Sehabis mandi, Ari duduk di depan meja belajarnya. Ari lega, Ujian Akhir Semester sudah selesai, tinggal menunggu pembagian rapot minggu depan. Satu-persatu Ari rapikan buku-bukunya yang masih berantakan. Lalu Ari mulai teringat Tata. Ingin sekali Ari menghubungi Tata malam ini. Menceritakan apa yang telah dia lalui hari ini. Tapi saat masih jam segini, ibunya Tata pasti masih bersama Tata. Ponsel Ari berdering. Ari berharap dari Tata. Tapi ternyata dari Nara.
“Halo Ri? Lagi ngapain Lo?” tanya Nara di ponsel Ari.
“Nggak lagi ngapa-ngapain Ra,” jawab Ari,”Gue sebenarnya mau nemuin lo tadi siang abis ujian Ra. Tapi gue kok inget papa gue, Jadi gue tadi ke kuburan papa gue.”
“Iya Ri… Gue minta maaf atas omongan gue waktu itu,” kata Nara,” Gue tahu, lo bener-bener sayang sama papa lo. Gue lama-lama jadi mikir, ngapain juga gue mikirin om ipar gue, sama papa gue aja gue jarang bicara.”
Ari langsung merasa iba pada Nara. Bapak dan ibu Nara sudah punya keluarga baru sendiri-sendiri. Dan Nara tidak pernah mau diajak bapak atau ibunya. Nara tidak pernah mau keluarga baru. Kini Nara hanya tinggal sendiri dengan tiga pembantunya. Walau serba kecukupan, Ari tahu, Nara pasti kesepian.
“Ra, tapi lo masih mau cari-cari info kan?”
“Tahu deh Ri…”
“Ra, please… Bantuin gue dong…”
“Lo nya juga gitu sih… Kadang semangat… Kadang kagak…”
“Iye… Iye… Gue semangat kok,” kata Ari sok semangat,” Kalau perlu, mumpung besok-besok libur, gue main ke rumah lo, buat ngomongin masalah ini… Boleh nggak?”
“Ya udah… Kalau mau ke sini, ya ke sini aja,” kata Nara sok cool,” Tapi, sebenernya ada yang mau gue ceritain ke lo.”
“Cerita apaan?”
“Tapi janji nggak cerita ke siapa-siapa ya,” kata Nara,” Ah, tapi ntar lo pasti cerita ke Tata deh…”
“Mmmm…” Ari bingung juga. Mana mungkin dia menutup-nutupi sesuatu ke Tata.
“Tapi ngga apa-apa deh,” kata Nara lagi,”Gue percaya kok sama Tata.”
“Emang mau cerita apaan sih?” Ari penasaran.
“Gini Ri, tadi malem tuh Bang Yudha main ke rumah… Sebelumnya tuh kita udah sering telpon-telponan. Gue juga udah cerita tuh yang masalah om ipar gue. Tapi tadi malem, dia bilang ke gue, kalau dia naksir gue. Terus dia ngajak jadian…”
“Terus lo bilang apa?”
“Ya… Gue bilang ke Bang Yudha, gue mau pikir-pikir dulu.”
“Terus Bang Yudha bilang apa?”
“Dia bilang, dia akan bersabar nunggu jawaban gue… Terus dia juga bilang, kalau gue punya bakat… Dia ngajak gue untuk belajar di padepokannya… Tapi gue bilang, gue mau ngajak temen-temen. Gue bilang temen-temen punya bakat lebih dari gue. Terutama lo Ri…”
Sebenarnya tidak ada yang membuat Ari tertarik dengan padepokan itu. Dia lebih percaya pada kakeknya yang baru dia temui tadi siang. Dan tentang Bang Yudha yang naksir Nara, Ari merasa tidak tahu harus bilang apa. Dia hanya bisa membayangkan beda umur yang jauh antara Bang Yudha dan Nara. Malahan Ari ingin Nara dan Wira bisa jadian lagi. Mungkin nanti dia bisa tanya pendapat Tata. Justru saat ini, Ari lebih tertarik pada apa kata Bang Yudha setelah Nara cerita tentang om ipar Nara.
“Gimana Ri…?” tanya Nara.
“Lo mending ajak tuh si Toha Ra,” jawab Ari,”Dia kan pengagum berat tuh sama orang padepokan.”
“Oh, Iya… Toha pasti mau tuh kalau gue ajak.”
“Eh, Ra… Waktu lo cerita tentang om ipar lo… Apa kata Bang Yudha?” tanya Ari tak sabar.
“Kata Bang Yudha, mungkin kita bisa runut dari benda yang ditanam di ruang kepala sekolah,” jawab Nara,” Kata dia, kemungkinan besar, benda yang di tanam di sana itu syarat untuk bisa jadi kepala sekolah."
“Bisa jadi sih Ra…”
“Tapi bener dugaan gue Ri… Kata Bang Yudha, tuh hantu pasti ada perantaranya, kayak dukun gitu Ri… Dia yang nyuruh tanem sesuatu di ruang kepala sekolah itu…“
“Maksud lo kita musti cari dukunnya Ra?”
“Iya Ri…”
Ari jadi berpikir, persoalannya sekarang malah tambah rumit. Lalu ada panggilan di ponsel Ari. Ternyata dari Tata. Ari minta maaf ke Nara harus mengangkat panggikan Tata. Nara pun maklum. Sebelumnya Nara ingatkan rencana Ari yang mau datang ke rumahnya. Ari pun memutus sambungannya dengan Nara.
“Halo Ta,”Ari langsung menjawab panggilan Tata,”Sori tadi aku lagi online sama Nara.”
“Wah, ganggu dong Ri?” tanya Tata di ponsel Ari.
“Nggak kok…” Bagaimana mungkin Ari tidak mengutamakan panggilan dari Tata,” Ta, aku mau cerita banyak nih sama kamu... Kamu ada waktu?”
“Boleh Ri,”jawab Tata,”Mama aku lagi pergi ke rumah bude kok Ri.”
Lalu Ari cerita ke Tata, bagaimana dia bertemu kakeknya dan apa yang telah dialaminya waktu diajak jalan-jalan kakeknya. Juga pembicaraannya dengan Nara barusan.
“Ih serem ya Ri…” kata Tata,”Kamu nggak takut Ri, waktu diajak jalan-jalan sama kakek kamu?”
“Nggak sih Ta… Cuma aneh aja.”
“Terus waktu kamu balik di kamar, kamu nggak kenapa-kenapa?”
“Mmm… Nggak sih Ta, aku baik-baik aja… Eh Ta, yang kata Bang Yudha, yang Nara bilang, menurut kamu gimana?”