Ari pelan menutup kamar ibunya. Dia lega, ibunya mau mendengar kata-katanya untuk istirahat. Saat masuk kamarnya, Ari lihat di jendela, hujan terlihat mulai reda. Ari sudah terbiasa begitu bau melati kembali tercium. Dia tahu, sosok Belinda sudah menempel di langit-langit di atas ranjangnya. Tapi Ari tidak begitu mempedulikannya. Karena dia ingin bicara dengan Wira saat ini. Ari pun menghubungi nomor Wira.
“Wir dimana lo?” tanya Ari.
“Gue lagi di tempat kakek gue,” jawab Wira di ponsel Ari.
“Di Jawa?” tanya Ari lagi.
“Iya… Kayaknya gue mau minta cincin lagi sama kakek gue…”
“Yakin lo Wir.”
“Menurut lo… Kemarin Pak Riza kan bilang tentang misi ke kita… Ri, kita musti punya sesuatu.”
“Tapi kita kan cuma disuruh kasih info Wir.”
“Ri.. Lo gimana sih… Tahu sendiri kita lagi berurusan dengan hal kayak ginian…”
“Iya juga sih Wir.”
Ari pikir Wira ada benarnya. Dia tidak bisa membayangkan kalau Wira tidak memakai cincinnya waktu mereka berusaha menyelamatkan Nara di aula setahun yang lalu. Tapi berawal dari peristiwa itu juga mereka kini sedang dicari-cari. Lalu Ari cerita ke Wira apa yang dikatakan Belinda tentang ratusan sosok yang sedang menuju sekolah mereka. Ari yakin mereka sedang mencari Wira, Tata dan juga dirinya.
“Beneran lo Ri?” ada kecemasan di suara Wira.
“Tapi mereka nggak bisa lewat pagar yang dibuat orang padepokan…”
“Yakin mereka nggak masuk Ri… Kita harus belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya…”
“Tapi kita sekarang kan ada Bang Yudha… Tinggal bilang sama Nara aja untuk panggil Bang…” Ari tidak meneruskan kata-katanya. Dia merasa sudah keceplosan membahas Bang Yudha. Apalagi dia tahu kalau Bang Yudha mengajak Nara jadian. Hanya dia dan Tata yang tahu.
“Ah Bang Yudha…” kata Wira dengan suara tidak suka,” Emang mereka bisa diandelin?”
Ari tahu, Wira agak emosi kalau membahas Bang Yudha. Tapi Ari merasa mereka mungkin akan membutuhkan Bang Yudha dan orang padepokan.”
Lo takut Ri?” Tanya Wira.
“Mmm… Nggak sih Wir… Cuma khawatir aja…”
“Khawatir Tata maksud lo?”
“Iya… Apalagi tadi siang kan gue lihat bola api…”
“Kalau nggak lo coba nanya ke bokapnya Toha deh Ri.”
“Iya bener juga Wir.”
“Eh ngomong-ngomong soal Toha, tadi dia nelpon gue. Dia mau pinjem duwit buat bayar study tour. Kata gue… Gue adanya cuman setengahnya… Itu juga adanya minggu depan. Lo ada nggak Ri?”
“Apalagi gue Wir… Gue aja ngambil tabungan mama gue.”
“Lo telpon deh si Toha. Takutnya dia nggak bisa ikut study tour. Sekalian nanya-nanya sama bokapnya.”
“Ok… Ok…”
Lalu Ari menutup sambungan ponsel Wira dan menelpon Toha.
“Halo Ha, dimana lo?” tanya Ari.
“Di rumah… Kenapa Ri?” tanya Toha di ponsel Ari.
“Lo ntar ikut study tour kan?” Ari memancing dengan pertanyaan.
“Iya ikut Ri…”
“Mmm… Katanya lo mau pinjem duwit sama Wira?”
“O… Udah kok… Gue nanti ikut… Ada yang ngasih… Eh…” Toha tidak melanjutkan kata-katanya.
“Ada yang ngasih Ha? Maksud lo?”
“Wah gimana ya… Gue keceplosan nih…”
“Keceplosan gimana?”
“Iya Ri… Soalnya gue nggak boleh bilang-bilang sama yang ngasih…”
“Nggak boleh bilang-bilang?” Ari penasaran.
“Iya Ri… Tapi sebenarnya gue pengen banget bilang sama lo… Tapi kalau gue bilang ke lo, janji ya lo nggak cerita ke yang ngasih kalau gue bilang sama lo.”
“Iya deh janji.”
“Yang ngasih itu Tata Ri… Soalnya Si Astri tadinya kan rencananya nggak ikut, karena nggak ada beayanya juga. Nah si Tata maunya Astri ikut. Trus Astri dikasih sama Tata. Terus Astri juga cerita soal gue. Terus gue dikasih juga deh sama Tata. Jangan bilang-bilang ya Ri sama Tata…”
“Iye gue nggak akan bilang…”
Ari jadi ingat perkataan ibunya, kalau Tata itu baik hatinya.
“Eh, Ha… Bola api yang gue lihat di sekolah, lo bisa tanyain nggak Ha ke bokap lo?” tanya Ari.
“Gue udah cerita ke bokap sih Ri…”
“Terus gimana?”
“Kata Bokap, bola api itu bukan wujud aslinya.”
“Jadi aslinya gimana?”
“Belum bisa dilihat sih kata bokap… Tapi katanya dia asalnya dari pelabuhan… Terus kalau sampai bisa jadi bola api gitu, dia itu bukan hantu sembarangan...”
Kekhawatiran Ari jadi bertambah besar. Sepertinya sekolah mereka sudah didatangi sosok yang mungkin jauh lebih menyeramkan dari yang sudah-sudah.
“Ha, lo takut?”
“Kata bokap, kita nggak perlu takut Ri… Anggap aja mereka mahluk juga, kaya binatang atau tumbuhan… Cuman kadang bentuknya nyeremin aja…”
“Iya bener Ha, gue juga begitu… Makanya terus pengennya gue gambar…”
“Tapi ada baiknya kita bilang juga sama Bang Yudha, soalnya sudah ada tanda-tanda yang masuk ke sekolah kan.”
“Iya bener lo Ha.”
“Mending lo telpon aja ke Nara. Suruh aja si Nara yang cerita ke Bang Yudha, biar Bang Yudhanya semangat bantuin.”
“Ada-ada aja lo Ha…”