Walau tak sepenuhnya bisa mencerna kata-kata Pak Hudi, tapi dari sana, Ari kini tahu, Belinda tidak bohong tentang hantu mata satu bergigi panjang. Dan betapa menakutkannya hantu bayangan yang ternyata hantu buangan, hingga Ari ingat Pak Suman yang sekarang kritis di rumah sakit. Lalu Ari bercerita pada Pak Hudi tentang Tata yang telah membunuh salah satu dari mereka. Juga kata-kata Belinda bahwa hantu mata satu bergigi panjang adalah satu-satunya hantu yang mencari Tata yang berhasil masuk ke sekolah. Belinda bilang, walau Tata tak terlihat oleh mereka, tapi baunya masih tercium.
“Untuk saat ini memang kalung itu akan melindungi Tata,” kata Pak Hudi menenangkan Ari yang saat ini terlihat tambah tegang,” Tapi untuk sementara, suruh Tata jangan deket-deket ke ruangan kepala sekolah dulu.”
Ari pun berniat untuk meminta diri. Karena dia ingin cepat-cepat memberitahukan Tata tentang hantu mata satu bergigi panjang. Tapi sebelum Ari bilang ke Pak Hudi, Toha muncul dari pintu. Dia masuk dengan wajah penuh peluh dan seragam basah dengan keringat. Toha terlihat kaget melihat Ari ada di ruang tamu di depan bapaknya.
“Ngapain Ri, kamu ke sini?” tanya Toha. Wajahnya penuh kecurigaan.
“Ari ini lagi tanya ke bapak tentang situasi di sekolah kalian,” Pak Hudi menjelaskan dengan bijak.
“Bukannya kita sepakat nggak berkutat lagi dengan hal-hal kayak gini,” kata Toha sedikit emosi ke Ari tanpa mempedulikan penjelasan bapaknya.
“Justru Ari ini cari info untuk melindungi Tata,” Pak Hudi mencoba untuk menjelaskan lagi.
Walau dibela Pak Hudi, Ari hanya bisa diam. Dia tidak ingin berkelahi dengan Toha.
“Melindungi Tata?” guman Toha,” Terus gimana dengan Astri? Inget nggak kejadian di lab komputer? Astri yang nggak tahu apa-apa malah jadi korban!”
“Iya maafin aku Ha,” kata Ari berusaha mengalah.
“Toha! Duduk dulu! Kalian ini teman… Seharusnya kalian saling dukung!” Pak Hudi sepertinya mulai marah dengan sikap anaknya.
“Ri, kalau terjadi sesuatu sama Astri lagi, lebih baik kita nggak usah temenan selamanya!” kata Toha yang langsung ngeloyor masuk ke ruang dalam.
“Toha! Sini kamu!” Pak Hudi mulai kehilangan kesabarannya.
“Sudah nggak apa-apa Pak Hudi,” kata Ari menetralisir suasana,” Mungkin saya yang salah karena nggak menepati kata-kata saya ke Toha. Biar nanti saya bicara sama Toha kalau dia udah nggak emosi.”
Pak Hudi memandang Ari sebentar. Wajahnya terlihat tenang kembali. Pak Hudi tahu, anak seperti Ari ini yang nantinya bisa menyatukan teman-temannya, termasuk Toha.
Lalu Ari pun meminta diri. Dia berencana, sampai rumah nanti akan langsung menghubungi Tata. Tapi sesampai di rumah, Ari heran, karena di depan pintu ruang tamu ada sepasang sepatu sekolah perempuan. Ari tahu, dan benar-benar tahu, itu sepatu Tata. Ari cepat-cepat masuk rumah. Tapi di ruang tamu, Ari tidak mendapati siapa-siapa. Di ruang makan pun tidak ada siapa-siapa. Ketika sampai di dapur, Ari melihat ibunya sedang memasak. Dan di sebelahnya ada Tata yang masih memakai seragam sekolah, sedang membantu Ibunya memasak.
“Eh, Ari… Dari mana saja kamu?” Kata ibu Ari begitu melihat anaknya,”Pulang sekolah bukannya langsung pulang. Ini Tata jadi bantuin mama masak deh…Tuh Tata udah banyak bawain mama buah.”
Ari pun cuma bisa memandangi Tata yang hanya melirik ke arahnya sambil senyum-senyum.
“Udah bersih-bersih dulu sana, sama ganti baju,” kata Ibu Ari,” Habis ini kita makan, sebentar lagi juga jadi.”
Mereka bertiga pun makan di satu meja. Ibu Ari tak berhenti bercerita tentang masa-masa kecil Ari ke Tata yang mungkin dianggapnya lucu. Ari pun beberapa kali melotot ke ibunya, karena kadang ceritanya bikin malu Ari di depan Tata. Tapi Tata malah senyum-senyum ke Ari dan kadang tertawa lepas. Sebenarnya bukan hanya karena cerita ibunya yang Ari anggap norak, yang membuat Ari tidak nyaman. Tapi ada sesuatu yang dari tadi ingin cepat-cepat Ari sampaikan ke Tata. Selesai makan, Ari dan Tata duduk berdua di ruang tamu. Ari pikir, ini saatnya dia harus cerita ke Tata.
“Ta, ada sesuatu yang penting yang mau aku sampaikan,” kata Ari dengan muka serius.
“Aku juga ada sesuatu yang mau kusampaikan,” kata Tata juga dengan muka serius atau dibikin-bikin serius.
Ari melongo. Belum pernah dia melihat Tata dengan muka serius.
“Ok, kalau gitu kamu dulu deh Ta,” kata Ari mengalah.
“Aku tadi lihat anak yang tinggal di sumur…”
“Ta! Kamu lepas kalung kamu?”
“Cuman sebentar kok…”
“Ta! Kan aku udah bilang… Sedetikpun, kamu nggak boleh lepas kalung kamu! Itu bahaya!”
“Aku juga bicara sama dia…”