Tahun ajaran baru sudah dimulai. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah, setelah siswa libur hampir sebulan. Ari, Toha, Wira dan Nara ada di taman. Taman itu memang menghubungkan jalan masuk ke gedung sekolah dengan parkir mobil, parkir motor dan parkir sepeda. Mereka layaknya senior yang menguasai taman. Karena banyak murid-murid baru lewat di depan mereka. Wajah-wajah baru itu masih terlihat lugu dan polos sebagai siswa SMU. Mereka baru menginjakkan kaki mereka di SMU itu. Mereka benar-benar tidak tahu mengenai sekolah itu. Apalagi misteri yang pernah terjadi di sana. Misteri yang Ari, Toha, Wira dan Nara tahu.
Pagi ini, yang menjadikan Ari dan Toha heran, Wira dan Nara kini terlihat lebih akrab dari biasanya. Dari tadi mereka berdiri berdekatan. Beberapa kali saling pandang sambil senyum-senyum. Hingga bel masuk pun berdering. Saat menuju ke kelas, Toha bicara di dekat Ari. Toha bilang, waktu berangkat ke sekolah tadi sepedanya rusak. Sepedanya dia tinggal di bengkel. Dia minta tolong Ari untuk pinjam uang buat naik bus nanti pulang sekolah. Ari pun mengiyakan. Beberapa menit kemudian, murid-murid sudah berhamburan keluar kelas menuju halaman untuk mengikuti upacara.
Upacara berlangsung khidmat. Setelah pengibaran bendera, kepala sekolah memimpin peserta upacara untuk mengheningkan cipta. Regu paduan suara sudah melantunkan lagu mengheningkan cipta. Kebetulan barisan paduan suara berdekatan dengan barisan kelas Ari. Saat lagu tengah mengalun, perasaan Ari mulai tidak enak. Saat murid yang lain menunduk, Ari sempat mengangkat kepalanya. Sekilas dia lihat Nara yang berada tiga baris di depannya terlihat gelisah. Nara tidak memakai jaketnya. Lalu Nara pelan berusaha menoleh ke belakang. Dia mencoba melihat ke arah Ari. Dan Ari tahu apa yang dimaksud Nara. Karena Ari sedang memandang ke arah barisan paduan suara. Disana anak-anak paduan suara sedang khidmat menyanyikan lagu. Dan di antara barisan mereka, ada satu yang bukan bagian dari regu paduan suara. Dia berdiri seperti layaknya regu paduan suara dan ikut bernyanyi. Anak kecil. Perempuan. Rambutnya lurus panjang sepunggung. Bajunya putih berenda. Sepertinya tidak ada dari regu paduan suara yang menyadari kehadiran anak itu. Lama Ari perhatikan anak itu. Mulutnya komat-kamit berusaha mengikuti lagu mengheningkan cipta. Wajah anak itu pucat. Tapi yang menjadi perhatian Ari adalah tangannya. Kedua tangannya anak itu hitam seperti bekas terbakar. Setelah mengheningkan cipta selesai, anak itu berlari-larian menyelinap di antara regu paduan suara. Setelah itu dia tak terlihat lagi.
Selesai upacara, anak-anak kelas 10 masih disuruh tetap berbaris di lapangan. Hari ini mereka akan mendapatkan pengarahan dari pengurus OSIS. Selama 3 hari mereka akan menjalani masa orientasi sekolah. Mereka menjadi tontonan beberapa anak kelas 11 dan 12. Karena hari ini memang belum ada kegiatan belajar mengajar. Tak terkecuali Ari, Toha, Wira dan Nara. Mereka masih ada di salah satu sudut halaman sekolah. Tapi mereka tidak menonton anak-anak kelas 10 yang mulai disuruh latihan berbaris di bawah terik matahari. Mereka sedang membicarakan anak kecil yang muncul di barisan paduan suara tadi.
“Lo juga lihat Wir?” tanya Nara.
“Iya, tadinya kukira anak guru, tapi kok tangannya item gitu,” kata Wira.
“Gue juga lihat,” kata Toha menyela,” Nggak mungkin anak guru, wajahnya pucet gitu.”
“Jangan-jangan lorongnya kebuka lagi,” guman Nara.
“Nggak mungkin,”sergah Toha,” Orang-orang padepokan itu hebat-hebat. Hantu yang pakai jas di depan aja sampai sekarang nggak bisa masuk ke dalem.”
“Atau mungkin ada lorong lain lagi yang kita nggak tahu,” Ari bersuara.
“Dari mana lo tahu?” tanya Wira ke Ari.
“Nebak aja,” kata Ari dengan wajah tetap serius.
“Bisa jadi sih,” Nara menimpali.
“Ra, foto mama lo yang gambar-gambar denah sekolah ada berapa?” tanya Ari ke Nara.
“Banyak, dua puluhan ada kali,” jawab Nara.
“Besok bisa lo bawain semua?” pinta Ari.
“Boleh, besok gue bawain,”jawab Nara antusias.
“Lo nggak lapor ke Pak Riza Ri?” tanya Wira ke Ari.
“Iya, nanti kalau memang dia ngeganggu sekolah kita,” jawab Ari.
Sementara di lapangan terlihat satu anak laki-laki kelas 10 yang sedang dihukum karena memakai sepatu warna merah. Dia disuruh lari keliling lapangan 5 kali dan push-up 20 kali. Sebelumnya anak itu sempat melawan waktu ditegur seniornya. Beberapa anak senior lain berdatangan mengerubutin anak itu. Suasana pun jadi heboh karena anak itu bertubi-tubi dihujani bentakan dan hujatan dari seniornya. Dan tak berapa lama selesai push-up, anak itu jatuh pingsan. Beramai-ramai dia digotong ke UKS. Sementara murid-murid kelas 10 lainnya meneruskan kegiatannya sampai siang.
Jam pulang sekolah berbunyi lebih awal. Wira mengantar Nara dulu ke parkir mobil. Ari dan Toha sempat bertanya-tanya, bisa jadi Wira dan Nara sudah jadian. Dan Toha yang sudah jadian dengan Astri, mendatangi Astri di parkir sepeda. Hari ini mereka tidak bisa pulang bersepeda barengan. Sepeda Toha sedang di bengkel. Sebenarnya kejadian ini sudah sering terjadi. Karena sepeda Toha memang sudah butut. Dan sore ini Tata ada jadwal terapi di klinik psikiatri. Ari akan datang di sana seperti biasa.
Toha pun pulang naik bus bersama Ari. Di bus yang penuh sesak, Ari dan Toha berdiri di bagian belakang. Toha berdiri sambil menahan kantuk. Tapi Ari dari tadi was-was memandangi sekeliling. Karena perasaan itu muncul lagi. Seperti tadi pagi saat upacara. Dan Ari lihat anak kecil itu lagi. Anak perempuan berambut sepunggung. Bajunya putih berenda. Kedua tangannya hitam. Dia menyelinap di antara penumpang yang berdiri berjubel. Ari sempat mencolek Toha. Toha pun juga melihatnya. Tapi cuma sebentar. Karena anak itu sudah menghilang di antara jubelan orang yang berdiri di depan.
“Itu anak yang ikut upacara tadi,” bisik Toha ke Ari.
“Iya…” Jawab Ari. Dia masih heran bisa melihat lagi anak kecil bertangan hitam itu di bus.
Ari masih berusaha mencari keberadaan anak itu di bus. Tapi sampai Ari turun dari bus meninggalkan Toha, dia tidak melihatnya lagi.
***
Ini adalah hari terakhir Tata terapi di klinik psikiatri. Selama hampir sebulan liburan kemarin, Tata masih mengikuti sesi terapinya. Dan Ari selalu menemani Tata. Selesai terapi, mereka selalu ada di warung bakso belakang klinik psikiatri. Seperti sore ini. Pengunjung di warung cuma satu dua. Ari dan Tata ada di pojok. Mangkok mereka sudah kosong. Agak lama Tata terdiam, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kenapa?” tanya Ari di samping Tata.
“Habis ini kita nggak akan ke sini lagi,” jawab Tata pelan.
“Lha iya lah. Emang kamu mau terapi terus?” kata Ari bercanda.
“Iya juga sih,” kata Tata dengan senyum tersungging,”Aku cuma… takut…”
“Takut kenapa?”