Malam ini cerah. Langit bertabur bintang. Ari, Tata, Toha, Wira dan Nara ada di pinggir kolam renang. Malam ini mereka mengadakan acara bakar sate. Pembantu Nara sudah menyediakan tusukan-tusukan sate untuk dibakar. Wira terlihat paling sibuk membakar sate dengan tak berhenti menggerakkan kipasnya. Ari membantu membolak-balik sate. Toha sesekali memberi bumbu dan sesekali menyantap duluan sate yang baru matang. Mereka cowok-cowok, kali ini sengaja memanjakan cewek-cewek untuk hanya duduk manis di sofa menunggu satenya matang. Tata dan Nara memang dari tadi cuma senyum-senyum memandangi cowok-cowok sibuk di antara asap bakaran sate. Apalagi Wira sudah mulai kesal dengan Toha yang sudah banyak menghabiskan sate duluan. Dan Tata malam ini benar-benar bahagia di antara mereka. Malam ini dia tidur di rumah Nara. Tadi sore sopirnya mengantar baju dan perkakas yang diperlukan. Ibu Tata benar-benar tidak curiga pada Nara, jika Nara adalah teman Ari yang tak terpisahkan. Bahkan bisa saja Tata menginap dua hari lagi di rumah Nara. Ari sengaja memisahkan beberapa tusuk sate di satu piring untuk diberikan ke Tata dan Nara.
“Silahkan tuan putri,” Ari menyerahkan sepiring sate ke Tata dan Nara yang duduk santai di sofa.
Tata dan Nara menerimanya dengan senyum-senyum. Lalu Ari kembali untuk mengambil sate lagi. Tapi langkah Ari tertahan. Perasaannya mulai tidak enak. Pandangannya mulai mengarah ke pagar depan rumah Nara yang memang sedikit terlihat dari area kolam renang. Ari merasa ada sesuatu disana. Lalu Ari melihat teman-temannya. Wira terlihat berhenti menggerakkan kipasnya. Toha berhenti mengunyah. Dan Nara mulai memakai jaketnya karena kedinginan. Tinggal Tata yang kebingungan melihat perubahan sikap teman-temannya.
“Ada apa Ri,” suara Tata tertahan meminta penjelasan.
Ari mencoba memandangi sekitar. Lalu dia melihat Tata. Ari melihat Tata masih memakai kalungnya.
“Kamu tenang aja Ta…” kata Ari sembari menyembunyikan ketegangannya.
Lalu Ari memandang ke arah pagar lagi. Di luar pagar gelap. Tapi Ari bisa melihat ada rombongan berjalan di jalan depan rumah Nara. Toha dan Wira sudah berdiri di dekat Ari memandang ke arah yang sama. Mereka lihat rombongan itu semakin panjang, berjalan pelan ke satu arah. Di tengah rombongan itu, beberapa sedang mengangkat keranda. Ari, Toha dan Wira saling pandang. Karena kini mereka bisa melihat jelas, semua rombongan itu tidak berkepala. Hingga jalan kembali lengang. Menyisakan bunyi jangkrik yang sayup terdengar dari luar. Nara pun sudah melepas jaketnya.
“Tenang Gaes…” kata Nara pelan,” Mereka cuman lewat doang… Biasa kalau malem jumat, mereka memang suka lewat depan rumah… Soalnya di sebelah sana ada bukit bekas kuburan.”
“Nggak bakal masuk rumah lo kan Ra?” tanya Toha sedikit cemas.
“Nggak sih,” kata Nara,” Kakek gue dulu pernah datengin orang untuk magerin rumah ini… Dulu waktu aku masih kecil… Waktu mama sama papa belum cerai…”
Raut Nara seketika berubah setelah tak sengaja bicara perceraian orang tuanya. Tata yang melihat ada kesedihan melintas di raut Nara langsung merangkul Nara dan memegang tangannya.
“Ri! Jangan bengong aja… Nih satenya udah siap diangkat,” Seru Wira mencoba mengalihkan suasana.
Ari pun cepat-cepan mengambil sate dan meletakkannya di meja dekat sofa. Toha pun mulai mendekat ke meja. Dia tidak akan jauh-jauh dari tempat dimana ada sate berada.
“Jadi lo selama ini aman ya Ra di rumah lo,” kata Toha basa-basi sambil mengambil sate.
“Iya… Nggak pernah ada kejadian di sini,” jawab Nara.
“Harusnya rumah kamu juga dipagarin Ta,” kata Toha ke Tata sembari mengunyah satenya.
“Iya sih…” Kini Tata yang terlihat sedih karena merasa orang tuanya tidak mengerti kondisinya.
“Nggak masalah sih itu,” sergah Nara sengaja menghibur Tata,” Kan udah ada kalung dari bapak lo Ha. Lagian Tata kan ada Ari yang sedia setiap saat… Iya kan Ta?”
“Iya sih Ra…” jawab Tata. Kini senyumnya tersungging sambil memandangi Ari.
“Sekolah kita juga aman sekarang,” cetus Toha,” Kalau ada apa-apa, Nara tinggal telpon Bang Yudha… Iya kan Ra?”
Nara yang ditanya begitu langsung sewot dan melotot ke Toha. Dia akan menjaga rapat-rapat tentang Bang Yudha yang mengajak jadian. Hanya Ari dan Tata yang boleh tahu.
“Emang kalian jadi mau belajar sama Bang Yudha di padepokan,” kata Ari menetralisir suasana kikuk Nara dan Toha.
“Iya lah,” kata Toha,” Kalau gue udah jago, kita nggak perlu Bang Yudha lagi buat amanin sekolah.”
“Kenapa kamu nggak belajar sama bapak kamu aja Ha?” tanya Tata penasaran.
“Bokap mah beda Ta,” jawab Toha,” Dia nggak mau bersinggungan langsung sama dunia lain… Dia cuma mau ngelihat sama ngasih informasi.”
“Si Ari sama Wira nih… Nggak mau diajak belajar di padepokan… Nggak kompak,” kata Nara.
“Gue nggak perlu belajar gitu-gituan,” cetus Wira tanpa berhenti mengipas bakaran satenya,”Gue tinggal minta kakek gue…”
“Cincin maksud lo?” tanya Toha.
“Iya apa lah,” jawab Toha,” Sesuatu yang bise ngelindungin gue…”
“Bukannya lo udah kapok Wir,” sergah Ari.
“Waktu itu gue masih polos,” Wira menjelaskan,” Sekarang dikit-dikit gue udah bisa kontrol.”
“Kalau Ari mah kakeknya sakti…” cetus Toha.
“Eh gimana kakek kamu Ri?” tanya Nara,” kamu ketemu dia lagi?”
Sebenarnya Ari ingin cerita tentang pertemuan dengan kakeknya yang sebelumnya dia hanya cerita ke Tata. Hingga Ari cuma memandangi Tata.
“Ih… mau cerita aja kok musti minta ijin Tata,” kata Nara,” Boleh kan Ari cerita Ta?”
“Boleh… Boleh kok,” jawab Tata yang geli melihat tingkah Ari.