“Ri, Pak Riza kan nggak bisa lihat… Kamu yang bisa lihat, kita yang bisa lihat… Dia nggak ngerti, dia nggak ngerasain” sergah Nara ketika Ari menceritakan pertemuannya dengan Pak Riza kemarin.
“Bener Ri, takutnya akan banyak kejadian lagi di sekolah kita,”tambah Wira,”Jangan sampai nanti bisa kejadian juga di kelas kita.”
Ari tercenung. Dia merasakan dilema. Di satu pihak dia harus menuruti perintah Pak Riza, di lain pihak dia membenarkan kata-kata teman-temannya. Dari taman, Ari, Toha, Wira dan Nara bisa melihat murid-murid yang baru datang di sekolah pagi ini. Dan di antara murid-murid itu ada Fatar. Kali ini Fatar memakai sepatu warna hitam.
“Si Fatar tuh,” kata Toha.
“Anak kelas 10 udah sombong banget sih,” kata Nara menilai penampilan Fatar.
“Kayaknya kita harus bertindak deh,” kata Wira yang mulai panas dengan kata-kata Nara.
“Bertindak gimana?” tanya Toha.
“Ya langsung aja kita samperin anaknya, kita tanya-tanyain,” jawab Wira.
“Lebih baik kita tunggu aja,” kata Ari.
“Maksud lo?” tanya Wira ke Ari.
“Ya kalau ada kejadian, baru cepat-cepat kita datengin anaknya,” jawab Ari.
Akhirnya mereka sepakat untuk menunggu. Saat jam pelajaran, Ari jadi tidak bisa konsentrasi. Jam istirahat pertama, Ari, Toha, Wira dan Nara jadi sering memperhatikan ke arah kelas 10. Mereka juga sering memperhatikan anak-anak pengurus OSIS yang berpapasan dengan mereka. Tapi hingga jam pelajaran berlangsung lagi, ternyata tidak terjadi apa-apa. Sampai jam istirahat kedua, ada kehebohan terlihat dari arah kelas 10. Rombongan murid sedang membopong anak perempuan yang pingsan. Ari, Toha, Wira dan Nara langsung berlari ke sana. Saat dekat rombongan itu, Ari baru tahu kalau yang pingsan adalah Lisa. Ini sudah yang kedua kali anak perempuan itu pingsan. Ari langsung teringat pertemuannya dengan Lisa kemarin di bus.
“Udah Ri, ini saatnya kita temuin si Fatar,” cetus Wira.
“Iya mumpung sekarang ada buktinya,” tambah Nara.
“Bentar…,” kata Ari. Dia mulai berlari menyusul rombongan yang membopong Lisa. Ari seperti tidak mempedulikan Wira dan Nara karena perhatiannya sekarang sedang tertuju ke Lisa.
“Ri, mau kemana?” Wira setengah teriak.
“Bentar!” teriak Ari tanpa memperlambat larinya.
Ari sempat berpikir, pertama Lisa pingsan waktu itu hari Rabu. Dan hari ini hari Rabu. Ari melihat Lisa sudah dibaringkan di UKS. Rombongan yang membopong Lisa sudah keluar. Ari pun mendekati salah satu dari mereka.
“Kamu teman sekelas Lisa?” tanya Ari ke salah satu dari mereka.
“Iya Kak,” jawabnya.
“Tadi Lisa pingsan dimana?” tanya Ari lagi.
“Di lab abis pelajaran komputer,” jawab anak itu.
Ari tahu, lab komputer ada di bekas basement. Dan minggu lalu, Lisa pingsan di hari dan jam yang sama. Lalu perasaan Ari mulai tidak enak. Ari merasa ada sesuatu di dalam UKS sana. Tapi murid-murid yang berkerumun di depan UKS sudah disuruh bubar oleh Bu Mirna. Dan pintu UKS sudah ditutup. Juga tirai jendelanya. Ari ingat permintaan Lisa waktu bertemu di bus kemarin. Entah kenapa, Ari merasa harus melakukan sesuatu buat Lisa. Lalu dia nekat mencoba masuk ke UKS. Ari pun mengetuk pintunya.
“Iya, masuk,” terdengar suara Bu Mirna dari dalam.
Ari masuk dengan memasang muka sakit dan memegangi kepalanya.
“Ada apa?” tanya Bu Mirna.
“Kepala saya pusing Bu,” jawab Ari dengan muka dibikin meringis.
“Ya udah, coba kamu tiduran di situ,” kata Bu Mirna.
Ari pun berbaring di ranjang sebelah Lisa dibaringkan. Seorang petugas PMR memeriksa suhu badan dan tekanan darah Ari. Ari sempat memperhatikan sekeliling. Tapi dia sudah tidak lagi merasakan perasaan yang dia rasakan tadi. Dan dia tidak melihat apa-apa di situ.
“Ini diminum, biar nggak pusing,” kata Bu Marni menyodorkan satu butir pil dan segelas air.
Ari sempat ragu karena dia tidak benar-benar pusing. Tapi dia harus ambil resikonya demi Lisa. Ari pun meminum obat yang diberikan Bu Mirna. Lalu Bu Mirna dan petugas PMR meninggalkan Ari dan Lisa untuk istirahat. Sambil berbaring, Ari memperhatikan Lisa di ranjang sebelah. Anak perempuan itu sedang pulas terlelap. Nafasnya begitu teratur. Sebetulnya Ari ingin membangunkannya, memastikan Lisa baik-baik saja. Tapi melihat Lisa yang terlihat tenang dalam pulasnya, Ari mengurungkan niatnya. Justru Ari yang kini merasakan kantuk. Mungkin obat yang diberikan Bu Mirna tadi membuatnya mengantuk. Mata Ari mulai berat. Tapi dia berusaha untuk tetap terjaga. Ari mencoba memperhatikan sekitarnya. Sudut-sudut ruang UKS mulai terlihat kabur. Tapi dia tidak melihat sesuatu pun muncul di ruangan tempat dia dan Lisa terbaring. Ari menoleh ke arah Lisa. Matanya makin berat. Pandangannya pun makin kabur. Lalu dia seperti mendengar suara Lisa.
“Kak Ari,” suara Lisa menyadarkan Ari.
Ari melihat Lisa masih terbaring di ranjang sebelah. Kepalanya menoleh ke arah Ari.
“Lisa… Kamu nggak apa-apa?” Ari berusaha mengeluarkan suaranya.
“Kak Ari tolong aku…” kata Lisa. Suaranya lemah dan datar.
“Kamu Kenapa?” tanya Ari dengan suara berat.