Komplotan Tidak Takut Hantu

Mohamad Novianto
Chapter #75

Bab 74 : Akhir Hantu Bayangan

Belasan mobil pemadam kebakaran memenuhi halaman sekolah. Suara sirine bersautan. Nyala lampu di atas mobil pemadam berkilat-kilat. Kru pemadam kebakaran sibuk keluar masuk. Ari, Toha, Wira dan Nara mengendap lewat jalan belakang. Mereka berusaha mengambil jalan memutar untuk sampai di ruang guru. Saat lewat tak jauh dari laboratorium kimia yang terbakar. Mereka berempat sempat berhenti sebentar. Di sekitar laboratorium kimia, kru pemadam kebakaran sibuk dengan selang panjang dan besar-besar. Tapi di antara hiruk pikuk mereka yang berjibaku memadamkan api, Ari dan ketiga temannya melihat beberapa yang ikut mondar-mandir di sana bukan manusia. Mereka seperti ikut panik. Ada sosok berbaju suster dengan mata mengeluarkan darah, lalu ada sosok yang berjalan kayang, ada juga sosok bongkok berwajah tengkorak. Tapi Ari dan ketiga temannya tidak melihat hantu bayangan.

“Hei anak-anak, keluar dari sini!” kata salah satu petugas pemadam yang memergoki mereka, ”Disini area berbahaya.”

Ari dan ketiga temannya berlari seolah akan keluar dari sekolah. Tapi begitu sampai di satu lorong kelas, mereka masuk ke pintu yang merupakan jalan tembus ke ruang guru. Sesampai di ruang guru mereka berhenti sebentar. Ruang itu sudah sepi. Tidak ada satu guru pun di sana. Hampir semua meja dan perkakas di sana sudah bersih dengan barang-barang. Sepertinya mereka sudah membawa semua barang-barang yang penting. Suasana sunyi makin mencekam. Tapi bukan itu yang membuat mereka tertahan untuk melangkah. Hantu bayangan ada di pikiran mereka. Karena bau bangkai kini mulai tercium. Toha, Wira dan Nara memang hanya tahu hantu bayangan dari gambar Ari. Tapi mencium bau yang mulai menyengat membuat mereka bergidik. Nara pun sudah merasa kedinginan. Dia mulai memakai tudung jaketnya. Sementara yang lain masih bimbang, Ari berusaha melangkahkan kakinya. Dia ambil daun kelor dari tas dan membuka plastiknya. Tapi belum Ari melangkah lebih jauh, dari samping terdengar langkah mendekat.

“Ngapain kalian ada di sini!” suara Pak Suman terdengar begitu keras.

Ari dan ketiga temannya sempat tersentak. Sosok Pak Suman ada di dekat mereka. Wajahnya terlihat begitu marah. Matanya melotot. Biji matanya seakan mau keluar. Otot-otot di leher dan tangannya tampak begitu tegang. Dan di tangan Pak Suman ada tongkat baseball yang digenggam erat. Ari pun berusaha menyembunyikan daun kelor di belakang punggungnya.

“Kami cuma mau lewat Pak…” sahut Ari cepat-cepat.

Ari mengira, Pak Suman saat ini bukan Pak Suman yang sebenarnya. Ada sesuatu yang mempengaruhi Pak Suman. Seperti Ari pernah melihat bapaknya, saat sebelum bapaknya meninggal.

“Kalian anak-anak yang tidak bisa diatur!” bentak Pak Suman yang mulai menggerak-gerakkan tongkat baseball di tangannya.

“Pak Suman… Sadar Pak,” kata Ari spontan. Ari melihat Pak Suman seperti bapaknya waktu itu. Dan Ari ingin mengingatkan Pak Suman untuk sadar, karena waktu itu itu dia tidak pernah mengingatkan bapaknya, hingga bapaknya meninggal. Tapi sepertinya sudah terlambat. Mata Pak Suman sudah memerah. Bibirnya bergetar-getar. Dan dia sudah mengangkat tongkat baseball-nya.

“Kalian memang anak-anak tak tahu diuntung!” suara Pak Suman makin keras,” Dari pada saya skors kalian, mendingan saya hukum pakai tongkat ini!”

Di depan Ari, Pak Suman siap mengayunkan tongkat baseball-nya. Ari pun sudah siap-siap mundur. Tapi dari belakang terdengar langkah orang berlari mendekat.

“Pak Suman! Tunggu!” Suara Pak Riza terdengar dari belakang.

Pak Riza terlihat berjalan hati-hati mendekati Pak Suman.

“Pak Suman… Sadar Pak Suman,” Pak Riza sudah di dekat Pak Suman. Dia mengulurkan tangannya untuk meminta tongkat baseball yang ada di Pak Suman.

“Riza! Ngapain kamu di sini!” bentak Pak Suman sembari masih mengangkat tongkat baseball-nya, ”Seharusnya kamu sudah keluar dari sini!”

“Pak Suman, tenang… Sabar Pak,” Pak Riza mencoba menenangkan Pak Suman,”Saya memang sudah keluar… Tapi nggak apa-apa Pak. Sekarang Pak Suman musti sadar dulu. Pak Suman sekarang sedang kacau pikirannya. Sadar Pak…”

Tapi sepertinya Pak Suman tidak mendengarkan kata-kata Pak Riza. Tongkat baseball di tangannya sudah siap terayun di depan Ari. Pak Riza dengan sigap menangkap pergelangan tangan Pak Suman. Pak Riza pun berhasil menahan tongkat baseball terayun ke Ari. Lalu terjadi perebutan tongkat baseball antara Pak Riza dan Pak Suman. Mereka saling dorong ke samping dan belakang. Tapi sepertinya Pak Riza lebih kuat dari Pak Suman. Pak Suman mulai oleng. Mereka berdua terjerembab ke lantai. Dan kepala Pak Suman sempat terbentur lantai. Tongkat baseball terlepas dan menggelinding. Pak Riza berusaha bangkit. Sementara Pak Suman masih tergeletak.

“Pak Riza!” Ari mendekati Pak Riza, diikuti teman-temannya.

Ari begitu lega tiba-tiba Pak Riza ada di sini. Dia tak pernah mengira Pak Riza akan kembali.

“Tadi kebetulan saya lewat sini,” kata Pak Riza,” Saya lihat ada kebakaran. Terus saya lihat di parkir cuma ada mobil Nara. Saya menebak kalian masih di sini. Terus saya coba cek ke sini.”

Lalu Pak Riza memeriksa kondisi Pak Suman.

“Gimana Pak Suman Pak?” tanya Ari.

“Sepertinya dia pingsan,” kata Pak Riza sembari memeriksa leher Pak Suman,”Kita harus cepat bawa dia ke rumah sakit. Sementara kita bawa dia keluar. Nanti di luar banyak petugas pemadam yang akan bantu.”

Toha dan Wira mencoba menolong Pak Riza mengangkat Pak Suman keluar. Mereka berdua membiarkan Ari di dalam untuk meneruskan misi. Karena sebenarnya sedari tadi, mereka berempat semakin lama semakin mencium bau bangkai yang menyengat. Sementara di dalam, tinggal Ari dan Nara. Nara pun mulai mendekap badannya karena kedinginan. Ari dan Nara merasa hantu bayangan tak jauh dari mereka. Lalu Ari melangkah lebih dalam masuk ke ruangan. Perasaan Ari mengatakan hantu itu kini semakin dekat.

“Ari! Sebaiknya kita tunggu yang lain,” pekik Nara tertahan. Dia khawatir karena Ari maju sendirian.

Ari hanya menoleh ke Nara. Pandangannya meyakinkan Nara untuk percaya padanya. Lalu Ari berusaha mengacung-acungkan sebatang daun kelor yang dia bawa. Tak berapa lama, Ari melihat bayangan berkelebat di langit-langit. Ari berhenti melangkah. Kini dia melihat di dinding sesosok bayangan sedang bergerak mendekat. Dan bayangan itu berhenti di dinding tepat di depan Ari. Bayangan di dinding itu membentuk kepala, badan, kaki dan tangan dengan jari yang panjang-panjang.

“Ari ada apa?” Suara Nara terdengar di belakang.

Lihat selengkapnya