Ari berusaha mengumpulkan keberaniannya. Rasa marah mulai membakar jantungnya. Siapapun tidak akan pernah dia biarkan menyentuh Tata. Tidak hantu bayangan, tidak semua hantu yang gentayangan di sekolahnya, tidak juga hantu mata satu bertaring panjang yang ada di depannya. Sementara hantu mata satu itu belum selesai tertawa, Ari berlari cepat ke arahnya. Tikam dari belakang, kata kakeknya. Dengan rasa marah Ari menikam sosok itu dari belakang. Lalu ambil jantungnya, itu kata kakeknya lagi. Di benak Ari, siapapun yang akan mencelakai Tata, tidak akan dia biarkan hidup, termasuk hantu yang kini merasa kepanasan. Tangan Ari sudah menghuncam ke badan sosok itu yang kini meronta-ronta dengan suara jeritan menyayat. Lalu Ari terlontar ke lantai. Karena sosok itu seperti meledak. Ari yang berusaha bangun melihat sisa-sisa sosok itu yang terbakar api. Lalu asap berbau anyir mulai mengepul menyisakan abu yang bertaburan jatuh ke lantai. Dan Ari baru sadar nyala api yang tadi melayang-layang di sekitar Tata kini berjatuhan dan membakar apa saja yang ada di dekatnya.
“Ari!” Tata menghampiri Ari,” Kamu nggak apa-apa?” Tangan Tata mengusap-usap muka Ari yang penuh dengan abu.
“Nggak apa-apa Ta,” kata Ari sembari berusaha berdiri.
Sebenarnya badan Ari masih gemetar, tapi dia berusaha untuk terlihat tegar di depan Tata. Tata pun melihat tangan Ari yang merah seperti bekas terbakar. Seperti tangan Tata waktu habis kejadian di laboratorium komputer, tapi punya Ari lebih parah.
“Kita harus keluar dari sini Ta,” ujar Ari begitu melihat sekelilingnya yang mulai terbakar api.
Ari dan Tata melihat meja, kursi, lemari dan semua yang ada di sekelilingnya sudah dilalap api. Mereka cepat-cepat beranjak menuju pintu keluar. Tapi baru sampai depan pintu, seonggok besar kayu dari atap yang terbakar jatuh menghalangi mereka bejalan ke pintu. Mereka pun mencari jalan lain untuk keluar. Tapi sepertinya semua sudut ruang itu sudah penuh dengan api yang berkobar. Kini mereka sudah dikelilingi api yang menjilat-jilat. Ari dan Tata muai merasakan panas yang membakar kulit. Mereka hanya bisa jongkok, diam tak bisa ke mana-mana. Berkali-kali mereka berteriak minta tolong. Tapi sepertinya tidak ada yang mendengar di luar sana. Ari memandangi Tata. Badan Tata gemetar. Tata pun memandangi Ari. Mata Tata basah. Air matanya mengalir ke pipi. Bibirnya bergetar.
“Kita akan mati di sini Ri,” kata Tata lirih.
Ari cuma bisa memandangi Tata. Mulutnya kelu untuk mengatakan sesuatu. Bagaimanapun ketakutan juga melanda dirinya.
“Peluk aku Ri,” kata Tata.
Ari pun cepat memeluk Tata. Mengusap kepala Tata, seakan dia sedang melindungi Tata dengan badannya. Baru saja dia menyelamatkan Tata dari hantu mata satu bertaring panjang. Tapi bagaimana dengan api yang kini membakar semua yang ada di sekeliling mereka. Dengan mata nanar, Ari memandangi jilatan api yang sudah mendekat. Kulitnya sudah terasa terbakar. Ari pun mengeratkan dekapannya ke Tata. Kalaupun api sudah menghampiri mereka, dia berharap, dia duluan yang akan terbakar. Hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang.
“Jangan tinggalin aku ya Ri,” kata Tata dengan sisa suaranya.
Ari hanya bisa membenamkan wajahnya ke rambut Tata dengan mata terpejam. Karena kini asap tebal mulai melingkupi mereka. Ari merasa hidup mereka akan berakhir di sini. Mereka dilahirkan di hari yang sama, dan akan mati bersama di tempat ini.
Tiba-tiba terdengat bunyi keras benda yang berjatuhan. Ari melihat pintu yang terbakar disana dibongkar orang. Lalu seseorang masuk membawa alat pemadam dan menyemprotkan ke api di sekitarnya. Kobaran api pun sempat mengecil di sana. Ari mulai bisa melihat orang yang membawa alat pemadam. Itu Pak Min. Dan di belakang Pak Min ada Toha dan Wira.
“Ari!” suara Toha memanggil Ari.
Dengan terbatuk-batuk Ari mengajak Tata untuk cepat menuju ke sana. Ari membantu Tata untuk beranjak karena badan Tata sudah lemas karena asap yang dihirupnya. Ari dan Tata berusaha melewati api yang sempat meredup karena semprotan alat pemadam. Toha dan Wira yang sudah berhasil masuk segera membantu Ari dan Tata keluar dari tempat itu. Mereka pun berhasil keluar. Sementara onggokan-onggokan kayu yang terbakar mulai berjatuhan di ruangan itu.
Ari, Tata, Toha dan Pak Min berlari menjauhi laboratorium kimia. Dari lubang jendela dan ventilasi, asap hitam mulai keluar. Di salah satu sudut atap, api sudah terihat menjilat-jilat. Asap hitam tebal pun mulai bergumpalan membumbung ke langit. Di dekat parkir sepeda mereka berhenti berlari. Dengan nafas terengah, mereka hanya bisa memandangi laboratorium kimia yang mulai dilalap api. Semua orang yang ada di sekolah jadi panik. Nara pun terlihat menyusul ke parkir sepeda.