Nara sudah mandi. Ari dan Wira pun harus memaksa Nara makan, karena Nara bilang malam ini dia tidak nafsu makan. Kata pembantu Nara, Nara baru makan waktu sarapan tadi pagi dan pembantu Nara sudah siapkan masakan favorit Nara di meja makan. Akhirnya Nara bisa dipaksa makan juga ditemani Ari dan Wira. Walau makanannya tidak habis tapi itu sudah cukup memberi sedikit tenaga buat Nara. Nara pun permisi mau ke tempat tidur karena badannya masih terasa lemas. Ari bilang, dia dan Wira akan berjaga-jaga di ruang tengah. Ari dan Wira memang berniat tidak tidur malam ini. Mereka berjaga-jaga duduk di depan televisi. Kebetulan Ari menemukan kertas dan bolpen di ruang itu. Dia pun mulai menggambar apa yang dilihatnya saat ada insiden di aula sekolah. Dia ingin menunjukkannya ke Wira. Juga Toha dan Nara. Dia menggambar sosok bersayap, bermuka seperti tengkorak, seperti kelelawar sedang bergumul dengan sosok binatang seperti macan berwarna hitam. Setelah jadi, gambar itu dia serahkan ke Wira. Lama Wira mengamati gambar Ari.
Wira tidak menyangka akan ada mahluk seperti itu karena cincinnya. Dia pun mengembalikan gambar Ari. Dan Ari mengembalikan cincin Wira. Wira sebentar memandangi cincinnya, lalu dia masukkan ke saku bajunya.
“Lo masih mau pakai?” tanya Ari.
“Nggak tahu…” jawab Wira datar.
Lalu datang Nara turun dari kamarnya. Dia membawa bantal dan selimut.
“Kenapa Ra? Nggak bisa tidur?” tanya Wira.
“Gue mau tidur sini aja,” kata Nara. Dia sudah merebahkan tubuhnya di sofa yang panjang. Dia pasang selimutnya dan mulai membenamkan wajahnya ke bantal.
Ari dan Wira hanya diam memandangi Nara yang sudah pulas lagi di sofa depan mereka.
“Wir, lo udah bilang ke Nara?” tanya Ari setengah berbisik, takut Nara bangun.
“Bilang apa?” Wira tanya balik dengan suara pelan.
“Lo katanya naksir Nara.”
“Iya itu Ri, gue kan udah dijodohin sama keluarga gue.”
“Sama yang keturunan ningrat juga ya?”
“Iye.”
“Ya udah, lo batalin aja perjodohannya, gampang kan?
“Enak aja lo ngomong. Gue bisa dihujat seluruh keluarga. Sama leluhur.”
“Terus gimana dong?”
“Ya itu Ri, makanya gue pusing.”
“Awas ya Wir, kalau lo sampai nyakitin Nara.”