Bulan Desember, hampir setiap hari hujan turun. Pagi masih menyisakan dingin. Karena rintik hujan tak berhenti jatuh dari langit. Seperti di sebuah SMU favorit. Butiran air membasahi rumput di taman depan sekolah. Taman itu baru-baru ini dipasang pagar. Tidak ada lagi murid yang bisa masuk ke sana. Ditambah ada tanda : Dilarang Menginjak Rumput. Di jam seperti ini Ari, Toha, Wira dan Nara memang tidak akan pernah ada di sana lagi. Tapi Nara mewanti-wanti ketiga temannya bahwa mereka masih akan berkumpul saat pagi. Dia yang memutuskan untuk berkumpul di mobilnya saat di parkir di sekolah. Seperti sekarang ini. Nara, Ari dan Wira sudah ada di dalam mobil. Mereka sedang menunggu Toha yang sepertinya datang terlambat. Setelah hampir sepuluh menit, Toha muncul dengan badan yang basah dengan rintik air.
“Sori Gaes, ujan dari tadi nggak berhenti,” kata Toha yang masuk dari pintu belakang dan langsung duduk di sebelah Ari. Nara yang duduk di belakang kemudi langsung sewot.
“Ujan sih ujan, tapi jangan jadi kebiasaan,” kata Nara kesal.
“Untung ada mobil Nara, jadi kita nggak kehujanan, coba kalau di taman…” Ari berusaha menetralisir suasana.
“Jadi, ada masalah penting apa yang perlu kita bicarakan?” kata Toha dengan sikap sok buru-buru.
Nara terlihat semakin kesal dengan sikap Toha.
“Gini Ha… Kemarin Nara nemu arsip-arsip lama kakeknya,”kata Wira mencoba menerangkan. Karena Nara sepertinya tidak akan sabar untuk menerangkannya. ”Kakek Nara itu kan guru sejarah… Nah Nara nemu salah satu buku bikinan kakeknya. Itu tuh buku isinya tentang penelitian kakeknya mengenai lorong bawah tanah jaman Belanda… Termasuk yang ada di sekolah kita.”
Lalu Wira menyuruh Nara menunjukkan buku kakeknya. Nara pun mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Buku yang terlihat sudah kumal. Dijilid seadanya, dengan cover seadanya pula. Lalu Nara menyodorkannya ke Ari dan Toha. Ari langsung mengambil buku itu dan mengamati lama covernya yang bertuliskan : Study Lorong Bawah Tanah Peninggalan Belanda. Lalu Ari membuka-buka bagian dalamnya yang kertasnya sudah menguning. Banyak foto bangunan-bangunan tua jaman Belanda di dalamnya. Toha sekali-sekali memperhatikan buku yang dipegang Ari.
“Menurut kakek gue, lorong yang ada di sekolah itu terhubung dengan bangunan tua lainnya,” kata Nara sudah tak sabar untuk menjelaskan apa yang sudah dia baca dari buku kakeknya. “Tahu nggak? Lorong sekolah kita terhubung dengan bangunan apa?”
Ari memandang tajam Nara sambil menggelengkan kepala. Toha pun mulai terlihat serius untuk menyimak.
“Dengan Gedung Alun-alun,” kata Nara dengan muka sangat serius.
“Gedung Alun-alun….” Ari berguman. Wajahnya tak kalah serius dengan Nara. Semua orang tahu, Gedung Alun-alun adalah gedung tua peninggalan Belanda yang banyak cerita aneh-aneh di sana. Bahkan gedung itu sering digunakan untuk acara uji nyali.
Beberapa saat hening, setelah nama gedung Alun-alun ada di benak mereka masing-masing.
“Terus maksudnya?” Tanya Toha memecah suasana.
“Kita akan membuktikannya,” Wira langsung menjawab.
“maksud lo membuktikannya?” Toha belum mengerti maksud Wira.
“Ya… Kita akan masuk ke sana,” jawab Wira lagi.
Suasana hening sejenak.
“Untuk apa?” tanya Toha,” Bukannya orang padepokan sudah memagari lorong itu.”
“Lo lupa ya Ha, waktu kasus Lisa?” spontan Nara menyanggah Toha,” Waktu itu kita tahunya lorong itu juga udah dipagari orang padepokan. Ternyata kejadian juga kan? Apalagi sekarang kita tahu mereka datangnya dari mana.”
“Lo yakin mereka asalnya dari Gedung Alun-alun?” tanya Toha tidak mau kalah.
“Justru itu yang harus kita buktikan,” jawab Wira mencoba menengahi. “Gimana menurut lo Ri?”
Ari yang sedari tadi diam, kini wajahnya seperti berpikir keras.
“Mmm… Sori ya Gaes… “ Hati-hati Ari bicara,”Apa kalian pikir, ini nggak terlalu jauh.”
“Maksud lo terlalu jauh?” Wira balik tanya.
“Menurut gue ini terlalu berbahaya,” jawab Ari.
“Lo takut Ri?” Nara langsung tanya ke Ari,”Gue pikir, selama ini, lo yang paling pemberani di antara kita?”
“Bukan begitu Ra…” Ari sewot juga dengan pertanyaan Nara, tapi dia belum dapat kata-kata yang pas buat menyanggah Nara.
“Lo masih mikirin Tata?” tanya Nara lagi,”Dia udah aman kan sama kalungnya? Lagian, dia kan bukan komplotan kita.”