Komplotan Tidak Takut Hantu

Mohamad Novianto
Chapter #79

Bab 78 : Saudara yang Tak Akan Terpisahkan

“Ari, kita harus pergi…” suara Belinda lirih di belakang Ari.

Ari menoleh ke arah Belinda. Sosok remaja berambut pirang itu terlihat gelisah. Tidak tersenyum seperti biasanya.

“Mereka sudah pada bangun,” suara Belinda mendesis.

“Mereka siapa?” tanya Ari.

“Yang tinggal di hutan kering,” jawab Belinda.

Ari mengira, yang dimaksud Belinda mungkin gundukan-gundukan rumput yang Ari lihat diantara pohon-pohon kering. Ari melihat seperti ada bentuk tangan dan kaki di sana. Nyali Ari sempat menciut. Belinda sudah mendekat ke Ari dan mengulurkan tangannya. Ari menyempatkan menoleh ke arah kamar Tata, seakan belum puas melihat Tata tidur di ranjangnya. Tapi Ari tahu harus segera pergi dari situ. Ari lekatkan pandangannya ke wajah Tata yang pulas tertidur. Ari hanya bisa berpamitan ke Tata dalam hati. Lalu Ari menyambut tangan Belinda.

Langkah Belinda semakin lama semakin cepat. Ari merasa ditarik begitu kencang. Ari melihat batang-batang pohon kering di sekitarnya melesat cepat ke belakang. Dan Ari merasa kakinya sudah tidak menapak tanah lagi. Lalu Ari mulai mendengar suara-suara. Seperti suara burung yang mencicit. Semakin lama suara itu semakin keras terdengar dari berbagai arah. Sekilas Ari melihat kanan kiri. Banyak bayangan berkelebat di antara batang-batang pohon. Semakin Ari perhatikan, mereka sosok-sosok berbaju putih dan berambut panjang. Ari tahu mereka sedang mengejarnya. Satu sosok sepertinya sudah tak jauh di belakang Ari. Ari bisa melihat baju putihnya yang belepotan tanah dan banyak kerikil menempel di sana. Lalu ada batang-batang rumput yang tumbuh di punggungnya. Mata sosok itu merah menyala. Ari mengalihkan pandangannya ke Belinda. Belinda terlihat ketakutan. Tarikan tangan Belinda pun semakin kencang. Ari merasa melaju begitu cepat hingga dia tidak bisa melihat dengan jelas kanan kirinya. Ari hanya bisa melihat sosok Belinda di depannya yang sekarang seperti terbang. Lalu di depan, Ari mulai melihat padang rumput yang Ari kenal. Ari pun jatuh tersungkur. Dia merasa terseret begitu cepat di atas rumput. Ari hanya bisa memejamkan matanya.

 Ari membuka matanya. Dia sudah ada di kamarnya. Posisinya tersungkur di lantai dekat ranjangnya.

“Ari ada apa?” Ibu Ari masuk ke kamar Ari dengan wajah khawatir. Barusan tadi dia mendengar suara gaduh di kamar Ari.

Ari mencoba bangun tapi ada yang terasa sakit di bagian lengannya.

“Ari kamu kenapa?” Ibu Ari bertambah khawatir. Dia berusaha membantu Ari untuk bangun.

“Ari nggak apa-apa Ma…” jawab Ari sembari meringis menahan sakit. Dia tidak mau membuat ibunya khawatir.

“Bener kamu nggak kenapa-kenapa?” Ibu Ari masih khawatir.

“Benaran Ma…” Jawab Ari. Posisinya sudah duduk di atas lantai,” Mmm… Ari tadi ketiduran. Terus jatuh…”

Ibu Ari terlihat sedikit lega.

“Iya sudah… Tidur lagi sana,” Ibu Ari masih memperhatikan anaknya sebelum keluar,”Kok kayak bau melati ya?” Tanya ibu Ari tiba-tiba. Dia menghentikan langkahnya dan mencoba menajamkan penciumannya.

Ibu Ari memandangi anaknya. Ari hanya mengangkat bahunya sambil pura-pura mengantuk. Ibu Ari hanya mengangguk dan keluar menutup pintu kamar Ari. Ibu Ari tahu, sesuatu terjadi pada Ari. Dia tahu, takdir Ari akan seperti takdir kakeknya. Sebenarnya ibu Ari ingin Ari menjadi seperti bapaknya. Tapi kini dia sudah pasrah.

Ari berusaha bangkit dan duduk di ranjangnya. Dari tadi dia memang sudah mencium bau melati yang dia kenal. Dia tahu ada yang sudah membujur di langit-langit tepat di atas ranjangnya.

“Aku capek…” suara Belinda lirih di atas Ari.

Ari mendongak ke atas, melihat Belinda sudah menempel di langit-langit. Belinda memang terlihat kecapekan. Mata merah birunya terlihat sayu.

“Boleh kan aku tidur di sini?” tanya Belinda.

Ari mengangguk. Lama-lama Ari terbiasa dengan Belinda ada di dekatnya.

“Terima kasih ya, sudah antar aku ke tempat Tata,” kata Ari dengan suara tulus. Selintas terpikir, dia mungkin tidak akan pernah ke sana lagi.

Belinda mengangguk. Senyumnya sedikit tersungging. Lalu pelan dia memejamkan matanya. Ari pun mulai merebahkan badannya di ranjang. Dia pandangi sosok Belinda yang pulas tertidur tepat di atasnya. Setelah pengalaman dengan kakeknya, kini dia punya pengalaman dengan Belinda. Ari tak sabar untuk bertemu Tata, menceritakan semua peristiwa yang dia alami.

***

Pagi jam 8 Ari sudah sampai di sekolah. Hari ini dia ada janji dengan Nara. Barusan tadi Ari melihat mobil Nara masuk gerbang menuju area parkir. Ari menunggu di pinggir tempat parkir. Walau hari ini libur, ada beberapa murid yang datang ke sekolah. Mungkin masih ada kegiatan ekstrakurikuler. Nara pun sudah bertemu Ari.

“Yuk Ri kita ke tempat Pak Min,”kata Nara,” Gue bawain Pak Min makanan,” Nara sudah menenteng satu plastik makanan cepat saji.

Lalu Ari dan Nara menuju rumah Pak Min. Nara menyerahkan bingkisan makanannya ke Pak Min. Pak Min berterimakasih ke Nara dan mempersilahkan Ari dan Nara duduk. Lalu Ari menanyakan perihal lantai ruang kepala sekolah yang pernah dibongkar.

“Wah itu udah lama sekali ya,” kata Pak Min mencoba mengingat-ingat.

“Kapan itu Pak Min?” tanya Ari tak sabar.

“Waduh kalau tahunnya saya nggak ingat,” jawab Pak Min,”Tapi kalau nggak salah, dulu yang nyuruh bongkar itu Pak Nando.”

Ari dan Nara saling pandang. Pak Nando adalah paman ipar Nara.

“Pak Min yakin?” tanya Nara,

“Iya deh kayaknya,” jawab Pak Min,”Soalnya dulu yang bawa mandornya Pak Nando sendiri. Dan saya tuh kenal sama mandornya.”

“Pak Min tahu ada yang di tanam di bawah lantainya?” tanya Ari.

“Wah nggak tahu ya,” jawab Pak Min,” Itu kan cuma lantainya yang diganti baru.”

Nara melirik ke Ari karena pertanyaan Ari mungkin sudah terlalu jauh.

“Pak Min tahu rumahnya mandornya,” tanya Nara.

“Tahu,”jawab Pak Min,”Saya pernah minta tolong benerin mesin air.”

“Pak Min, bisa minta tolong anterin ke rumahnya?” pinta Nara.

“Bisa… Bisa Neng,” jawab Pak Min,” Tapi maaf Neng… Buat apa Neng Nara tanya-tanya beginian,” tanya Pak Min penasaran.

Nara sempat terdiam karena tidak bisa menjawab pertanyaan Pak Min.

“Pak Nando itu om iparnya Nara Pak Min,” Ari mencoba menjelaskan,” Kita lagi selidiki penyebab kematiannya om ipar Nara ini.”

Pak Min pun mengangguk-angguk. Sepertinya dia akan siap untuk mengantar Nara kemanapun.

***

Lihat selengkapnya