tata. Tapi sesaat Ari harus menahan langkahnya. Karena di antara mobil-mobil yang ada di tempat parkir, Ari bisa melihat di salah satu mobil yang parkir di pojok dekat pohon besar, ada sosok yang pernah Ari lihat di kelas 10-6. Kali ini sosok itu tidak menggantung terbalik. Dia hanya berdiri diam di atas atap mobil. Sayapnya dilipat di depan badannya seperti dia sedang memakai jubah hitam yang besar. Ari langsung mempercepat langkahnya. Dia mulai khawatir tentang Tata. Saat Ari menemukan mobil Tata, sopir Tata terlihat sedang di depan mobil dengan kap mesin yang terbuka. Tampaknya mobil Tata sedang mogok. Tapi Tata tidak di sana. Ari makin khawatir. Ari masih ingat kata-kata bapak Toha kalau Tata adalah tipe yang paling disukai mahluk-mahluk seperti mereka. Lalu seseorang memanggil Ari.
“Ari! Sini!” ternyata Tata sedang ada di balik pohon.
Ari pun cepat berlari ke arah Tata.