Pagi-pagi, begitu bangun tidur, Ari mendapati pesan dari Tata di ponselnya. Isinya, Tata ingin Ari, Toha dan Wira datang lagi ke rumah Nara hari ini. Ari langsung beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Ari bergegas mempersiapkan semuanya. Tapi di tengah semangatnya untuk bertemu Tata lagi, Ari sedikit merasa aneh. Tidak biasanya Tata mengirim pesan sesingkat itu. Dan Tata mengirimkannya jam tiga pagi.
Kali ini Ari meminjam motor ibunya. Sampai di rumah Nara, Ari masih kepagian. Nara baru bangun.
“Semangat banget lo Ri,” Nara mengucek matanya sembari mengantar Ari ke ruang tamu.
“Emang siapa lagi yang ulang tahun Ra?” tanya Ari.
“Lah… Emang Tata nggak bilang apa gitu sama lo?” Nara balik tanya.
“Nggak tuh…” Jawab Ari.
Kini Nara yang jadi heran. Lalu Nara minta ijin mandi dan bebenah. Ari pun menunggu di ruang tamu. Selang satu jam, Tata datang diantar sopirnya. Seperti biasa, Ari sembunyi dulu supaya tidak ketahuan sopir Tata. Walau wajah Tata ceria saat bertemu Ari tapi Ari tahu ada sesuatu yang sedang dipikirkan Tata.
“Ada apa sih Ta?” tanya Ari.
“Mmm… Ntar aku ceritain deh kalau udah ada Toha ama Wira,” jawab Tata terbata sembari membuka pizza bawaannya.
Tapi sepertinya Ari dan Nara tidak begitu tertarik dengan pizza, karena walau Tata berusaha untuk bersikap normal, tetap saja terlihat sesuatu sedang dipikirkannya. Ari pun mengutuki Toha dan Wira yang selalu datang ngaret. Hampir setengah jam kemudian, terdengar suara vespa Wira. Toha dan Wira masuk ruang tamu dengan ceria dan langsung menyerbu pizza yang ada di meja.
“Hoi gaes… Bisa sabar dikit nggak sih,” sergah Nara ke Toha dan Wira,” Ini ada yang mau disampaikan sama Tata…”
Seketika Toha dan Wira berhenti mengunyah.
“Ada apa sih Ta?” tanya Toha dengan setengah mulutnya penuh dengan pizza.
“Mmm… Jadi gini…” kata Tata sembari mengatur duduknya,”Tadi malam tuh mamaku ngobrol sama aku. Ternyata kemarin di sekolah ada pertemuan sekitar sepuluh orang tua murid dengan Bu Mulyani.”
“Bu Mulyani kepala sekolah baru?” tanya Toha spontan.
“Ya iya lah siapa lagi,” timpal Wira sewot.
“Iya, termasuk mamaku dan mamanya Jodi juga ikut di pertemuan itu,” Tata menjelaskan,” Mereka mengadu ke kepala sekolah masalah gangguan hantu yang kemarin-kemarin sering terjadi…”
“Terus?” tanya Nara tak sabar.
“Ya gitu…” Tata agak ragu mengatakannya,” Mereka itu bawa nama-nama kalian…”
“Maksudnya nama kita?” tanya Ari.
“Iya… Kalian… Ari, Toha, Wira sama Nara,”jawab Tata,”Mereka bilang, karena kegiatan kalian, hantu-hantu jadi berdatangan dan bikin murid lain pada takut masuk sekolah.”
“Wah, ini pasti akal-akalannya kelompoknya Drako,” sergah Toha,”Pada ngadu yang nggak bener sama orang tuanya.”
“Memang kurang ajar itu Drako,”Wira menimpali,”Pasti orang tuanya ikutan juga kan Ta?”
“Iya sih kata mamaku…” jawab Tata.
“Terus… Terus gimana Ta?” tanya Nara.
“Terus ya gitu…”Lagi-lagi Tata ragu untuk mengatakannya,” Mereka mengusulkan…”
“Mereka mengusulkan apa Ta?” tanya Ari.
“Mereka… Mereka mengusulkan kalian dikeluarkan dari sekolah…”
Ari, Toha, Wira dan Nara saling pandang.
“Tapi kata Bu Mulyani, pihak sekolah nggak bisa keluarin murid begitu saja,” Tata langsung menimpali.
“Terus?” tanya Ari.
“Akhirnya disepakati pihak sekolah akan mendatangkan psikiater buat kalian,” Tata menjelaskan.
Nara yang di sebelah Tata, posisi duduknya terlihat lemas. Toha bengong hingga lupa mengunyah pizzanya. Muka Wira terlihat menahan emosi dengan tangan terkepal. Dan Ari hanya melihat Tata yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Maafin aku ya teman-teman…” Suara Tata serak,”Kalian jadi banyak masalah di sekolah… Kalian nggak benci aku kan?”
Nara memandangi Tata sebentar. Lalu dia mendekap Tata.