Malam ini Ari tidak bisa tidur. Selama belajar tadi, bolak-balik Ari memandang ke arah jendela. Ari berharap malam ini hujan turun. Dan sekarang, di ranjangnya, dengan mata mengantuk, Ari masih berusaha memandangi jendelanya. Langit malam terlihat cerah di jendela. Di ambang tidur dan sadar, Ari mulai samar melihat jendelanya. Lama-lama Ari melihat ada sosok muncul dari sana.
“Belinda…” desis Ari.
Ari berusaha mengamati sosok yang kini mulai mendekatinya. Dia bukan Belinda. Ari melihat kakek-kakek memakai baju adat Jawa. Tapi Ari tidak melihat sosok yang mengerikan. Wajah kakek itu teduh memandangi Ari. Ari melihat ada goresan bekas luka di salah satu matanya.
“Ari, ingat pesan kakek,” sosok kakek itu bicara pada Ari,” Kamu bisa membunuh mereka… Tikam dari belakang dan ambil jantungnya…”
Lalu sontak Ari terbangun. Ari termangu. Ari merasa barusan tadi bermimpi. Kakek itu sudah tidak ada. Tinggal Ari terduduk di atas ranjang memandangi jendela. Di luar terlihat hujan turun deras. Dan Ari mencium bau melati. Ari baru sadar, ada sosok yang dari tadi duduk di sudut ranjang.
“Belinda…” kata Ari lirih sembari berusaha menoleh ke ujung ranjang.
Belinda menatap Ari tajam dengan mata merah birunya. Hantu remaja berambut pirang itu kini tersenyum kecil ke Ari. Dia masih memakai baju balet hitamnya dan duduk dengan posisi rapi.
“Aku senang bisa ketemu kamu lagi…” Pelan Belinda bersuara.
Ari masih termangu memandangi Belinda yang duduk hanya berjarak sejengkal darinya.
“Tadi kakek kamu ke sini…” Kata Belinda datar.
“Kakek aku…?” Tanya Ari. Dia mulai mengingat mimpinya barusan.
“Aku pernah lihat kakek kamu…” Kata Belinda lagi.
“Pernah lihat kakek aku…?” Ari masih bingung dengan perkataan Belinda. Lalu Ari ingat kakek-kakek yang mendatanginya dan mengatakan sesuatu.
“Kakek kamu pernah ke tempatku…” Belinda tak berhenti bercerita.
“Di Gedung Alun-alun?” Ari mencoba bertanya.
“Semua di sana takut sama kakek kamu…” Belinda menerawang seperti mengingat sesuatu,” Kata kakek kamu, aku boleh tinggal di sini, asal aku mau jagain kamu…”
“Belinda… Aku mau tanya yang kamu bilang matanya satu… sama giginya panjang…” Ari mulai memfokuskan pertanyaannya.
“Dia itu suka main api…” Jawab Belinda tanpa ekspresi.
“Main Api…?” Guman Ari,”Terus gimana caranya biar dia nggak gangguin Tata?”
Belinda pun tertawa. Ari mulai agak takut mendengar tawa Belinda.
“Mana aku tahu…” kata Belinda di penghabisan tawanya,” Tanya saja sama kakek kamu.”
Ari masih memandangi Belinda. Dia berharap Belinda tidak tertawa lagi.
“Aku suka sama kamu,” kata Belinda dengan mata tajam,” Soalnya kamu sayang banget sama pacar kamu.”
Belinda tersenyum-senyum kecil. Dan Ari hanya bisa terpaku. Lalu Belinda mulai memandangi hujan yang terlihat di jendela.
“Aku mau main dulu…” Kata Belinda sembari berjingkat menuju jendela. Lalu dia menghilang di sana.
Kini tinggal Ari terduduk di ranjangnya memandangi jendela. Lalu Ari memutuskan untuk lekas-lekas tidur. Ari tahu, sebentar lagi Belinda pasti kembali. Tapi walau matanya terpejam, Ari masih tidak bisa tidur. Dia mulai teringat wajah kakek-kakek yang kata Belinda itu kakeknya. Ari berusaha mengingat kata-kata orang tua itu. Lalu bau melati mulai tercium oleh Ari. Ari sengaja tidak membuka matanya, dia tahu, Belinda pasti sudah menempel di langit-langit tepat di atasnya.
“Selamat tidur Ari…” Suara Belinda terdengar lirih dari atas.
Ari tetap tidak membuka matanya. Tapi lama-lama dia jadi terbiasa. Ari terbiasa dengan bau melati Belinda. Dan Ari pun mulai tertidur. Saat menjelang pagi, Ari terjaga. Belinda sudah tidak di sana. Ari pun memutuskan untuk bangun. Hari ini dia sengaja akan datang pagi-pagi ke sekolah.
Setelah siap berangkat, seperti biasa Ari mencari ibunya. Ternyata ibunya masih ada di kamar, terbaring di tempat tidur memakai selimut.
“Mama sakit?” tanya Ari khawatir.
“Kayaknya hari ini mama nggak kerja dulu,” kata ibu Ari dengan suara lemah,” Mama mau istirahat… Badan mama capek.”
“Mama sih, njahit mulu,” kata Ari.
“Iya kan kita butuh tabungan buat kuliah kamu nanti Ri,” kata ibu Ari.
Sementara Ari hanya bisa memandangi ibunya yang terlihat lemah. Sebenarnya Ari ingin bertanya tentang kakeknya. Tapi melihat kondisi ibunya, niat itu dia urungkan.
“Tadi malam mama mimpi kakek kamu…” kata ibu Ari.
“Mimpi kakek…?” Tanya Ari. Kini malah ibunya yang mulai bicara tentang kakeknya.
“Iya… Kakekmu bilang, mama nggak boleh terlalu khawatir tentang kamu…” kata ibu Ari sembari memandangi anaknya.
Ari manggut-manggut. Dia mulai mengingat-ingat sosok kakek-kakek yang mendatanginya tadi malam.
“Kakek sekarang dimana Ma?” tanya Ari.
“Nggak tahulah…Dia suka menghilang entah ke mana,”jawab ibu Ari,” Nggak tahu ke gunung, nggak tahu ke laut. Itu yang bikin nenek kamu menderita…”
“Ma, kakek Ari itu, di salah satu matanya ada bekas lukanya?” tanya Ari.