Sesampai di kelas, Ari memberi tahu Toha tentang keputusannya tadi di mobil Nara. Toha tampak begitu senang dengan apa yang telah Ari putuskan.
“Tapi gue jadi nggak enak sama Nara, sama Wira,” kata Ari.
“Nggak apa-apa Ri,” kata Toha seperti menenangkan Ari, ”Mereka juga nggak bisa memaksakan kehendak seperti itu.”
Tapi Ari masih diam. Sebersit penyesalan masih ada di benak Ari mengenai keputusannya.
“Lo masih mikirin Tata kan Ri,” tanya Toha.
Ari mengangguk.
“Ntar siang jadi kan kita ketemu Tata sama Astri,” tanya Toha lagi.
“Jadi lah,” jawab Ari.
Kini pikiran Ari mulai teralihkan ke Tata. Dia sudah tidak mau memikirkan apa yang akan Nara dan Wira lakukan nanti malam. Dia lebih memikirkan pertemuannya dengan Tata nanti siang. Walau berkedok projek karya ilmiah Tata dan Astri, bagaimanapun caranya, yang penting Ari bisa bertemu Tata.
Sepanjang pelajaran di sekolah, Nara seperti sudah tidak mau lagi bertemu dengan Ari dan Toha, apalagi bicara. Bahkan Nara memalingkan muka jika berpapasan dengan Ari atau Toha. Cuma kadang-kadang saja Ari dan Toha saling pandang dengan Wira. Kadang Ari cemas dengan keselamatan mereka berdua, terutama dengan Nara.
Siang, setelah pulang sekolah, seperti yang telah direncanakan Tata, Ari dan Toha menyelinap keluar sekolah menuju ke bekas pom bensin yang sudah tidak terpakai. Bekas pom bensin itu tak jauh dari sekolahan. Di sana sepi. Ari dan Toha bisa sembunyi untuk menunggu dijemput Tata dan Astri naik Taxi. Tata sudah ijin ke ibunya untuk naik taxi saja saat nanti dia mengerjakan projek karya ilmiah bersama Astri.
Ari dan Toha pun menunggu di belakang tempat pengisian bensin agar tidak terlihat orang. Karena ada beberapa murid yang pulang sekolah lewat depan pom bensin. Tapi saat menunggu, perasaan Ari mulai tidak enak. Lalu dia melihat seorang laki-laki mondar-mandir di depan pom bensin. Orang itu bapak-bapak pakai baju kerja. Tapi muka dan badannya berdarah-darah seperti habis kecelakaan. Ari tahu, itu bukan orang habis kecelakaan. Karena orang-orang yang simpang siur di dekat situ tidak ada yang melihatnya.
“Ha, lo lihat nggak,” kata Ari sembari melirik Toha.
“Iya,” kata Toha.
Lalu Ari dan Toha melihat sosok itu menyeberang jalan menembus kendaraan yang lalu lalang.
“Lo nggak akan menggambarnya kan?” tanya Toha ke Ari.
“Kan gue udah bilang, gue nggak akan gambar lagi…” Ari agak kesal, karena Toha selalu tanya begitu jika mereka melihat sesuatu.
Lalu tak berapa lama, sebuah taxi berhenti di depan. Kaca belakangnya dibuka, Tata dan Astri terlihat duduk di belakang. Lalu Tata melambaikan tangannya ke Ari. Ari dan Toha pun berlari menuju taxi. Toha sudah masuk di belakang, dia duduk di sebelah Astri yang kini posisinya ada di tengah. Ari mengalah duduk di depan, di sebelah sopir, karena di belakang hanya cukup untuk bertiga. Tapi Ari tetap senang, karena dia sudah bertemu Tata sekarang. Tata ada di pojok belakang. Wajah Tata begitu ceria. Karena ada sahabatnya, Astri di sebelahnya. Astri ditemani pacarnya, Toha. Dan di depan, ada Ari. Ari sempat memeriksa sekitar saat taxi mulai melaju. Tapi dia sudah tidak melihat sosok bapak-bapak yang berdarah-darah tadi.
“Jadi, kalian udah jadian berapa lama?” Tata membuka pembicaraan ke Astri dan Toha.
“Berapa ya?” jawab Astri malu-malu,” enam bulan kali, iya kan Ha,” Astri tanya ke Toha.
“Nggak tahu, lupa,” jawab Toha.
“Gimana sih bisa lupa,” Astri meninju lengan toha.
Suasana begitu ceria saat taxi melaju di jalanan. Ari, Tata, Astri dan Toha mengobrol dari masalah guru galak, guru culun, sampai makanan kantin, hingga lagu dan film yang lagi trend. Tidak ada pembicaraan mengenai hantu sama sekali. Ari mulai membayangkan, tadi pagi dia ada di mobil Nara, membicarakan hal yang orang lain tidak akan membicarakannya. Dan sekarang dia ada di mobil taxi bersama Tata. Lalu ada Toha dan pacarnya, Astri. Hidup terasa begitu normal buat Ari saat ini.
“Eh, kalau lulus SMA ntar, kita masih sama-sama gini nggak ya?” tanya Tata.
“Bisa dong…” jawab Astri berharap,”Makanya nanti masuk universitas yang sama aja…”
“Kita masuk ke universitas favorit aja, gimana?” tanya Tata.
“Iya, “Jawab Astri antusias, “Aku mau ambil jurusan Teknik Kimia. Kalau kamu Ha? Kamu ambil Arsitektur aja. Kamu kan suka gambar.”
“Iya, gue ntar mau ambil Arsitektur,”jawab Toha sok mantap.
“Kamu juga Ri, ambil Jurusan Arsitektur,”kata Tata ke Ari,”Kamu kan jago gambar.”
“Nggak tahu ya Ta…” jawab Ari pelan,”Belum kepikiran sih…”
“Kok belum kepikiran?” tanya Tata.
“Iya… Aku kan nggak sepandai kamu sama Astri,”jawab Ari.
“Lah, kan tiap malem kamu udah rajin belajar,”kata Tata serius,”Kamu pasti bisa Ri.”
“Iya, kamu pasti bisa Ri,” tambah Astri memberi dukungan.